Narasi

Mencegah Toleransi Pasif yang Lahir dari Perilaku Diskriminatif

Pernahkah kita berpikir, bahwa fenomena munculnya kesadaran toleransi yang pasif pada generasi muda itu sejatinya lahir dari perilaku diskriminasi yang kerap terjadi di sekolah. Seperti perilaku pemaksaan jilbab hingga larangan memilih calon ketua OSIS yang non-muslim. Perilaku diskriminasi semacam itu tanpa kita sadari akan dicontoh dan di sinilah lahirnya sikap ekslusif generasi muda dalam menyikapi teman-temannya yang non-muslim secara eksklusif lalu enggan untuk berteman dengan yang beda iman.

Maka, untuk mengatasi problem toleransi pasif di kalangan generasi muda ini sejatinya perlu kita perbaiki akar yang mendasari problem toleransi pasif itu. Tentu, lembaga pendidikan harus berbenah. Untuk bisa lebih inklusif dan terbuka terhadap keberagaman di sekolah. Mereduksi segala perilaku intoleransi dan diskriminasi yang kerap diformalisasikan di sekolah.

Sebagaimana dalam sebuah prinsip, bahwa guru sejatinya akan digugu dan ditiru. Toleransi pasif tak pernah lahir dari ruang kosong. Problem semacam ini pastilah tumbuh dari kebiasaan yang dicontoh atau perilaku yang diajarkan. Maka untuk mencegah toleransi pasif di sekolah, berarti kita harus mencegah perilaku diskriminasi di sekolah itu sendiri.

Gejala toleransi pasif di lingkungan sekolah ini akan semakin membentuk karakter siswa yang eksklusif terhadap perbedaan, jika dibiarkan terus menjalar. Kecenderungan semacam ini sangat mudah bagi kaum muda terkontaminasi paham radikal-intolerant. Sehingga, di sinilah pentingnya peran pendidikan dalam mengatasi segala bentuk diskriminasi dan intoleransi di sekolah. Sebab, akar dari bentuk toleransi pasif adalah perilaku diskriminasi dan intoleransi itu sendiri.

Gejala toleransi pasif ini tak akan bisa diatasi selama lembaga pendidikan tidak berbenah dan bisa menjunjung nilai-nilai kesetaraan sosial di lingkungan sekolah. Banyak kasus intoleransi di sekolah yang justru menjadi “akar” kuatnya pengaruh toleransi pasif di sekolah. Jadi, problem semacam ini sebetulnya tak lepas dari dosa lembaga  pendidikan itu.

Fakta-fakta semacam ini bisa menjadi “rekaman” yang dapat menjadi motivasi/sikap sosial bagi siswa/i di sekolah bahwa menerima perbedaan iman dipahami sekadar “menghargai”. Namun dalam kehidupan sosial, dianggap mereka kehilangan haknya. Termasuk kehilangan hak dan kebebasan dalam menganut agama yang diyakini di sekolah.

Selain faktor di atas, tentu banyak lagi faktor pemicu kesenjangan toleransi pasif di sekolah. Seperti para pendidik yang mengajarkan pemahaman keagamaan yang cenderung melabeli umat agama lain sebagai “kafir” misalnya. Dicekoki dalam pelajaran sejarah agama-agama yang selalu merujuk pada peperangan dan penaklukan yang semakin membentuk batas-batas perbedaan yang eksklusif.

Kekeliruan yang Saya amati, lembaga pendidikan hanya sekadar memberi pengertian kepada siswa/i tentang “toleransi”. Namun, tidak diberi “jaminan” seperti “kemantapan iman” di dalam merefleksikan toleransi dalam pergaulan sosial. Sehingga, muncul semacam persepsi bahwa “yang penting toleransi” namun untuk hubungan sosial, generasi muda di sekolah tetap hanya berteman dengan yang se-iman. Di sinilah PR terbesar lembaga pendidikan dalam mengatasi toleransi pasif itu sendiri.

Maka langkah paling konstruktif dalam menciptakan nilai-nilai toleransi aktif di lingkungan sekolah adalah dengan membebaskan lembaga pendidikan dari segala bentuk diskriminasi dan intoleransi itu.  Selain itu, para pendidi harus memberi teladan tentang praktik toleransi yang sesungguhnya. Serta, lingkungan/pergaulan siswa/i yang tak sekadar se-iman saja, tetapi membiasakan mereka bergaul/berinteraksi dengan mereka yang tidak se-iman. Dari situlah interaksi toleransi aktif akan semakin dibentuk.

Seperti yang ditegaskan di atas, bahwa toleransi pasif sejatinya lahir dari segala bentuk perilaku diskriminasi dan intoleransi di sekolah. Sehingga, mencegah segala bentuk diskriminasi dan intoleransi adalah bagian dari mencegah akar dari sikap toleransi pasif itu. Di sinilah pentingnya membebaskan lembaga pendidikan dari segala bentuk diskriminasi, intoleransi dan bullying yang menjadi problem dasar toleransi pasif itu tumbuh.

Nur Samsi

Recent Posts

Urgensi Pendidikan Toleransi dan Kesadaran Lintas Agama

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman budaya, suku, dan agama yang sangat kaya. Toleransi antar…

3 hari ago

Film Jumbo; Pesan Implisit tentang Pengasuhan Berbasis Toleransi

Jumbo, film animasi karya komika dan animator Ryan Adriandhy tengah menjadi fenomena. Film yang naik…

3 hari ago

Orang tua Indonesia Sadar Pendidikan Agama, namun Abai Edukasi Toleransi; Catatan Reflektif

Pendidikan agama adalah bagian integral dalam kehidupan mayoritas keluarga di Indonesia. Agama tidak hanya menjadi…

3 hari ago

Menumbuhkan Toleransi Beragama Sejak Dini: Peran Parenting dalam Islam

Fenomena kurangnya toleransi, bahkan yang berujung pada perundungan (bullying) atau diskriminasi berbasis identitas, kini tak…

3 hari ago

Sesat Pikir Menggantungkan Kebanggaan pada Agama: Merespon Hasil Survei PMD BNPT 2024

Apa yang sebenarnya dibanggakan dari sebuah agama ketika segala hal yang gumelar atau yang tampak…

4 hari ago

Mendidik Generasi Alpha sebagai Agen Toleransi

Survei Pusat Media Damai BNPT yang menyebut adanya gejala intolerasi pasif di kalangan siswa sekolah…

4 hari ago