Narasi

Meneguhkan Kembali Sekolah Ramah Perbedaan

Berbagai rentetan kasus intoleransi yang terjadi di dunia pendidikaan sudah semestinya tidak dibiarkan berlarut-larut. Perlunya berbagai upaya baik itu pencegahan maupun penanganan. Diantaranya adalah bagaimana meneguhkan kembali spirit sekolah ramah perbedaan, termasuk di sekolah yang berafiliasi sebagai lembaga pendidikan keagamaan.

Apalagi, kalau kita tengok, data laporan tahunan yang dirilis oleh lembaga The Wahid Institute (2015), di mana menunjukkan bahwa trend angka kekerasan dengan motif agama terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2010 (184 kasus), 2011 (267 kasus), 2012 (278 kasus), 2013 (245 kasus), dan 2014 tercatat 154 kasus terjadi.

Perlu kiranya meneguhkan kembali dan menggerakkan sekolah ramah perbedaan dan aktualisasi merdeka belajar. Kehadiran sekolah seperti ini sangatlah penting, lebih-lebih di negara bhinneka yang mana terdapat beragam agama dan juga budaya. Secara kelembagaan sekolah ramah perbedaan menerima semua siswa tanpa memandang Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Nilai-nilai kebangsaan juga harus ditanamkan kepada seluruh warga sekolah baik guru, tenaga kependidikan, maupun siswanya.

Sejatinya kalau kita tengok, spirit sekolah ramah perbedaan ini sudah amanatkan pada UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sikdiknas). Pada Pasal 4 ayat 1 UU Sisdiknas ini menyebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Untuk mewujudkan merdeka belajar dan terwujudnya sekolah ramah perbedaan tentu membutuhkan usaha, kerja, dan juga tanggung jawab bersama. Seperti yang diungkapkan Purwaningsih (2015) bahwa tanggung jawab kearah upaya pengembangan nilai-nilai toleransi pada siswa wajib dirasakan sebagai tanggung jawab bersama. Namun demikian, secara eksplisit upaya yang lebih sistematis dan terencana harus menjadi bagian yang utuh dari kegiatan pembelajaran. Khususnya pada mata pelajaran yang memiliki kadar lebih besar dalam pembinaan sikap dan kepribadian siswa. Misalnya saja, Pendidikan Agama ataupun Pendidikan Kewarganegaraan.

Kurikulum dari mata pelajaran tersebut harus didesain sedemikian rupa, tak hanya ranah teoritisnya saja, melainkan juga aktualisasi dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik tak hanya dididik pengetahuan tentang kebangsaan semata, akan tetapi juga pengamalannya dalam kehidupan nyata menjadi sebuah karakter dan budaya yang baik.

Di samping itu, guru secara sadar perlu melakukan inovasi dan mendesain model pembelajaran yang diharapkan dapat mengembangkan nilai-nilai positif, khususnya dalam hal wawasan kebangsaan kepada siswa. Upaya-upaya secara sadar dan sistematis seperti ini sangat diperlukan. Apalagi, peranan guru dalam pembelajaran di sekolah sampai saat ini masih menempati kedudukan yang utama. Lebih-lebih lagi, dalam proses pembelajaran nilai dan moral (Kartini, dkk., 2019). Guru tak ubahnya sebagai role model yang menjadi contoh dan panutan para peserta didiknya.

Dalam pembelajaran, guru harus berusaha menghindari pandangan-pandangan atau sindiran negatif yang menyinggung SARA. Misalnya saja, guru selalu bersikap hormat ketika membicarakan kepercayaan agama lain. Pun demikian dengan siswa harus mampu mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda serta siswa diajari untuk berpola pikir terbuka dan toleran.

Oleh karena itu, sekolah berwawasan kebangsaan untuk membina iklim yang toleran di sekolah perlu terus dikembangkan, agar dapat tercipta lingkungan sekolah yang menjaga kerukunan antar umat beragama. Adapun sikap berwawasan kebangsaan di sekolah bertujuan untuk menciptakan kondisi sekolah yang warga sekolahnya tidak sungkan untuk saling membantu, menolong, dan bekerjasama dalam berbagai kegiatan sehari-hari agar tercipta lingkungan sekolah yang damai dan harmonis.

Perlu ditegaskan bahwa bersikap toleran adalah salah satu jalan yang harus ditempuh oleh semua umat beragama dalam usahanya untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama, termasuk di lingkungan sekolah. Menjadi toleran di lingkungan sekolah adalah membiarkan atau membolehkan warga sekolah lain menjadi diri sendiri serta menghargai asal usul dan latar belakang keyakinan yang mereka anut, tentunya dengan tetap bergaul dengan damai dan toleran antara sesama warga sekolah.

Hal itulah yang menjadi kunci penting dalam meneguhkan kembali sekolah ramah perbedaan. Harapannya dengan itu semu merdeka belajar dapat dirasakan oleh semua peserta didik serta kehidupan di sekolah menjadi harmonis dan toleran tanpa konflik bernuansa SARA, semoga.

This post was last modified on 5 Mei 2023 1:58 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

3 jam ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

3 jam ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

5 jam ago

Mewaspadai Penumpang Gelap Perjuangan “Jihad” Palestina

Perjuangan rakyat Palestina merupakan salah satu simbol terpenting dalam panggung kemanusiaan global. Selama puluhan tahun,…

5 jam ago

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

1 hari ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

1 hari ago