Kasus intoleransi di sekolah bukan barang baru lagi. Terjadinya tindakan intoleransi di dunia pendidikan membuka fakta adanya premanisme intoleran di lingkungan belajar yang semestinya mengajarkan untuk menghormati segala perbedaan.
Misalnya, tekanan dari sekolah untuk memakai jilbab tanpa melihat agama yang dianut siswa yang bersangkutan, oknum guru dan Rohani Islam (Rohis) yang mengkampanyekan sentimen agama dalam pemilihan ketua OSIS dan kasus serupa yang lain.
Lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, banyak dihuni preman intoleran. Fenomena ini tentu tidak hanya terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama Islam, namun pastinya juga merambah lembaga pendidikan berbasis agama di luar Islam. Kasus besar intoleransi di dunia pendidikan yang mencuat dan viral di media sosial hanya merupakan contoh yang terdeteksi, kasus serupa pastinya banyak terjadi sekalipun tak terungkap.
Pemicu utama terjadinya aksi-aksi intoleran di lembaga pendidikan, tak terkecuali di perguruan, tinggi adalah hasil dari pola pemahaman terhadap teks keagamaan yang disampaikan oleh individu pengajar, baik guru maupun ustadz. Penyampaian materi keagamaan yang dipengaruhi keyakinan personal berdasarkan madhab dan tafsir agama yang dipahami tanpa memperluas cakupan bahasan dengan membandingkan dengan tafsir dan madhab lain.
Seharusnya, materi pengajaran disampaikan sesuai standar dan substansi berdasar nilai-nilai universal ajaran agama, tidak semata keyakinan personal yang akibatnya adalah terjadinya eksklusifitas pemahaman yang hanya meyakini kebenaran versi pengetahuan pribadi serta menafikan pandangan keagamaan di luar pemahaman dan tafsir miliknya.
Akibatnya adalah terjadinya peningkatan kekerasan spiritual di lingkungan dunia pendidikan dalam bentuk ujaran kebencian, penyesatan paham keagamaan, dan penghinaan terhadap tokoh dan simbol-simbol keagamaan. Serta, pemaksaan dan tekanan terhadap peserta didik untuk sepenuhnya mengikuti gaya beragama seperti yang diinginkan. Inilah yang disebut premanisme Intoleran di dunia pendidikan yang kian hari sangat meresahkan.
Solusinya?
Ignas Kleden, sosiolog Indonesia, pernah melempar wacana menarik tentang tema pendidikan yaitu tentang kapasitas linking dan delinking. Istilah ini adalah istilah kebudayaan, namun memiliki relevansi kuat ketika ditautkan dengan konsep pendidikan. Kemudian istilah ini dipakai untuk menjelaskan kapasitas yang harus ada dalam sistem pendidikan.
Linking berarti kemampuan institusi pendidikan mengaitkan relevansi pembelajarannya pada kehidupan masyarakat yang konkret. Lingkungan pendidikan adalah tempat mendidik anak supaya memiliki pengetahuan sebagai bekal ketika masuk dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus relevan bagi kehidupan sosial.
Bahwa, kehidupan sosial itu tidak satu warna. Terdiri dari berbagai jenis agama yang dianut, etnis yang juga berbeda dan kelompok-kelompok yang berbeda secara keyakinan. Siswa semestinya diperkenalkan dengan perbedaan karena memahami perbedaan tidak berarti mengurangi keimanan. Toleransi diberikan bukan untuk meyakini kebenaran lain, namun hanya untuk menghormati ciptaan.
Premanisme Intoleran dalam dunia pendidikan hanya akan membentuk dunia pendidikan sebagai “miniatur masalah sosial”. Tiba gilirannya nanti hidup di masyarakat sikap intoleran yang diajarkan disekolah memposisikan siswa sebagai pribadi yang anti perbedaan. Ia akan menjadi biang keriuhan sosial.
Disamping itu, sekolah juga harus memiliki kapasitas delinking, suatu kemampuan melepaskan diri dari masyarakat disaat lingkungan sosial dicemari permasalahan sosial seperti intoleransi, maraknya ujaran kebencian, provokasi dan fitnah.
Intoleransi di lingkungan pendidikan memiliki bahaya besar terhadap kebhinekaan. Ini masalah serius, tidak boleh diremehkan. Disamping itu, juga mengkhianati sumpah pemuda. Hal ini seperti dikatakan oleh Prof Dr Ahmad Syafi’i Ma’arif.
Ia menawarkan solusi, untuk menangkal intoleransi di sekolah peran guru dan pengawas sangat menentukan. Mereka harus menggencarkan penanaman pendidikan multikulturalisme untuk menangkal bibit-bibit virus intoleransi. Hal ini merupakan langkah mendasar untuk mencegah siswa terjangkit virus intoleransi.
Guru, ustadz, pengawas dan seluruh elemen dalam sebuah institusi harus memiliki wawasan agama dan wawasan kebangsaan yang baik. Jika tidak, maka yang terjadi adalah munculnya premanisme intoleran di lembaga pendidikan yang jamak terjadi dan dijumpai saat ini.
Oleh karena itu, setiap penyelenggara pendidikan dan khususnya institusi pemerintah yang memiliki tugas pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga pendidikan, dalam hal ini Kemenag dan Kemendikbud, harus memberikan reaksi tegas terhadap pelaku intoleransi atau yang kita sebut “Premanisme intoleran”. Jangan sampai guru, ustad dan pengawas pendidikan memiliki wajah premanisme dan membentuk anak didik menjadi orang yang nantinya membuat perpecahan diantara anak bangsa.
This post was last modified on 5 Mei 2023 1:59 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…