Narasi

Menghapus Dosa Pendidikan ala Pesantren

Di lembaga pendidikan pesantren, tanggung-jawab seorang Ustadz/Kiai tidak sekadar memberi ilmu kepada santri. Karena kiai/guru/ustadz adalah figur penting dalam memberi cerminan yang baik. Sehingga, di sinilah tanggung-jawab guru/ustadz/kiai perlu mempertimbangkan ilmu yang ingin diajarkan, apakah dapat membawa out-put yang baik dan maslahat bagi kehidupan sosial atau tidak?

Pesantren adalah lembaga pendidikan yang selalu mempersiapkan para generasi emas bangsa untuk berperan dalam kehidupan masyarakat. Artinya, lembaga pendidikan pesantren menjadi cerminan agar seorang generasi bangsa itu siap terjun ke dalam kehidupan sosial dengan pemahaman keagamaan yang moderat dan semangat kebangsaan yang begitu kuat.

Ada beban moral yang dimiliki seorang kiai/ustadz/guru di pesantren. Barangkali, inilah yang disebut sebagai kekhawatiran atas dosa lembaga pendidikan. Yakni kekhawatiran akan pengajaran yang dapat membawa dampak buruk dan membawa dampak mudharat bagi kehidupan kelak.

Misalnya, lembaga pendidikan pesantren cenderung membangun kurikulum pendidikan yang integrasi-interkoneksi antara nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan. Sehingga, paradigma pendidikan yang dibangun tentu lepas dari intoleransi, kekerasan atau tindakan yang tak ramah keragaman.

Dari sinilah mengapa, pesantren tak sekadar mendidik santri sekadar beriman/bertakwa. Melainkan mendidik santri yang kokoh dalam hal kemanusiaan dan cinta akan tanah air. Dari metode pesantren yang semacam ini, Saya rasa lembaga pendidikan umum non-pesantren harus meneladani bagaimana pesantren dalam mengatasai segala bentuk dosa lembaga pendidikan yang kerap mempraktikkan dosa-dosa layaknya intoleransi atau kekerasan di lembaga sekolah.  

Misalnya, lembaga pendidikan harus mendesain basis belajar-mengajar keagamaan yang sifatnya (internalisasi keagamaan) dalam menguatkan nilai kemanusiaan atau sosial kebangsaan. Jadi, pemupukan nilai-nilai toleransi juga dapat tumbuh lewat penguatan pemahaman keagamaan yang inklusif terhadap nilai-nilai keragaman.

Lembaga pendidikan pesantren juga memiliki kebiasaan/tradisi dalam menyelesaikan satu persoalan hukum/keagamaan ke dalam ruang dialog, diskusi dll. Jadi, lembaga pendidikan selalu mengajarkan anak-anak bangsa (santri) agar memiliki cara pandang yang kritis dan konstruktif.

Secara reflektif, basis merdeka belajar yang digagas sejak lama seharusnya menjadi ruang di lembaga sekolah. Utamanya dalam mengajarkan anak-anak sejak di bangku sekolah dalam berbicara persoalan keragaman dan menciptakan semangat toleransi dalam taraf pemahaman yang dibangun atas dasar dialog dan diskusi kritis konstruktif itu.

Lembaga pendidikan pesantren cenderung terbuka terhadap dinamika dan perkembangan kehidupan sosial. Maka, lembaga pendidikan formal yang ada di luaran (non-pesantren) seharusnya tidak stagnan ke dalam prinsip dan mekanisme yang kaku. Perlu adanya spirit di dalam menghidupkan lembaga pendidikan dalam menunjang keragaman, toleransi dan menyikapi perbedaan secara harmonis.

Mengajarkan toleransi di lembaga pendidikan sekolah atas, dasar atau menengah tentu bukanlah sesuatu yang labil. Sebab, mengenalkan nilai-nilai toleransi sedini mungkin sebagai bagian dari kematangan berpikir di dalam melihat keragaman sebagai sesuatu penting dan berharga untuk dijaga. Sebagaimana, lembaga pendidikan pesantren telah merepresentasikan pola pelajaran pemahaman keagamaan yang cenderung melihat keragaman lebih objektif di dalam teks-teks keagamaan.

Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren bukan berarti menegasi segala yang berkaitan dengan nilai-nilai kemajemukan. Seperti yang selalu ditegaskan, bahwa pesantren dapat mencetak/membangun generasi muda yang beriman sekaligus ber-kemanusiaan. Sebab, iman tak pernah bertentangan dengan kemanusiaan. Keduanya paket komplet yang tak boleh dikesampingkan di antara keduanya.

Lembaga pendidikan tak boleh anti terhadap pendidikan toleransi atau ruang dialog yang membebaskan anak-didik berpikir kritis dan terbuka. Sebagaimana lembaga pendidikan pesantren telah meniscayakan metode semacam itu. Dalam basis tujuan, lembaga pendidikan pesantren semata demi menghapus segala bentuk dosa lembaga pendidikan yang cenderung mengajarkan dan mencontohkan pengetahuan-pengetahuan yang dapat membawa mudharat bagi kehidupan sosial, seperti intoleransi itu.

Nur Samsi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

21 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

21 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

21 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago