Narasi

Menghentikan Laju Politisasi Akidah Kelompok Radikal Era Lama

Aksi teror terbuka memang nihil di tahun 2024, tetapi ada satu isu laten yang harus diwaspadai di pembukaan tahun 2025 ini, yaitu propaganda non-violent extremist. Salah satu kelompok yang masih aktif adalah Hizbut Tahrir Indonesia.

Dari awal HTI muncul, hingga dibubarkan, hingga sekarang bergerak di bawah tanah, kampanye HTI tak jauh dari “menjaga akidah dengan khilafah”.

Dalam propaganda mereka, HTI nyaris selalu menyatakan bahwa menjaga akidah umat Islam hanya mungkin dilakukan melalui penerapan sistem politik tertentu, yaitu khilafah. Namun, pandangan ini bertentangan dengan inti ajaran Islam. Persoalan menjaga iman dan kemurnian akidah tidak pernah berkaitan dengan mendirikan sistem politik tertentu.

Islam mengajarkan bahwa iman yang benar harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang membawa manfaat bagi kehidupan. Konsekuensi menjaga iman bukanlah mendirikan sistem politik, tetapi memperkuat hubungan dengan Allah melalui ibadah dan memperbaiki hubungan dengan manusia melalui amal salih.

Amal salih ini mencakup segala perbuatan baik, seperti menegakkan keadilan, membantu mereka yang membutuhkan, menjaga kejujuran, dan menciptakan kedamaian dalam masyarakat. Nabi Muhammad SAW mencontohkan bahwa inti dari keimanan adalah akhlak mulia yang membawa keberkahan bagi seluruh umat manusia, bukan sekadar fokus pada struktur pemerintahan atau kekuasaan politik.

Mengaitkan pemurnian akidah dengan khilafah hanya menyempitkan pemahaman Islam yang luas dan universal. Islam tidak pernah mensyaratkan format politik tertentu sebagai syarat keimanan. Sejarah Islam menunjukkan bahwa umat Islam telah hidup dalam berbagai sistem pemerintahan—baik kekhalifahan, kesultanan, maupun negara-negara modern—tanpa memengaruhi inti ajaran agama, yaitu iman dan amal salih.

Dalam konteks Indonesia, sebuah negara dengan keberagaman yang kaya, fokus pada amal salih menjadi semakin relevan. Kehidupan beragama yang harmonis tercermin dari bagaimana umat Islam dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat luas, seperti membangun pendidikan, membantu pemberdayaan ekonomi, serta menjaga kerukunan antargolongan.

Dalam retorika mereka, khilafah digambarkan sebagai solusi tunggal untuk segala problematika umat Islam, mulai dari kemiskinan hingga disintegrasi sosial. Namun, ada satu aspek yang sering luput dari perhatian: bagaimana propaganda ini melahirkan “kesalehan pasif,” sebuah pola pikir yang memenjarakan umat dalam harapan utopis tanpa dorongan nyata untuk bertindak.

Kesalehan pasif ini muncul dari narasi yang terus-menerus menekankan bahwa akidah hanya dapat dijaga melalui sistem politik tertentu. Akibatnya, umat diarahkan untuk melihat amal salih atau kontribusi sosial sebagai sesuatu yang sekunder.

Padahal, inti dari Islam adalah tindakan nyata yang memberi manfaat bagi sesama. Dalam paradigma HTI, setiap langkah kecil seperti mendidik anak-anak, membantu tetangga yang kesulitan, atau membangun keadilan lokal sering kali dianggap tidak cukup signifikan dibandingkan dengan perjuangan besar menuju khilafah. Ini menciptakan ironi yang mendalam: akidah yang seharusnya menjadi pendorong perubahan, justru menjadi alasan untuk menunda tindakan.

Islam sejatinya tidak pernah mengajarkan kesalehan yang pasif. Nabi Muhammad SAW mencontohkan bagaimana iman harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Bahkan dalam kondisi sulit sekalipun, seperti di Makkah sebelum hijrah, Nabi tidak pernah berhenti untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan dan membangun solidaritas sosial di komunitasnya.

Islam adalah agama yang dinamis, yang selalu mendorong umatnya untuk bergerak, bukan menunggu. Namun, propaganda HTI, dengan fokus obsesif pada khilafah, telah memutarbalikkan dinamika ini menjadi sesuatu yang statis.

Yang lebih berbahaya, pola pikir ini tidak hanya menghentikan umat dari bertindak, tetapi juga menutupi peluang-peluang besar untuk memperbaiki kehidupan mereka di bawah sistem yang ada. Dengan membingkai demokrasi sebagai “sistem kufur”, HTI secara tidak langsung menghalangi umat dari memanfaatkan ruang-ruang demokratis untuk memperjuangkan keadilan atau memberikan dampak positif.

Mereka lupa bahwa banyak tokoh Muslim yang telah menggunakan sistem yang ada untuk membawa perubahan besar, tanpa harus mengganti sistem itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, dengan keragamannya yang kaya, umat Islam memiliki kesempatan besar untuk berkontribusi dalam berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. Tetapi kesempatan ini sering terabaikan karena propaganda yang menutup pandangan umat terhadap apa yang bisa dicapai di sini dan sekarang.

Kesalehan pasif ini adalah ancaman yang diam-diam, tetapi nyata. Ini bukan hanya persoalan ideologi, tetapi juga tentang bagaimana umat Islam kehilangan energi kolektifnya untuk bergerak maju. Dalam dunia yang terus berubah, umat tidak bisa terus menunggu khilafah sebagai jawaban atas segala masalah.

Justru, tantangan zaman ini membutuhkan tindakan nyata, inovasi, dan kolaborasi yang berakar pada nilai-nilai Islam. Ketika akidah dikaitkan secara eksklusif dengan struktur politik tertentu, Islam kehilangan fleksibilitasnya sebagai agama yang relevan di setiap zaman dan tempat.

Untuk keluar dari jebakan ini, umat perlu mengembalikan makna akidah pada inti spiritualnya: hubungan dengan Allah yang diwujudkan dalam amal salih. Islam mengajarkan bahwa iman bukanlah sesuatu yang hanya ada di pikiran, tetapi harus menjadi kekuatan yang nyata dalam kehidupan.

Umat harus berani untuk melihat bahwa perubahan besar tidak selalu datang dari revolusi, tetapi sering kali dari ribuan tindakan kecil yang dilakukan dengan niat tulus. Inilah cara Islam membangun peradaban: bukan melalui obsesi pada sistem, tetapi melalui kekuatan manusia yang bergerak bersama untuk kebaikan.

Dinda Permata Pratiwi

Recent Posts

Mengevaluasi Diri dengan Pancasila, Resolusi Tahun 2025

Ada yang menyebutkan bahwa Pancasila bagaikan sebuah piramida yang mana puncak tertingginya adalah sila pertama.…

3 menit ago

Mutasi Sel Teroris; Ancaman Wabah Propaganda Ekstremisme Digital

Fenomena terorisme di Indonesia mengalami fluktuasi. Itu kenyataan yang harus diakui. Angka terorisme mengalami naik-turun.…

5 menit ago

Pendekatan Maqasidus Syari’ah dalam Melawan Terorisme

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki tantangan besar dalam menjaga kerukunan…

22 jam ago

Internalisasi Pancasila dan Ruang Temu Lintas Agama untuk Indonesia Nir Kekerasan

Tahun baru 2025, sejatinya menjadi momen untuk refleksi sekaligus peluang untuk kembali memperkuat kerukunan umat…

1 hari ago

Membebaskan Agama dari Pemahaman Ekstrem dan Perilaku Ekslusif

Pemahaman syariat sering kali menjadi subjek diskusi yang hangat dalam masyarakat terutama media sosial. Namun,…

1 hari ago

Kamuflase Purifikasi Akidah; Metamorfosis Terorisme di Tengah Momentum “Zero Attack Terrorism”

Kolumnis New Yorker, Lawrence Wright dalam sebuah tulisannya menyebut bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini,…

1 hari ago