Narasi

Mengubur Etnosentrisme, Memupuk Persaudaraan

Apa yang ditegaskan oleh Ulama sekaligus tokoh Indonesia tersebut di atas meupakan cambukan bagi seluruh komponen bangsa Indonesia untuk mengubur dalam-dalam etnosentrisme; sebuah sikap yang merasa bangga atas kekhasan dan kekuataan kebudayaan sendiri. Dalam bahasa singkatnya, etnosentrisme bisa disebut sebagai menguatnya perasaan “ke-Akuan”.

Tak ayal, sementara ahli dan tokoh nusantara menyimpulkan bahwa etnosentrisme yang berlebihan merupakan daya sandung kebhinnekaan. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan mendasar mengapa etnosentrisme menjadi daya sandung bagi kebhinnekaan.

Sima dalam Harmoni dalam Kebhinnekaan (2016) menjelaskan beberapa alasan tersebut. Pertama, karena tenun kebangsaan kita dirajut melalui benang-benang etnis yang sangat plural. 300 lebih kelompok etnik menghuni di Republik Indonesia. Memang, setiap dari kita pasti mempunyai rasa bangga dan menjunjung tinggi etnis kita sendiri, akan tetapi yang tidak dibenarkan adalah membanggakan etnis sendiri dan meremehkan etnis lain, bahkan juga mengkerdilkan etnis selain kita. Inilah masalahnya.

Kedua, tenun kebangsaan kita itu bukan merupakan sesuatu yang ajeg, melainkan selalu dalam proses (in making). Artinya, pada suatu waktu, ia bisa sangat kokoh, kuat, dan solid. Akan tetapi pada waktu yang lain, tenun tersebut bisa saja berubah menjadi kendur, longgar, dan lemah. Semua ini merupakan fenomena bahwa nasionalisme sebagai identitas suatu bangsa merupakan sesuatu yang selalu berubah dinamis dan selalu dalam proses menjadi, bukan telah jadi.

Dengan demikian itu, yang kita butuhkan adalah penguatan identitas kebangsaan. Jika etnosentrisme menguat, terutama dalam kondisi tenun bangsa mengendur, dan lemah, maka sesuatu yang tidak pernah kita inginkan akan terjadi. Oleh sebab itu, kita perlu menunda dan mengatur perasaan kebangsaan pada identitas etnis yang kadang mempengaruhi atau menguatkan cara pandang kita atas etnis-etnis lainnya.

Ketiga, identitas kebangsaan nasional telah diserbu dan dijajah oleh hantu dunia yang bernama globalisasi. Globalisasi merupakan proses wajar dan tidak dapat dihindarkan, tetapi globalisasi juga menyimpan banyak persoalan, tanpa terkecuali terkait masalah kebangsaan. Semakin kuat pergaulan global, maka semakin mencair kekuatan kebangsaan. Dengan kondisi demikian, kita harus melepaskan baju etnosentrisme guna mengikis budaya asing dan memperkuat budaya Indonesia. Budaya Indonesia, bukan salah satu dari budaya yang ada di Indonesia!

Mari Memupuk Rasa Persaudaraan!

Melihat betapa etnosentrisme menjadi daya sandung kebhinnekaan, maka saat ini juga, kita harus menguburnya. Terlebih etnosentrisme membawa dampak negatif; seperti menghambat proses pertukaran kebudayaan dan juga menghambat terjalinnya persaudaraan yang kokoh.

Bahwa perbedaan kebudayaan, suku, agama, dan golongan merupakan sebuah kekayaan dan semakin mempersolid kesetiakawanan, bukan untuk dipertentangkan dengan cara adu domba dan menganggap kebudayaan lain rendah.

Jika etnosentrisme sudah dikubur dalam-dalam, maka harus ada sesuatu yang dipupuk. Apa itu? Jawaban atas pertanyaan ini tidak lain dan tiada bukan adalah memupuk persaudaraan.

Lantas, bagaimana caranya? Pertama, mengubur etnosentrisme. Jelas! Hal ini sudah diuraikan secara panjang dan detail mengapa etnosentrisme harus dikubur dan saat yang sama, persaudaraan harus dipupuk.

Kedua, tanamkan sifat dan sikap inklusif dan toleran. Timbulnya manusia yang memliki etnis, suku, agama, dan kepercayaan yang beragam merupakan sunnatullah yang tidak dapat dihindari. Maka, tugas manusia dengan manusia yang beragam itu adalah saling menghargai dan menghormati (toleransi). Selain itu juga tidak untuk dikucilkan atau memisahkan diri dengan kelompok lainnya, tetapi kita harus membaur dengan yang berbeda dan bekerja sama dalam kebaikan. Jika sudah demikian, maka persaudaraan akan kokoh. Jika persaudaraan sudah kokoh, maka negara akan kuat.

Ketiga, menjunjung tinggi falsafah Bninneka Tunggal Ika. Banyak masyarakat yang fasih ketika melafalkan bhinneka tunggal ika, namun dalam mempraktikkannya tidak sefasih ucapanya. Padahal, bhinneka tunggal ika merupakan warisan yang agung dari nenek moyang kita.

Dalam konteks memupuk rasa persaudaraan, segenap elemen masyarakat Indonesia tanpa terkecuali, harus mengamalkan bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga menjadikan kita hidup dengan lentur, tidak antipati dengan perbedaan.

Selain semua itu, peran tokoh agama, adat, dan lainnya menjadi penentu kokohnya persaudaraan di bumi Indonesia tercinta. Dalam konteks agama, salah satu fungsi agama adalah memupuk persaudaraan dan mengutuk umat manusia untuk bercerai-berai. Wallahu a’lam.

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Recent Posts

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

11 jam ago

Beragama dalam Ketakutan: Antara Narasi Kristenisasi dan Persekusi

Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…

12 jam ago

Bukti Nabi Sangat Menjaga Nyawa Manusia!

Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…

12 jam ago

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

1 hari ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

1 hari ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

1 hari ago