Narasi

Menjadi Mujahidah Modern; Meneguhkan Peran Perempuan dalam Kontra Radikalisme di Era Digital

Belakangan muncul upaya untuk mendramatisasi heroisme perempuan di medan pertempuran. Misalnya dengan mencuplik kisah Aisyah yang ikut bertempur melawan kaum kafir. Atau narasi heroisme Perang Uhud dimana sejumlah perempuan ikut serta di dalamnya. Narasi heroisme itu sengaja diskenariokan untuk membangkitkan sentimen perempuan modern agar mengikuti jejak mereka menjadi mujahidah. .

Di media sosial misalnya muncul kampanye bertajuk “my sister muslim, indeed you are mujahidah” yang sebenarnya adalah propaganda kelompok radikal untuk mengajak perempuan berjihad (baca: terlibat gerakan rasikalisme terorisme). Penting dicatat bahwa kampanye itu bukan fenomena baru, namun sudah ada sejak beberapa tahun lalu, namun belakangan mencuat kembali seiring dengan gencarnya kaum radikal menyasar kelompok perempuan sebagai target indoktrinasinya.

Menjadi mujahid atau mujahidah tentu adalah dambaan setiap muslim atau muslimah. Bagaimana tidak? Allah menjanjikan pahala surga paling mulia bagi para mujahid. Salah satu doa terindah untuk anak turun kita pun adalah hadapan bahwa mereka kelak akan menjadi mujahid mujahidah di sabilillah. Pernyataannya adalah apa makna mujahid yang sesungguhnya? Apakah mujahid adalah mereka yang berperang di jalan Allah? Ataukah ada tafsiran lain di luar itu?

Bagi kalangan konservatif, makna jihad memang sempit, yakni berperang secara fisik melawan musuh agama dan menegakkan aturan atau hukum Islam (syariah). Makna jihad yang sempit ini lantas melahirkan sikap glorifikasi terhadap cerita tentang peperangan di masa lalu dimana kaum muslim melawan kaum kafir. Bagi kalangan konservatif, menjadi mujahid hsnya diwujudkan dengan perjuangan fisik menegakkan Islam serta melawan musuh agama.

Beda halnya dengan kaum moderat yang lebih luas dalam memaknai istilah jihad. Bagi kalangan moderat, jihad tidak dimaknai semata sebagai perang fisik melawan musuh agama. Kaum moderat meyakini bahwa segala upaya sungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsu pun bisa dimaknai sebagai jihad. Di titik ini, kaum moderat lebih suka memakai kata qital untuk perang ketimbang jihad.

Dua tafsiran itu sebenarnya benar dan ada dasar teologisnya. Penafsiran kalangan konservatif bahwa jihad adalah perang fisik melawan musuh agama tentu tidak salah. Demikian juga tafsiran kaum moderat bahwa jihad adalah upaya sungguh-sungguh melawan hawa nafsu juga tidak salah. Yang menjadi isu krusial adalah bagaimana memaknai jihad atau mujahid yang relevan dengan konteks kekinian.

Apakah penafsiran kaum konservatif bahwa jihad adalah perang fisik melawan musuh agama itu relevan bagi kondisi Indonesia yang aman dan damai seperti saat ini? Tentu saja tidak relevan. Di tengah kondisi negara yang damai dan aman, makna jihad yang merujuk pada perang fisik jelas tidak relevan. Apalagi jika ajakan jihad itu menyasar perempuan.

Di era sekarang, khususnya dalam konteks Indonesia yang pantas disebut darussalam, ancaman Islam itu tidak datang dari luar (agama lain), namun justru datang dari internal Islam itu sendiri.

Yakni gerakan radikal ekstrem yang justru merongrong eksistensi bangsa dan negara. Gerakan radikal ekstrem terbukti telah mengancam keamanan dan ketahanan nasional. Efek destruktifnya luar biasa, mulai dari menimbulkan korban jiwa sampai kerusakan yang tidak terkira.

Di tengah fenomena bangkitnya radikalisme keagamaan terutama yang menyebar melalui ramah daring, jihad yang sesungguhnya bagi perempuan adalah membentengi diri, keluarga, masyarakat, dan bangsanya dari paparan ideologi kekerasan.

Dalam konteks ini, perempuan dituntut memiliki literasi digital sekaligus literasi kesagamaan yang kuat. Literasi digital memungkinkan perempuan mengidentifikasi narasi propaganda dan provokasi daring yang disebar kaum radikal.

Sedangkan literasi keagamaan penting agar perempuan memiliki pandangan keagamaan yang inklusif, toleran, dan moderat.  Dengan begitu, perempuan tidak akan mudah dihasut oleh ideologi keaagamaan yang mengarah pada ekstremisme dan kekerasan.

Di era digital seperti sekarang menjadi mujahidah juga bisa diwujudkan dengan aktif menebar pesan kerukunan dan perdamaian. Apalagi secara spesifik saat ini bangsa Indonesia tengah as ada dalam situasi pasca Pilpres yang rawan oleh polarisasi dan konflik. Perempuan kiranya bisa memainkan perannya sebagai jembatan rekonsilasi kebangsaan.

Arkian, kita perlu membangun imajinasi baru tentang konsep mujahidah yang relevan dengan era sekarang. Di era kekinian imajinasi tentang mujahidah idealnya diterjemahkan ke dalam aktivisme sosial keagamaan yang bertujuan mewujudkan perdamaian dan anti-kekerasan.

This post was last modified on 7 Maret 2024 11:25 AM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago