Tokoh

Meneladani Rabi’ah Al Adawiyah: Mencintai Satu Tuhan, Tetapi Tak Membenci Mereka yang Berbeda

Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi perempuan yang hidup pada abad ke-8 di Basra, Irak. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh spiritual yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Meskipun sedikit yang diketahui tentang kehidupan awalnya, namun warisan spiritual dan ajarannya tetap memengaruhi generasi setelahnya. Salah satu aspek yang menonjol dari ajarannya adalah konsep cintanya yang melampaui seglanya, yang menjadikan dirinya sebagai simbol toleransi, kasih sayang, dan penerimaan tanpa syarat.

Rabi’ah lahir dalam kondisi yang kurang mampu, tanpa keluarga yang mapan secara finansial. Namun, kehidupannya yang sederhana tidak menghalangi dia untuk menemukan kedalaman spiritual yang luar biasa. Sebagai seorang sufi, dia menekankan pentingnya mencintai Tuhan dan ciptaan-Nya tanpa pamrih. Bagi Rabi’ah, cinta adalah kekuatan yang dapat menghubungkan manusia dengan keberadaan Ilahi, melebihi batas-batas agama, budaya, dan sosial.

Dalam ajarannya, Rabi’ah mengajarkan bahwa cinta sejati hanya dapat ditemukan ketika kita mampu melepas semua rasa benci dan dendam dalam hati. Bagi banyak orang, cinta kerap diikuti oleh perasaan iri, keserakahan, atau bahkan permusuhan terhadap yang lain. Namun, Rabi’ah mengajarkan bahwa cinta yang benar adalah yang murni dan tidak tercemar oleh emosi negatif semacam itu. Dia mendorong kita untuk mencapai tingkat kesucian hati di mana mereka dapat mencintai bahkan orang-orang yang mungkin telah melukai kita.

Konsep cinta Rabi’ah bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipraktikkan, terutama dalam masyarakat yang penuh dengan konflik dan ketegangan. Namun, Rabi’ah percaya bahwa hanya dengan melepas dendam dan benci, seseorang bisa mencapai kedamaian batin yang sejati. Bagi Rabi’ah, cinta adalah pilar utama dalam hubungan antara manusia dan penciptanya. Dia percaya bahwa ketika seseorang benar-benar mencintai Tuhan, mereka akan melihat kebaikan dalam semua ciptaan-Nya, bahkan dalam orang-orang yang mungkin dianggap sebagai musuh.

Ajaran Rabi’ah tentang cinta  tidak hanya relevan dalam konteks spiritual, tetapi juga memiliki implikasi sosial yang mendalam. Di tengah konflik dan pertentangan antar kelompok, ajarannya menegaskan pentingnya kesatuan dan toleransi. Dia menolak ide pemisahan dan perpecahan, dan mengajak orang untuk memandang satu sama lain sebagai saudara dan saudari dalam kemanusiaan yang sama.

Pengaruh Rabi’ah tidak hanya terbatas pada zamannya; ajarannya terus menginspirasi dan memotivasi orang-orang di seluruh dunia, bahkan hingga saat ini. Banyak yang mencari pandangan dan bimbingan dari ajaran cintanya yang menginspirasi, terutama dalam menghadapi tantangan dan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang merasa terpinggirkan atau terluka, pesan Rabi’ah memberikan harapan bahwa ada jalan menuju kedamaian dan kebahagiaan yang dapat dicapai melalui cinta.

Ajaran Rabi’ah tentang cinta bukanlah tentang mengabaikan keadilan atau membenarkan perilaku yang merugikan. Sebaliknya, itu adalah panggilan untuk mengatasi perasaan dendam dan balas dendam, dan menggantinya dengan kasih sayang dan pengampunan. Dalam konteks konflik atau ketidakadilan, konsep cinta Rabi’ah dapat menjadi landasan untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan yang sejati.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada situasi di mana kita merasa tergoda untuk merespon dengan kemarahan atau kebencian. Namun, jika kita dapat mengikuti contoh Rabi’ah dan mempraktikkan cinta , kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih damai dan harmonis di sekitar kita. Ini adalah panggilan untuk menjaga hati kita terbuka dan menerima orang lain dengan penuh kasih sayang, bahkan ketika kita tidak setuju dengan mereka atau ketika mereka telah melukai kita.

Dan akhirnya, warisan Rabi’ah al-Adawiyah sebagai seorang mistikus dan pengajar spiritual tidak bisa dilepaskan dari konsep cinta tanpa membenci yang dia anut dengan begitu tulus. Melalui kata-katanya yang penuh kasih dan teladan hidupnya yang menginspirasi, dia terus mengajarkan kepada kita semua bahwa cinta adalah kekuatan yang paling kuat dalam alam semesta, dan hanya dengan mencintai tanpa membenci kita dapat mencapai kedamaian dan kesucian yang sejati.

This post was last modified on 7 Maret 2024 11:22 AM

L Rahman

Recent Posts

Mengantisipasi Residu Kebangkitan Terorisme di Suriah dengan Ideologisasi dan Diplomasi

Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad…

2 jam ago

Algoritma Khilafah; Bagaimana Para Influencer HTI Mendominasi Semesta Virtual?

Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…

3 jam ago

Islam Membaca Fenomena Golput : Kegagalan Demokrasi atau Apatisme Politik?

Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November…

3 jam ago

Tantangan dan Peluang Penanggulangan Terorisme di Era Prabowo

Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…

1 hari ago

Peran Agama dalam Membangun Ketahanan Demokrasi Pasca Pilkada 2024

Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…

1 hari ago

Membongkar Nalar Fetakompli HTI; Benarkah Menolak Khilafah Berarti Anti-Islam?

Dalam sebuah wawancara, mantan teroris Ali Imron pernah berkata bahwa ia bisa meradikalisasi seseorang hanya…

1 hari ago