Narasi

Menyelamatkan Demokrasi dari Pembajakan Kelompok Radikal

Di berbagai belahan dunia, demokrasi selalu menghadapi ujian berat ketika krisis politik dan sosial melanda. Di Indonesia, ujian itu semakin nyata manakala demonstrasi yang seharusnya menjadi kanal sah untuk menyampaikan aspirasi rakyat justru dipelintir oleh kelompok-kelompok radikal untuk menyukseskan agenda dan kepentingan politik mereka.

Mereka menyusup di tengah arus protes masyarakat, mengklaim diri sebagai bagian dari gerakan rakyat, namun di balik itu menyelipkan agenda tersembunyi: mendelegitimasi pemerintahan yang sah. Strategi ini bukan sekadar perlawanan biasa, melainkan upaya sistematis untuk mengguncang fondasi demokrasi dan membuka jalan bagi ideologi khilafah.

Demokrasi memang bukan sistem yang sempurna. Korupsi, praktik oligarki, lemahnya penegakan hukum, dan ketimpangan sosial-ekonomi kerap membuat publik frustrasi. Namun, kelemahan itu tidak bisa dijadikan pembenaran bagi kelompok radikal untuk membajak ruang aspirasi rakyat. Apa yang mereka lakukan adalah politik kamuflase: menunggangi keresahan masyarakat untuk menyebarkan ideologi yang justru akan menutup ruang kebebasan.

Mereka berbicara dengan bahasa keadilan, solidaritas, dan kepedulian terhadap penderitaan rakyat. Tetapi semua itu hanya alat retoris untuk memanipulasi emosi masyarakat. Ketika rakyat kecewa terhadap kebijakan ekonomi, mereka ikut menuding pemerintah, lalu menyelipkan ideologi khilafah sebagai “jalan keluar”. Dengan cara ini, kelompok radikal berusaha meruntuhkan legitimasi pemerintah di mata publik, hingga akhirnya masyarakat diarahkan pada satu kesimpulan keliru: bahwa demokrasi gagal total dan harus diganti.

Gerakan terselubung ini kini semakin masif melalui media sosial. Mereka paham betul bahwa dunia digital adalah arena paling efektif untuk menggiring opini publik. Dengan akun anonim, potongan video provokatif, hingga tagar yang sengaja diviralkan, mereka membangun narasi seolah-olah mewakili suara rakyat banyak. Seruan pembubaran DPR, misalnya, tidak berhenti pada kritik terhadap lembaga legislatif. Narasi itu kemudian digiring lebih jauh menuju tuntutan perubahan sistem dan penggantian demokrasi dengan khilafah.

Padahal, jika ditelaah lebih dalam, demokrasi masih memberi ruang perbaikan dari dalam. Kritik publik, pers bebas, lembaga peradilan, hingga pemilu periodik adalah mekanisme yang memungkinkan rakyat melakukan koreksi terhadap pemerintah. Inilah yang tidak dimiliki oleh sistem otoriter, termasuk khilafah yang digaungkan kelompok radikal.

Dalam sistem semacam itu, rakyat kehilangan ruang untuk mengkritik, berbeda pendapat, atau mengajukan alternatif kebijakan. Segala hal hanya ditentukan oleh segelintir elite yang mengklaim memiliki otoritas absolut. Maka, jika agenda radikal untuk mendelegitimasi pemerintahan berhasil, yang hilang bukan hanya pemerintahan tertentu, melainkan hak-hak dasar rakyat sebagai warga negara yang bebas dan berdaulat.

Karena itu, dalam konteks ini masyarakat sipil harus bersatu-padu menyelamatkan demokrasi dari pembajakan kelompok radikal. Menyelamatkan demokrasi dari agenda kelompok radikal bukan hanya soal menjaga sistem politik, tetapi juga soal menjaga masa depan bangsa. Demokrasi adalah rumah bersama yang memungkinkan keberagaman hidup berdampingan. Jika rumah ini diruntuhkan, yang lahir bukanlah keadilan, melainkan penindasan oleh ideologi tunggal. Agenda delegitimasi yang dilancarkan kelompok radikal adalah ancaman nyata yang harus dihadapi dengan kewaspadaan dan komitmen kolektif.

Kita harus ingat bahwa demokrasi lahir dari perjuangan panjang bangsa Indonesia. Sistem ini bukan hadiah, melainkan hasil pengorbanan. Karena itu, menjaga demokrasi berarti menghormati sejarah dan cita-cita para pendiri bangsa. Agenda kelompok radikal yang ingin mendelegitimasi pemerintahan sah bukan hanya serangan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa, tetapi juga penghianatan terhadap konsensus kebangsaan. Maka, jawabannya jelas: demokrasi harus diselamatkan, diperbaiki, dan diperkuat, bukan dihancurkan.

Alfie Mahrezie Cemal

Recent Posts

Bahaya Provokasi Digital; Dari Mobilisasi Massa ke Monetisasi Kekerasan

Aksi demonstrasi massa yang terjadi di banyak kota tempo hari tentu tidak terjadi secara kebetulan.…

4 hari ago

Tradisi Muludan; Strategi Resolusi Konflik Berbasis Lokalitas ala Muslim Pedesaan

Jika kita rutin membuka media sosial belakangan ini, maka kita akan disuguhi berbagai informasi dan…

4 hari ago

Menerjemahkan Pesan Maulid Nabi di Kebisingan Kerusuhan dan Kekerasan

Pada tanggal 5 September, umat Islam di seluruh dunia akan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW,…

4 hari ago

Harga Sebuah Amarah; Melihat Efek Demonstrasi Destruktif dari Sisi Ekonomi dan Psikologi

Dalam sepekan terakhir kita disuguhi pemandangan brutal ketika gerombolan massa meluapkan amarah kolektifnya. Ada yang…

5 hari ago

Agar Aspirasi Tak Tenggelam dalam Kebisingan Anarkisme

Gelombang demonstrasi terjadi di berbagai kota di Indonesia. Pada dasarnya, demonstrasi adalah hak konstitusional warga…

5 hari ago

Kampanye Khilafah; Gejala FOMO Kaum Radikal Menunggangi Fenomena Demonstrasi

Akun TikTok @ekalastri333 dengan pengikut 12, 9 ribu dan menulis di bio profilnya sebagai “pengemban…

5 hari ago