Aksi demonstrasi massa yang terjadi di banyak kota tempo hari tentu tidak terjadi secara kebetulan. Mobilisasi massa yang masif di sejumlah daerah yang berujung pada kericuhan itu kemungkinan besar telah diskenariokan sebelumnya. Artinya, memang ada pergerakan senyap di bawah tanah yang berusaha menyulut api kemarahan publik.
Gejala itu tampak pada masifnya penyebaran konten provokasi melalui media sosial. Seperti TikTok, Instagram, YouTube, Facebook, dan X. Dalam sepekan terakhir, algoritma berbagai platform media sosial nyaris didominasi oleh konten-konten kekerasan dan provokasi. Aksi massa ketika menyerang aparat, merusak gedung pemerintahan, membakar fasilitas umum, dan menjarah rumah pejabat direkam dan diunggah ke media massa.
Tidak hanya itu, aksi-aksi brutalitas massa itu bahkan disiarkan secara langsung melalui akun-akun media sosial. Menyiarkan langsung aksi kerusuhan adalah fenomena baru yang muncul akibat kemunculan teknologi digital. Fenomena ini tentu menimbulkan problem baru, baik bagi individu maupun kelompok.
Siaran langsung demo rusuh di satu sisi secara personal dapat menimbulkan trauma bagi yang menontonnya. Pemandangan gedung dibakar atau bentrokan massa dengan aparat rawan menimbulkan trauma psikologis berupa gangguan kecemasan, stress, bahkan depresi. Apalagi jika konten-konten itu dikonsumsi terus-menerus dalam jangka waktu lama.
Di sisi lain, dalam konteks kolektif, tayangan siaran langsung aksi demo ricuh juga berpotensi menjadi semacam ajakan atau provokasi untuk ikut bergabung atau melakukan tindakan serupa di lingkungannya.
Tayangan langsung demo rusuh bisa menjadi trigger (pemicu) kelompok untuk melakukan tindakan kekerasan. Dengan kata lain, tayangan langsung demo ricuh itu bisa menjadi sarana memobilisasi massa secara tidak langsung.
Harus diakui bahwa masifnya penyebaran konten provokasi ditambah siaran langsung demonstrasi itu ikut andil dalam memobilisasi massa ke titik-titik demonstrasi yang berkahir dengan kericuhan. Apalagi, ketika muncul narasi yang mengglorifikasi kerusuhan dan seolah menempatkan perusuh sebagai hero alias pahlawan.
Mengutip pernyataan Menteri Kondisi Meutia Hafid, di balik masifnya provokasi digital berupa unggahan video dan teks ajakan berbuat kerusuhan atau tayangan langsung demonstrasi nyatanya juga terdapat aliran dana yang sangat besar yang sumbernya berasal dari dalam dan luar negeri.
Meutia lebih lanjut menjelaskan bagaimana tayangan live streaming demonstrasi di sejumlah platform digunakan sebagai ajang mencari uang melalui gift atau pun donasi. Ini artinya, ada upaya memonetisasi tindakan kekerasan dan vandalisme melalui platform digital.
Fakta itu yang membuat platform seperti Tiktok menutup fitur live streamingnya secara suka rela. Ironisnya, hal itu diframing sebagian kalangan sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam membungkam kebebasan berekspresi.
Mobilisasi massa dan monetisasi kekerasan melalui platform digital adalah ancaman baru demokrasi di era medsos. Kekerasan yang disebarkan melalui medsos hadir dalam ruang privat kita.
Semua orang bisa mengaksesnya, tidak peduli latar belakang ekonomi, pendidikan, agama, etnis, bahkan usia. Jika tidak dibatasi, provokasi digital itu rentan melahirkan gelombang kekerasan massal yang jauh lebih masif. Jika itu terjadi, maka eksistensi bangsa dan negara menjadi taruhannya.
Di era digital seperti sekarang, provokasi tidak selalu hadir dalam dunia nyata. Provokasi justru lebih sering menyebar melalui kanal-kanal maya. Revolusi Arab atau dikenal dengan The Arab Springs adalah gerakan sosial politik yang pertama kali disuarakan melalui media sosial terutama Facebook dsn Twitter. Revolusi yang dimulai dari Tunisia berawal dari viralnya video bakar diri seorang pedagang bersama Boazizi.
Video bakar diri yang viral itu lantas memantik revolusi politik. Boazizi dianggap sebagai martir demokrasi. Revolusi Tunisia itu lantas merembet ke negara Timur Tengah lainnya. Seperti Libya, Mesir, Yaman, Suriah, Bahrain, dan Mesir.
Mark Pfeifle, mantan penasehat keamanan Amerika Serikat menulis opini di The Newyork Times. Ia menulis bahwa gerakan sosial politik yang diinisiasi melalui platform digital memang kerap berhasil menumbangkan rezim. Namun, gerakan itu gagal menciptakan konsensus sosial politik yang menjamin keamanan dan stabilitas nasional. Sebaliknya, gerakan sosial politik yang berbasis pada platform media sosial justru kerap melahirkan konflik sosial horisontal baru yang berkepanjangan. Misalnya perang saudara.
Lebih lanjut ia juga mewanti-wanti bahwa gerakan sosial politik berbasis platform digital kerap dijadikan momentum kebangkitan kelompok radikal teroris. Apa yang terjadi di Timur Tengah mengonformasi pendapat Pfeifle ini. Pasca revolusi, gerakan radikal teroris transnasional yang mengusung ideologi daulah atau khilafah tumbuh subur secara global.
Pandangan Pfeifle ini relevan kita renungkan dalam konteks Indonesia hari ini. Diakui atau tidak, provokasi digital yang masif belakangan ini menandakan ada skenario besar untuk menduplikasi revolusi Arab Spring di Timur Tengah. Kaum radikal berusaha menciptakan sosok martir demokrasi, lalu mengkambinghitamkan aparat keamanan dan pemerintah, dengan tujuan memobilisasi kemarahan massa menjadi tindakan Subversi dan terorisme.
Sinergi bersama antara pemerintah dan penyedia platform media sosial sangat diperlukan dalam hal ini. Pemerintah ke depannya wajib menyusun regulasi terkait penanganan live streaming demonstrasi apalagi yang menjurus pada kekerasan dan vandalisme.
This post was last modified on 4 September 2025 2:19 PM
Jika kita rutin membuka media sosial belakangan ini, maka kita akan disuguhi berbagai informasi dan…
Pada tanggal 5 September, umat Islam di seluruh dunia akan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW,…
Dalam sepekan terakhir kita disuguhi pemandangan brutal ketika gerombolan massa meluapkan amarah kolektifnya. Ada yang…
Gelombang demonstrasi terjadi di berbagai kota di Indonesia. Pada dasarnya, demonstrasi adalah hak konstitusional warga…
Akun TikTok @ekalastri333 dengan pengikut 12, 9 ribu dan menulis di bio profilnya sebagai “pengemban…
Demokrasi adalah ruang hidup bangsa. Ia bukan sekadar sistem politik, melainkan jalan bersama untuk menyalurkan…