Narasi

Menyoal Metode Viral ala Pandji dengan FPI

Siapapun ingin viral segeralah membuat sensasi. Tidak terkecuali Nikita Mirzani. Pandji pun mengikuti jejak untuk  mencari sensasi dengan menumpangi FPI. Tentu alasannya cukup logis dengan mengatakan bahwa “itu video lama dan harus ditonton secara penuh” sebagaimana lazimnya kontroversi yang sudah kadung terjadi.

Pandji tentu paham konsekuensi logis ketika harus mengulas kembali FPI yang tengah mati suri. Benar mati suri, karena tidak sepenuhnya mati. Sempat lantang ada upaya untuk menghidupkan dengan mengganti nama. Tetapi sekarang entah kemana.

Video lama pun menjadi viral karena diulas kembali dalam konteks yang cukup tepat. Sekedar membahas FPI saja mungkin sudah tidak butuh ditanggapi secara serius. FPI saja memilih tiarap tanpa reaksi atas pembubarannya. Namun, ada cara yang bisa memantik viral apabila menyandingkan FPI dengan organisasi besar. Tersebutlah NU dan Muhammadiyah.

Benar kan, sontak menjadi viral. Tentu saja, ketika sang komedian hanya menyinggung FPI atau dia membela FPI itu hak seorang Pandji. Namun, ini harus menjadi viral. Caranya harus menyentil ormas besar yang memiliki daya ledak besar. Ketika konten ini meledak komen bermunculan dan Pandji siap menghadapi dengan apologi. ” Tontonlah secara utuh tidak sepotong-potong”, katanya berkilah. “Itu bukan kalimat saya” lanjut seorang Pandji. Itu hanya kutipan dari sosiolog UI, Tamrin Tomagola, yang dulu pernah disiram Eks Jubir FPI, Munarman di sebuah acara Talkshow di salah satu stasiun swasta. 

Pandji menceritakan bahwa pendapatnya hanyalah kutipan  dari Thamrin Tomagola di sebuah wawancara pada tahun 2012 yang saat itu menyebut FPI lebih dekat dengan rakyat. Sedangkan NU dan Muhammadiyah lebih terkesan elite sehingga jauh dari rakyat. Subtansi pernyataan Pandji diklaim berdasarkan pada pernyataan Thamrin tetapi penggunaan istilah merakyat dan elitis perlu dikaji lebih jauh dan ditanyakan kembali pada seorang Pandji.  

Untuk menegaskan pernyataannya, Pandji lalu bercerita :”Sering kejadian ada warga sakit, mau berobat gak punya duit, ke FPI, kadang kasih duit, kadang ngasih surat. Suratnya dibawa ke dokter jadi diterima. Kenapa seperti itu. Kata Pak Thamrin Tomanggola, pintu ulama-ulama FPI terbuka untuk warga. Jadi orang mau datang bisa. Nah yang NU dan Muhammadiyah, karena terlalu tinggi dan elitis warga nggak kesitu, warga ke FPI,” kata Pandji dalam videonya. 

Karena kisruh kian ricuh tidak seperti yang diduga, Profesor Thamrin pun mengklarifikasi. Konteks pembicaraannya yang dikutip Pandji adalah seputar kondisi kelompok miskin kota di perkampungan yang kumuh di Jakarta yang kerap mendapatkan pendampingan dari FPI dan tidak tersentuh oleh NU dan Muhammadiyah. Pernyataan tentang merakyat dan elitis dikembalikan lagi kepada Panjdi. Kata Pak Thamrin kembali melempar.

Menarik sekali sebenarnya jika kita lepaskan sejenak niat panjat sosial dan viral seorang Pandji yang memang mulai tidak tenar tersebut. Kita beralih pada subtansi dan konteks yang dibawa panji. Benar Pandji sedang melakukan sebuah wawancara yang sebenarnya pasti sedang mengajukan nilai dan kepentingan tertentu. Kutipan adalah bagian dari cara melegitimasi nilai dan pandangan yang dia punya. Tentu akhirnya kutipan itu bisa salah tafsir atau sengaja ditafsiri dan digunakan secara general untuk sebuah legitimasi. Tentu itu bukan sekedar murni mengutip tetapi ada sesuatu yang ingin ditegaskan dengan kutipannya.

Secara subtansi memang terlihat Pandji tidak memahami konteks sejarah NU dan Muhammadiyah secara luas dan hanya meletakkan kata “merakyat” dalam konteks yang sederhana untuk tidak mengatakan sepele dan receh. Sebenarnya anak-anak muda NU dan Muhammadiyah sangat membuang energi dengan mengkritik seorang komedian. Kalian harus arif juga menyikapi kutipan Pandji.

Jika memahami subtansi tentu Pandji memahami bahwa persoalan merakyat dan merawat pendidikan masyarakat tentu tidak bisa diragukan sumbangsih besar NU dan Muhammadiyah. Jika FPI dikatakan merakyat harus membantu seseorang yang tidak bisa masuk lembaga pendidikan, NU dan Muhammadiyah membangun lembaga pendidikan yang banyak pula yang digratiskan. Mereka menampung mereka yang tidak mempunyai akses dan biaya pendidikan di seluruh Indonesia, bukan sekedar di Jakarta terkhusus di perkampungan yang kumuh di Jakarta.

Cara mendefinisikan “merakyat dan elite” dalam frasa yang digunakan Pandji yang katanya mengutip Thamrin adalah sebuah cara dia memframing peristiwa kecil untuk dibesarkan sesuai dengan kepentingannya. Penulis tentu tidak ingin menebak apakah Pandji murni mencari sensasi atau memang membela FPI atau lebih jauh lagi untuk pembelaan terhadap Anies. Memang tidak nyambung sih bawa-bawa Anies. Tapi, Itu ranah Pandji untuk menyalurkan niatnya sesuai kepentingannya.

Namun, tentu saja mengumbar nilai, pandangan dan kepentingan dengan menampar NU dan Muhammadiyah dengan menyandingkannya dengan FPI jelas terlihat bukan suatu yang logis. Namun, bisa jadi Pandji sedang ingin berlelucon? Tetapi lelucon yang cerdas harus mendapatkan data yang baik agar mencerdaskan. Mengutip pernyataan untuk kepentingan tertentu dan tidak mengetahui konteks secara luas adalah kecerobohan. Tentu untuk tidak mengatakan kebodohan.

Saya sedang menerka dengan baik. Bisa saja Pandji ingin memberikan saran agar NU dan Muhammadiyah terlihat dekat dengan rakyat, bersikaplah seperti FPI dengan memberikan rekomendasi untuk masuk sekolah dan melupakan institusi sekolah yang ribuan yang dimiliki NU dan Muhammdiyah. Biar terlihat merakyat NU dan Muhammadiyah cukup mendampingi warga dengan memberi surat rekomendasi berobat dan lupakan rumah sakit yang telah dibangun oleh NU dan Muhammdiyah. Jika ingin terlihat merakyat jadilah seperti FPI ketika bantuan kemanusiaan bencana datang dengan atribut bendera di mana-mana dan lupakan LPBI-NU dan MCDC yang telah berdiri beserta relawannya.

Nah, jika itu sudah dilakukan oleh NU dan Muhammdiyah mungkin mereka akan lebih merakyat dan tidak elitis sebagaimana kata Pandji dengan kutipannya. Tetapi atas semuanya Pandji jadi viral kembali. Setidaknya itu kata selamat buat Pandji.   

This post was last modified on 25 Januari 2021 11:46 AM

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

16 jam ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

16 jam ago

Cyberterrorism: Menelisik Eksistensi dan Gerilya Kaum Radikal di Dunia Daring

Identitas Buku Penulis               : Marsekal Muda TNI (Purn.) Prof. Asep Adang Supriadi Judul Buku        :…

16 jam ago

Meluruskan Konsep Al Wala’ wal Bara’ yang Disimplifikasi Kelompok Radikal

Konsep Al Wala' wal Bara' adalah konsep yang penting dalam pemahaman Islam tentang hubungan antara…

2 hari ago

Ironi Kebebasan Beragama dan Reformulasi Hubungan Agama-Negara dalam Bingkai NKRI

Di media sosial, tengah viral video pembubaran paksa disertai kekerasan yang terjadi pada sekelompok orang…

2 hari ago

Penyelewengan Surat Al-Maidah Ayat 3 dan Korelasinya dengan Semangat Kebangsaan Kita

Konsep negara bangsa sebagai anak kandung modernitas selalu mendapat pertentangan dari kelompok radikal konservatif dalam…

2 hari ago