Polemik publik terkait penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 tampaknya belum reda. Suara-suara sumir yang menentang Perpres tersebut dengan argumen negative framing ke pemerintah masih terdengar. Resistensi itu bisa kita pahami sebagai manuver atau serangan balik kaum konservatif-radikal menyikapi kebijakan pemerintah yang memukul telak gerakan mereka.
Kaum muslim moderat kiranya tidak boleh terpengaruh oleh provokasi kaum radikal-ekstremis yang selalu menebar fitnah dan ujaran kebencian pada pemerintah dengan menstigma pemerintah sebagai anti-Islam atau mengidap fobia Islam. Narasi resisten kaum radikal terhadap Perpres RAN PE kiranya justru menambah soliditas kaum muslim moderat untuk bersinergi menghalau radikalisme dan terorisme.
Sebagai patologi sosial, radikalisme dan terorisme memiliki gejala awal yang bisa dideteksi. Setidaknya ada empat gejala radikalisme keagamaan yang mengemuka di sebelum seseorang terpapar ideologi ekstremisme dan terorisme. Pertama, munculnya corak keberagamaan yang dilandasai sentimen klaim kebenaran (truth claim) yakni meyakini penafsiran atas ajaran agamanya sebagai yang paling mutlak benar dan menganggap penafsiran lain sebagai salah dan sesat.
Kedua, munculnya praktik kultus individu yakni ketaatan berlebihan pada sosok yang dianggap sebagai pemimpin atau tokoh agama yang lantas mengalpakan nalar kritis dan mematikan intelektualitas umat. Kultus individu tidak pelak telah melahirkan fanatisme keagamaan yang menjadi cikal-bakal munculnya paradigma eksklusivisme dan konservatisme keagamaan.
Ketiga, munculnya konsep ideal dalam beragama yang lantas melahirkan sentimen anti-perbedaan bahkan anti-nasionalisme. Dalam Islam konsepsi ideal ini kerap merujuk pada gagasan Islam kaffah yang mewujud pada agenda formalisasi syariah Islam. Keempat, munculnya cara pandang keberagamaan yang machiavelianistik, yakni menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan, termasuk jalan kekerasan dan teror atas nama agama.
Problem Radikalisme dan Sindrom Ketidakpedulian di Mayarakat
Di titik ini, kita bisa menyimpulkan bahwa persoalan radikalisme dan terorisme tidak terbatas pada isu kekerasan fisik atau aksi teror. Lebih dari itu, radikalisme dan terorisme juga mencakup paham dan gerakan yang mengajak umat beragama ke dalam pola pikir eksklusivistik, intoleran dan eksploitasi kekerasan sebagai jalan meraih tujuan. Sistem demokrasi terbuka yang kita anut pasca Reformasi memungkinkan setiap paham dan gerakan sosial, politik dan agama berkembang di ruang publik. Namun, akan menjadi paradoks sekaligus anomali jika kebebasan itu justru dimanfaatkan oleh kelompok yang anti-demokrasi. Inilah yang saat ini terjadi di Indonesia. Kaum radikal membajak kebebasan dan demokrasi untuk menginfiltrasi ruang publik dengan ideologi yang bertentangan dengan falsafah bangsa.
Di saat yang sama, masyarakat kita tengah dilanda semacam sindrom ketidakpedulian (sindrome of apatism), terutama di kalangan masyarakat perkotaan (urban). Lazim diketahui, masyarakat perkotaan kerap hidup dalam cangkangnya masing-masing tanpa menjalin komunikasi, interaksi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Pemahaman komunikasi, interaksi dan sosialisasi dalam hal ini tentu tidak hanya sebatas saling tegur sapa, namun juga memahami betul realitas sosial di sekelilingnya, termasuk dinamika dan problematika di dalamnya. Tidak bermaksud mencari kambing hitam, namun tidak berlebihan untuk menyebut bahwa gaya hidup modern yang individualistik menyumbang andil pada fenomena apatisme di kalangan masyarakat urban tersebut.
Hilangnya prinsip komunalisme yang tergerus oleh sindrom apatisme ini membuka ruang celah bagi masuknya kelompok radikal untuk menumpang hidup layaknya benalu. Ketika masyarakat telah kehilangan spirit kebersamaan dan gotong-royong, saat itulah kaum radikal secara masif membentuk jejaring sel yang sewaktu-waktu bisa melancarkan aksi kekerasan atau teror destruktif. Dalam konteks yang demikian inilah, narasi besar Perpres RAN PE yang mendorong partisipasi publik dalam mencegah dan menanggulangi ekstremisme dan kekerasan menemukan relevansinya. Persoalan terkait radikalisme dan terorisme tidak bisa sepenuhnya dibebankan ke pundak pemerintah atau aparat keamanan semata.
Radikalisme Sebagai Musuh Bersama Masyarakat
Radikalisme dan terorisme ialah musuh bersama (common enemy) yang harus dicegah dan ditanggulangi dengan melibatkan sinergi seluruh elemen bangsa. Di lingkup masyarakat, pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan terorisme kiranya bisa dilakukan dengan pendekatan sosio-kultural yang sifatnya lebih untuk mengidentifikasi gejala awal yang tampak. Disinilah pentingnya spirit komunalisme dan gotong royong utamanya di kalangan masyarakat urban yang tengah hanyut oleh arus budaya apatisme. Di level masyarakat paling bawah, sistem deteksi dini (early warning system) terkait radikalisme bisa dibangun di atas fondasi kegotong-royongan dan spirit komunalisme.
Di lapangan, gagasan itu dapat diejawantahkan dalam upaya membangun kembali ekosistem sosial yang sehat, yakni sebuah masyarakat yang hidup dengan kerjasama, sinergi dan kepedulian antarsesama yang kuat. Dalam konteks keamanan, penting kiranya menghidupkan kembali sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang dalam beberapa tahun belakangan mulai ditinggalkan terutama oleh masyarakat urban. Kehadiran teknologi keamanan yang canggih seperti CCTV dan sejenisnya tentu tidak bisa menjangkau problem-problem keamanan yang dilatari oleh paham terorisme dan radikalisme.
Selain siskamling dalam konteks konvensional, masyarakat juga perlu mengoptimalkan siskamling virtual terutama di media sosial. Tersebab, narasi radikalisme dan terorisme belakangan ini lebih banyak dipropagandakan di kanal-kanal media digital. Diberangusnya ormas-ormas Islam radikal membuat para pengasong ekstremisme melakukan eksodus ke dunia maya. Hal inilah yang patut diwaspadai bersama. Penerbitan Perpres RAN PE kiranya bisa menjadi momentum untuk membangun sistem deteksi dini radikalisme dengan mengoptimalkan prinsip komunalisme dan spirit gotong royong, baik di dunia nyata maupun di ranah maya.
Dalam pendekatan lunak (soft approach) melawan radikalisme dan terorisme, masyarakat ialah unit terdepan yang bersentuhan langsung dengan fenomena tersebut. Masyarakat bisa menjadi pelaku sekaligus korban dari aksi radikal-teror. Maka dari itu, penting untuk membangun sistem dan mekanisme pencegahan sejak dini
This post was last modified on 25 Januari 2021 11:47 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…