Narasi

Menyoal Moderasi Beragama Pesanan Asing dan Agenda Barat

Jika berbicara tentang moderasi beragama selalu ada serpihan suara sumbang yang mengatakan bahwa moderasi beragama adalah pesanan asing atau agenda Barat untuk melemahkan Islam. Atau jika berbicara tentang toleransi, juga ada segelintir yang memelintir bahwa toleransi agenda liberalisasi.

Tentu saja, suara itu berangkat dari kegelisahan, ketakutan dan kekhawatiran dalam dirinya bahwa Islam sedang diancam dan didzalimi oleh kekuatan besar yang tak terlihat. Baginya, Islam sedang terkepung dari berbagai penjuru dari Amerika, Rusia, China hingga Pemerintahan dalam negeri sendiri. Sehingga apapun istilah asing baik itu demokrasi, moderasi, toleransi, dan lainnya adalah agenda asing melemahkan Islam. Padahal, sejatinya Islam terancam oleh pikiran kita sendiri yang terlalu dangkal.

Jika kita ganti semisal demokrasi sebagai musyawarah, moderasi sebagai washatiyah, dan toleransi sebagai tasamuh, tentu tidak menjadi persoalan. Karena terkadang kita hanya terpaku pada istilah. Seolah memanggil umi sebagai pengganti ibu akan mendapat pahala. Atau memanggil bapak dengan abi dan saudara dengan akhi dan ukhti lebih dekat kepada surga.

Kembali kepada moderasi beragama yang seringkali dianggap agenda Barat melemahkan Islam, apakah memang moderasi atau washaty tidak ada rujukannya dalam Islam? Apakah bersikap moderat berarti melemahkan keislaman seseorang?

Dalam surat al-Baqarah ayat 143, para intelektual Islam-sebaiknya memakai istilah ulama agar lebih dipahami mereka-menyandarkan istilah Islam yang moderat atau moderasi beragama dengan merujuk ayat tersebut. Umat Islam adalah umat yang moderat (washaty).

Jika dilihat dari ilmu nahwu, ayat 143 merupakan isim na’at/sifat yang menjelaskan tentang sifat dari umat. Sederhananya, umat Islam adalah umat yang moderat (washatan). Umat Islam diberikan karakter/sifat sebagai umat yang moderat penegak keadilan.

Moderasi beragama sejatinya cara berpikir dan berislam dengan merujuk pada sifat umat Islam yang washatan yang bersumber dari al-Quran. Bukan istilah pesanan asing, Barat, kapitalis, liberal atau cara persepsi yang terlalu dangkal dalam melihat istilah.

Ada pula yang mengatakan bukahkah moderasi beragama akan merangkul semua agama, kepercayaan dan budaya di luar Islam? Terkadang pertanyaan konyol ini sering muncul dari cara persepsi yang sudah tertutupi asumsi yang dianggap kebenaran. Atau lebih tepatnya, kurang piknik dan hanya diam dalam tempurung.

Moderat Khittah Umat Islam

Pertama harus ditegaskan bahwa moderasi adalah sifat dan karakter untuk menyebut umat Islam yang ditegaskan dalam Al-Quran. Islam yang moderat bukan merangkul agama, kepercayaan dan budaya dicampur adukkan dengan Islam. Tidak ada dalam kamus pemikiran dan berislam secara moderat yang membenarkan persepsi tersebut.

Bahwa umat Islam yang berpikiran moderat berinteraksi dan berkomunikasi dengan berbeda agama itu adalah sebuah keniscayaan. Islam tidak pernah memusuhi orang yang tidak memusuhi Islam. Dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, misalnya Allah menegaskan tidak melarang umat Islam berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka yang tidak memerangi dan tidak mengusir karena agama. Maka, memandang musuh semua umat yang berbeda bukan hanya bertentangan dengan pemikiran yang moderat, tetapi bertentangan dengan perintah Allah dalam al-Quran.

Cara berislam yang kaffah, misalnya, bukan berarti harus benci terhadap non muslim atau yang berbeda. Kurang berislam seperti apa Rasulullah, tetapi dalam interaksi kemanusiaan Rasulullah menyapa, bertemu, berdiskusi bahkan menjalin kerjasama dan diplomasi dengan kekuatan politik yang berbeda agama.

Justru, berislam yang sesuai khittah harus mempunyai sifat dan jati diri umat yang washatan. Berislam secara kaffah harus tidak ekstrem spritualisme dan tidak ekstrem materialisme. Intinya, berislam dengan moderat sebagai sifat umat Islam yang diajarkan dalam al-Quran dan dipraktekkan oleh Rasulullah adalah menyeimbangkan dua kutub yang ekstrem; tidak mabuk agama, tetapi tidak mabuk dunia. Ada hak Tuhan yang harus dipenuhi, tetapi ada hak manusia dan alam yang harus dipenuhi.

Sebagai penegasan akhir, jika anda masih memandang moderasi bukan karakter umat Islam, rajinlah banyak membaca, mengaji dan berkonsultasi kepada guru yang ahli. Jangan hanya mengandalkan terjemahan al-Quran lalu anda memutuskan sesuatu dengan pikiran anda.

Syeikh Ibn Jama’ah pernah berkata: “Sebesar-besar musibah adalah dengan bergurukan sahifah (lembaran-lembaran atau buku)”. Inilah yang terjadi di generasi muslim masa kini, yang hanya mengandalkan buku saja, tetapi tidak pernah berguru secara langsung. Besarnya militansi tidak diimbangi dengan kualitas keilmuannya.

This post was last modified on 5 September 2023 2:53 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Kampanye Khilafah di Momen Bencana; Dari Krisis Ekologis ke Krisis Ideologis

Di tengah momen duka bangsa akibat bencana alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,…

1 jam ago

Menjadi Khalifah di Muka Bumi: Melindungi Alam dari Penjahat Lingkungan, Menjaga Kehidupan Umat dari Propaganda Radikal

Menjadi khalifah di muka bumi adalah mandat moral dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia.…

1 jam ago

Kampanye Ekologi dan Bencana Ekstremisme: Perlukah Diserukan Tokoh Lintas Agama?

Di tengah krisis lingkungan global dan meningkatnya gelombang ekstremisme, masyarakat dunia menghadapi dua ancaman berbeda…

2 jam ago

Ksatria dan Pedagogi Jawa

Basa ngelmu Mupakate lan panemu Pasahe lan tapa Yen satriya tanah Jawi Kuno-kuno kang ginilut…

3 hari ago

Ketika Virus Radikalisme mulai Menginfeksi Pola Pikir Siswa; Guru Tidak Boleh Abai!

Fenomena radikalisme di kalangan siswa bukan lagi ancaman samar, melainkan sesuatu sudah meresap ke ruang-ruang…

3 hari ago

Pendidikan Bela Negara dan Moderasi Beragama sebagai Benteng Ekstremisme

Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya, menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan…

3 hari ago