Narasi

Kampanye Khilafah di Momen Bencana; Dari Krisis Ekologis ke Krisis Ideologis

Di tengah momen duka bangsa akibat bencana alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat, masih saja ada pihak nirempati yang menebar narasi negatif. Meraka mem-framing isu bencana sebagai kegagalan sistem demokrasi dan efek dari kapitalisme liberal yang tidak ramah dengan alam dan lingkungan.

Sebagai solusinya, mereka menyodorkan khilafah sebagai solusi bagi krisis alam dan lingkungan. Dengan penerapan khilafah, mereka mengklaim negeri ini akan terbebas dari krisis lingkungan hidup.

Pandangan yang demikian ini jelas nirempati. Di tengah suasana krisis akibat bencana, seluruh pikiran dan energi idealnya diarahkan untuk menangani para korban; mengevakuasi yang meninggal, mengobati yang luka, dan membantu mereka yang selamat namun harus meninggalkan rumah dan tinggal di pengungsian.

Saat ini bukan waktunya menuding dan mencari kambing hitam siapa yang salah di balik bencana. Situasi darurat harus diatasi dengan pendekatan kemanusiaan dan empati. Menyalahkan demokrasi dan kapitalisme liberal tidak akan meringankan beban para korban bencana. Alih-alih justru membuat mereka kian merasa terpojokkan.

Bencana alam yang terjadi di sejumlah wilayah di Pulau Sumatera tidak bisa dilepaskan dari gejala perubahan iklim yang terjadi secara global. Curah hujan yang super tinggi ditambah badai adalah efek dari perubahan iklim yang terjadi sejak beberapa dekade belakangan. Krisis ekologis bukan hanya terjadi di Indonesia, namun di seluruh dunia.

Waspada Krisis Ideologis

Menuding sistem kapitalisme sebagian penyebab krisis lingkungan hidup memang tidak sepenuhnya salah. Harus diakui, sistem kapitalisme liberal yang cendrung eksploitatif pada alam telah berdampak pada kerusakan lingkungan yang kian parah. Namun, mengklaim khilafah sebagai satu-satunya solusi mengatasi krisis lingkungan hidup adalah cara pandang yang sembrono dan absurd.

Propaganda khilafah di tengah bencana justru berpotensi menjerumuskan kita pada jebakan baru, yakni krisis ideologis. Krisis ideologis terjadi ketika bangsa kehilangan jatidirinya dan kehilangan kepercayaan pada ideologi yang selama ini menjadi fondasi kebangsaan. Dalam konteks Indonesia, ideologi itu adalah Pancasila. Propaganda khilafah yang membonceng momen bencana alam berpotensi mendistorsi Pancasila.

Hari ini kita tengah menghadapi krisis ekologis, jangan lagi ditambah dengan krisis ideologis. Dalam konteks Islam, krisis ekologi dilatari oleh sikap rakus manusia dan prilaku abai pada hak alam. Solusinya bukan pergantian sistem pemerintahan sebagaimana diklaim oleh para propagandis khilafah, melainkan dengan mengubah perilaku manusia dan cara pandang kita terhadap alam dan lingkungan.

Cara pandang sebagian umat selama ini terhadap alam cenderung bersifat eksploitatif. Manusia menempatkan alam sebagai obyek yang harus dieksploitasi habis-habisan untuk memenuhi keinginan atau hawa nafsu manusia. Akibatnya, alam seperti obyek yang diperas, bahkan diperkosa demi tujuan pragmatis. Alam diperlukan layaknya barang hadiah yang boleh dipakai sampai rusak. Logika ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Di dalam Islam, bumi merupakan tempat tinggal manusia yang diwariskan turun-temurun sejak era Nabi Adam hingga generasi sekarang. Bumi bukan hadiah, melainkan titipan yang harus dijaga sebagai warisan terhadap anak cucu. Maka, manusia digelari Khalifatullah fil Ardhi yang maknanya adalah wakil Allah di muka bumi. Sebagai wakil Allah, manusia idealnya menjalin relasi yang konstruktif dengan alam dan lingkungan.

Nilai Pancasila untuk Kelestarian Lingkungan 

Status sebagai Khalifatullah fil Ardhi tidak harus diterjemahkan dengan agenda mendirikan negara dengan sistem pemerintahan khilafah ala sejarah Islam Abad Pertengahan. Peran manusia sebagai khalifatullah fil Ardhi dalam konteks menjaga lingkungan dan alam dapat diwujudkan dengan menfembangkan pola pikir dan perilaku yang adaptif pada kelestarian alam.

Nilai dan prinsip Pancasila tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan kiranya relavan dijadikan sebagai paradigma dalam mengelola lingkungan dan alam. Prinsip ketuhanan bermakna bahwa relasi manusia dan alam itu mengandung dimensi spiritual alias ketuhanan. Menjaga alam adalah bentuk kecintaan terhadap ciptaan Allah.

Prinsip kemanusiaan bermakna bahwa pemanfaatan lingkungan dan alam harus mengedepankan asas maslahat. Jangan sampai, kepentingan pragmatis dalam memanfaatkan kekayaan alam itu mengorbankan prinsip kemanusiaan.

Prinsip persatuan bermakna bahwa seluruh alam dan lingkungan Indonesia ini adalah milik bersama. Ketika satu wilayah dilanda krisis akibat bencana alam, maka wilayah lain hendaknya ikut merasakan, berempati, dan mengulurkan bantuan. Bencana harus dipahami sebagai momen untuk mempererat persatuan bangsa.

Prinsip permusyawaratan bermakna bahwa pengelolaan alam dan lingkungan harus diputuskan bersama dengan melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Pengelolaan alam bukan sekedar urusan pemerintah atau pengusaha, namun juga menjadi tanggung jawab para tokoh agama, dan masyarakat secara umum. Terakhir, prinsip keadilan dimaknai sebagai kesadaran bahwa kekayaan alam harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan keadilan bersama warganegara.

Jika kelima prinsip Pancasila itu dipakai sebagai pedoman pengelolaan dan pemanfaatan alam dan lingkungan, maka krisis ekologis kiranya dapat diminimalisasi. Dengan kata lain juga, kita tidak membutuhkan khilafah sebagai solusi krisis ekologi. Khilafah tidak akan menyelesaikan masalah krisis ekologi, namun justru akan menghadirkan bencana ideologi.

Nurrochman

Recent Posts

Menjadi Khalifah di Muka Bumi: Melindungi Alam dari Penjahat Lingkungan, Menjaga Kehidupan Umat dari Propaganda Radikal

Menjadi khalifah di muka bumi adalah mandat moral dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia.…

13 menit ago

Kampanye Ekologi dan Bencana Ekstremisme: Perlukah Diserukan Tokoh Lintas Agama?

Di tengah krisis lingkungan global dan meningkatnya gelombang ekstremisme, masyarakat dunia menghadapi dua ancaman berbeda…

37 menit ago

Ksatria dan Pedagogi Jawa

Basa ngelmu Mupakate lan panemu Pasahe lan tapa Yen satriya tanah Jawi Kuno-kuno kang ginilut…

3 hari ago

Ketika Virus Radikalisme mulai Menginfeksi Pola Pikir Siswa; Guru Tidak Boleh Abai!

Fenomena radikalisme di kalangan siswa bukan lagi ancaman samar, melainkan sesuatu sudah meresap ke ruang-ruang…

3 hari ago

Pendidikan Bela Negara dan Moderasi Beragama sebagai Benteng Ekstremisme

Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya, menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan…

3 hari ago

Narasi Tagut : dari Doktrin ke Aksi Teror-Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 9 November 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

3 hari ago