Narasi

Menyoal Polemik UU ITE: Antara Revisi dan Reinterpretasi

Polemik ihwal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE kembali mencuat belakangan ini. Hal ini bermula dari survei The Economist Intellegence Unit (IEU) yang menyebut indeks kebebasan Indonesia berada di skor paling rendah sejak 14 tahun terakhir. Salah satu varibel penyebab anjloknya indeks kebebasan demokrasi Indonesia itu ialah turunnya skor kebebasan sipil, terutama terkait kebebasan berpendapat di dunia maya. Menanggapi hal itu, sejumlah elemen masyarakat sipil melontarkan gagasan untuk melakukan revisi terhadap UU ITE, yang selama ini dianggap sebagai hambatan besar terwujudnya kebebasan berpendapat di dunia maya.

Desakan untuk meninjau ulang UU ITE pun bergema di masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang menganggap UU ITE sebagai momok kebebasan berekspresi dan menjadi ancaman demokrasi. Lebih dari itu, sebagian masyarakat menganggap UU ITE kerap menjadi alat untuk mengkriminalisasi pihak-pihak yang berseberangan pendapat. Bahkan, sejumlah orang yang pernah dipidanakan dengan UU ITE membentuk sebuah perkumpulan yang bernama “Paguyuban Korban UU ITE”. Di titik ini, pertanyaan yang patut dijawab ialah apakah desakan untuk merevisi UU ITE penting untuk diwujudkan, terutama di tengah kian maraknya hoaks, ujaran kebencian dan perang opini berbalut cacian di dunia maya?

Diakui atau tidak, keberadaan media baru terutama internet dan media sosial telah mengubah praktik kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam bidang politik. Keberadaan internet terutama media sosial benar-benar mengubah lanskap demokrasi kita. Demokrasi di era disrupsi digital ini menjadi lebih berwarna sekaligus dinamis. Internet dan medsos yang bebas dan terbuka telah memungkinkan setiap individu berinteraksi dan bertukar gagasan tentang sebuah isu tertentu. Produktivitas publik dalam melahirkan opini atau narasi politik pun meningkat tajam.

Namun ironisnya, seiring dengan itu jumlah produksi hoaks dan ujaran kebencian pun kian tidak terbendung. Internet dan media sosial, sebagaimana disebut oleh Andrew Wilson dalam buku Virtual Politics telah menjadi arena pertempuran baru politik (the new battle ground of politics) yang didalangi oleh aktor-aktor virtual. Perang opini dan wacana politik yang kerap berkelindan dengan kebencian pun menjadi tidak terhindarkan. Di media sosial, politik lebih kerap menampakkan wajahnya yang penuh kebencian dan kepalsuan. Inilah ujian bagi seluruh negara demokrasi di Indonesia, tidak terkecuali Indonesia.

Jika ditelusuri ke akar kemunculannya UU ITE ini sebenarnya lahir untuk merespons perkembangan dunia digital yang kian pesat. Dalam leksikon ilmu hukum, dikenal adagium het recht hink achter de feiten aan yang bermakna “hukum akan selalu tertinggal oleh perkembangan zaman”. UU ITE hadir untuk mematahkan adagium tersebut. Mengutip Muhammad Fatahillah, dalam kolomnya yang berjudul “Budaya UU ITE” disebutkan bahwa UU ITE bertujuan untuk memberikan perlindungan optimal atas segala aktivitas di media elektronik dan digital. Isu-isu pokok dalam UU ITE sebenarnya berhubungan dengan kejahatan siber (cyber-crime) dalam berbagai bentuknya.

Awalnya, UU ITE didesain untuk mencegah kejahatan konvensional seperti pencurian atau penipuan yang dilakukan dengan bantuan teknologi elektronik atau digital. Namun, dalam perkembangan selanjutnya UU ITE lebih banyak dipakai untuk memidanakan perbuatan asusila atau penghinaan (pencemaran nama baik) yang dilakukan melalui media digital. Kecenderungan inilah yang lantas menjadikan UU ITE seolah-olah sebagai ancaman bagi kebebasan berpendapat dan berdemokrasi. Salah tafsir UU ITE itulah yang membuat aktivitas saling lapor hanya karena perang opini di media digital seolah telah menjadi tradisi baru. Belum lagi sejumlah pihak yang dikriminalisasi hanya karena mengkritik pihak lain.

Pentingnya Reinterpretasi UU ITE Untuk Mewujudkan Ruang Publik Digital yang Sehat

Di titik ini bisa kita simpulkan bahwa secara esensial dan subtansial, UU ITE memiliki spirit yang baik, yakni melindungi aktivitas warganegara di dunia digital. Citra buruk UU ITE sebagai ancaman demokrasi muncul karena ulah segelintir oknum yang kadung menafsirkan UU ITE sebagai alat untuk memberangus individu atau kelompok yang berbeda. Maka dari itu yang lebih urgen dilakukan saat ini ialah melakukan interpretasi ulang atas UU ITE terutama pasal-pasal karet yang berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi ketimbang melakukan revisi.

Spirit UU ITE sebagai bagian dari upaya untuk merespons perubahan zaman harus tetap kita jaga dan rawat. Bagaimana pun juga, dinamika di dunia maya membutuhkan sebuah regulasi yang jelas agar tidak bereskalasi dan menjurus pada hal-hal destruktif. Dinamika di media sosial idealnya diarahkan ke hal-hal yang konstruktif bagi transformasi sosial. Maka dari itu, keberadaan UU ITE masih relevan dalam konteks Indonesia saat ini. Apalagi di tengah mewabahnya berita palsu dan ujaran kebencian bertendensi provokatif dan memecah-belah. UU ITE merupakan instrumen (hukum) penting untuk menjaga ruang publik digital kita tetap sehat dan kondusif.

Mereinterpretasi UU ITE, terutama pada pasal-pasal yang berpotensi dipelintir untuk melakukan kriminalisasi ialah jalan tengah dan solusi yang kiranya lebih bijak ketimbang melakukan revisi apalagi menghapus UU ITE. Tentunya, selain pendekatan struktural-yuridis berbasis UU ITE, membangun ruang publik digital yang sehat juga membutuhkan pendekatan yang sifatnya kultural-edukatif. Disinilah pentingnya gerakan berbasis masyarakat sipil untuk mengembangkan kecerdasan di kalangan masyarakat dalam berinternet dan bermedia-sosial. Tujuannya agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam narasi hoaks, provokasi dan ujaran kebencian, apalagi menjadi pembuat atau penyebarnya. Dalam konteks ini, gagasan ihwal literasi digital kembali menemukan urgensi dan relevansinya.

Di titik ini, bisa kita simpulkan bahwa membangun ruang publik digital yang sehat sudah seharusnya melibatkan dua pendekatan sekaligus, yakni struktural-yuridis dan kultural-edukatif. Pendekatan struktural-yuridis terutama melalui UU ITE sangat diperlukan untuk memastikan kita memiliki regulasi dan aturan main yang tegas dalam konteks relasi sosial di dunia maya. Di saat yang sama, pendekatan kultural-edukatif juga diperlukan sebagai pilar penting untuk menegakkan moral dan etika di ruang publik digital kita. Tegaknya pilar moral dan etika akan menjadi modal penting terwujudnya ruang publik digital yang dinamis, namun tetap sehat dan kondusif.

This post was last modified on 22 Februari 2021 11:16 AM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago