Narasi

UU ITE dan Etika Ber-Sosial Media

Agama sesungguhnya telah mengajarkan kita tentang etika di dalam menjalani kehidupan sosial. Kita diperintahkan untuk berbuat baik, berkata yang sopan dan tidak menyebarkan fitnah dan adu-domba. Semua aturan-aturan etis yang semacam itu sebetulnya sehat secara spiritual dan bermanfaat secara sosial.

Dalil etis yang jelas dan terang-benderang seperti itu masih saja begitu banyak yang “berpaling”. Melanggar etika agama itu sendiri di sosial media. Tubuh kecepatannya dibiarkan tercemar. Kebebasan dan kemudahannya membuat orang-orang lupa meng-kontrol dirinya. Begitu mudah menghasut, menyebarkan fitnah, hoax dan kebencian hanya tinggal “menulis komentar”.

 Kesadaran etis beragama seolah hanya bisa dilakukan dan wajib diamalkan dalam lingkup kehidupan nyata. Sedangkan di dalam kehidupan virtual (sosial media), orang justru “mengabaikan” kesadaran etis yang semacam itu. Mereka hanya menjadikan sosial media sebagai ruang kebebasan untuk melakukan apa-pun tanpa ada rasa tanggung-jawab moral dan sosial.

Mereka mudah menyebarkan, mengkritik dan berargumentasi dengan arah, fungsi dan sasaran yang tidak etis. Mereka selalu berlindung dalam ruang “kebebasan demokrasi”. Bahkan, pendekatan struktural dengan regulasi seperti UU ITE agar masyarakat benar-benar disiplin dan beretika di sosial media. Namun, pendekatan yang semacam itu justru ditolak dan dianggap menghambat kebebasan berekspresi.

Dinamika yang semacam ini sering kali terjadi di dalam tubuh demokrasi kita saat ini. Secara khusus aktivitas masyarakat di sosial media. Mereka menganggap bahwa kehidupan yang didasari oleh etika keagamaan itu seolah hanya berada pada pelataran sosial-realitas. Sedangkan di sosial media, seperti mereka bebas melakukan apa saja tanpa ada etika dan rasa tanggung jawab moral. Seakan mereka membuat kerusuhan, ujaran kebencian dan menyebarkan hoax itu seperti “guyonan” semata dan menggerakkan jari-jemari menebar kebencian dan fitnah tanpa pertimbangan akal sehat.

Dinamika yang semacam ini tidak bisa kita hentikan. Namun, kita perlu menyelamatkan (sebagian banyak orang) yang sering-kali menjadi korban provokasi, hoax dan ujaran kebencian. Tentu kenapa saya sebut “sebagian orang”. Karena para penyebar kebencian dan tukang provokasi di sosial media itu memang terencana, sistematis dan memiliki tujuan ideal politik di dalamnya. Lantas, mereka juga “penggadai” etika kesadaran agama-nya untuk berbuat kerusuhan dan menyebarkan kebencian.

Masyarakat yang menjadi korban hoax, provokasi, hasutan ujaran kebencian harus cerdas dan kritis melihat fenomena yang semacam ini. Tidak ada istilah etika yang menjadi tonggak “perilaku” kesadaran kita itu hanya berlaku dalam satu ranah dan tidak berlaku dalam ranah lain. Dia adalah prinsip dan kesadaran etis yang harus ditumbuhkan di setiap saat dan tempat. Termasuk beretika di sosial media.

Mengedepankan aktivitas sosial media kita yang lebih sehat. Memanfaatkan dan menggunakan sosial media kepada sesuatu yang bermanfaat dan memberi kebaikan. Misalnya kita merajut silaturahmi, saling menjaga kerukunan dan bahkan kita bisa menggunakan sosial media kita untuk mengkritik atau mengomentari kebijakan pemerintah. Dengan syarat tetap (sehat) dan serat akan tujuan perbaikan. Bukan nyinyir dan bukan pula kebencian.

Ruang sosial media yang sehat itu sejatinya menjadi satu alasan penting bahwa ketidakterbatasan sosial-kultural di sosial media itu menjadikan kita lebih kompeten terhadap diri kita sendiri untuk selalu menggunakan etika yang baik dan bertanggung-jawab secara moral dan sosial. Jangan kita gunakan kebebasan dan kemudahan di era kemajuan teknologi-informasi itu sebagai jalan untuk mengikuti (hawa nafsu) dan (ego diri) untuk berbuat semena-mena tanpa ada kontrol etika keagamaan yang kita miliki.            

Karena sangat penting untuk mengondisikan diri secara etis bagi mereka yang sering-kali terjebak atau termakan oleh hoax, kebencian dan segala kejahatan di sosial media. Kita perlu menggunakan adab atau etika di dalam menjalani kehidupan masyarakat kita di sosial media. Sebagaimana agama selalu mengajarkan kita selalu berkata baik, menghindari fitnah, hoax atau gunjingan keburukan dan tindakan kebencian. Semua keburukan tersebut kita buang jauh-jauh dalam ruang sosial media kita. Lalu mengedepankan jalan etis yang lebih sehat dan beradab. Yaitu berbuat baik, menghindari perkataan buruk dan menyakitkan. Menjauhi berita bohong dan kebencian. Serta selalu konsisten menyebarkan informasi yang mengandung kebaikan, bukan kemudharatan.

This post was last modified on 22 Februari 2021 11:15 AM

Sitti Faizah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago