Ruang publik, baik yang bersifat fisik maupun virtual, adalah wadah tempat peradaban bertemu. Ia bukan sekadar jalanan atau forum digital, melainkan cerminan dari kehidupan bersama sebuah bangsa. Di sinilah gagasan, keyakinan, dan identitas saling berinteraksi, terkadang dalam harmoni, terkadang dalam gesekan. Pertanyaan fundamental yang relevan dalam konteks keindonesiaan adalah: bagaimana memastikan ruang publik tetap inklusif, di mana setiap individu dan kelompok merasa aman dan terwakili?
Dalam pandangan Islam, keberagaman agama dan suku bangsa adalah sebuah sunatullah atau ketetapan Ilahi. Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, “dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” Ayat ini menempatkan keberagaman sebagai landasan untuk ta’aruf (saling mengenal), bukan sebagai alasan untuk perselisihan.
Ruang publik yang di dalamnya terdapat beragam ekspresi keagamaan seringkali menjadi titik rawan. Satu kelompok bisa saja mencoba mendominasi yang lain melalui simbol atau klaim teritorial. Di sinilah negara hadir sebagai penengah dan penjaga keadilan. Peran negara adalah memastikan bahwa setiap agama dapat hadir dan berekspresi tanpa menindas atau meminggirkan agama lain. Konstitusi Indonesia, melalui sila pertama Pancasila, secara teologis telah meletakkan landasan bahwa negara berdiri di atas fondasi Ketuhanan yang memberikan ruang bagi seluruh umat beragama. Dengan demikian, ketika negara menata ruang publik agar inklusif, misalnya melalui regulasi tentang penggunaan tempat ibadah atau simbol keagamaan, ia sesungguhnya sedang mengemban amanah kemaslahatan umum (al-maslahah al-‘ammah), salah satu prinsip fundamental dalam tujuan keagamaan.
Negara modern tidak dapat dipahami hanya sebagai entitas yang berkuasa, melainkan sebagai pengelola rumah bersama. Tugasnya bukanlah menghilangkan perbedaan, melainkan merawatnya agar tetap hidup berdampingan secara harmonis. Ruang publik yang inklusif merupakan prasyarat mutlak bagi demokrasi yang sehat dan beradab.
Bayangkan sebuah taman kota. Jika negara membiarkan taman itu dikuasai oleh kelompok tertentu, maka ia kehilangan esensi publiknya dan berubah menjadi ruang privat yang dibalut kepentingan sempit. Dalam terminologi fikih, ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang dapat mengarah pada fitnah (kekacauan sosial atau chaos). Tugas negara adalah memastikan taman itu tetap milik semua orang, tanpa memandang latar belakang agama, politik, atau sosial. Hal yang sama berlaku untuk forum diskusi, media massa, hingga platform digital. Semuanya harus dikelola dengan aturan yang adil (al-adalah) agar tidak ditunggangi oleh kekuatan eksklusif yang membahayakan kohesi sosial.
Meskipun peran negara sangat krusial, menjaga ruang publik yang inklusif bukanlah tanggung jawabnya semata. Masyarakat juga harus memiliki kesadaran kolektif. Negara dapat membuat aturan, tetapi tanpa etika sosial yang kuat di tengah masyarakat, aturan tersebut akan rapuh.
Oleh karena itu, peran pendidikan dan budaya menjadi sangat penting. Pendidikan agama harus mengajarkan etos kerukunan, bukan hanya ritual. Demikian pula pendidikan kewarganegaraan harus menumbuhkan kesadaran kritis tentang arti menjadi bagian dari bangsa majemuk. Budaya seperti gotong royong, musyawarah, dan tenggang rasa adalah modal sosial yang membuat aturan negara tidak berjalan kaku, tetapi berakar pada kehidupan sehari-hari. Ini adalah dimensi sosial-kemasyarakatan yang melengkapi dimensi kenegaraan.
Keberadaan ruang publik yang inklusif lahir dari jalinan tiga dimensi: keagamaan, kenegaraan, dan sosial. Agama memberikan nilai moral, negara memberikan aturan, dan masyarakat memberikan kehidupan nyata. Jika salah satu pilar absen, keseimbangan akan hilang. Jika hanya agama yang dominan tanpa peran negara, ruang publik dapat terjebak dalam sektarianisme. Jika hanya negara yang dominan tanpa partisipasi masyarakat, aturan bisa terasa represif. Jika hanya masyarakat tanpa panduan negara dan nilai agama, ruang publik dapat jatuh pada kekacauan.
Ketiganya harus berjalan bersama, ibarat tiga pilar yang menyangga atap rumah besar bernama Indonesia, tempat visi rahmatan lil alamin dapat diwujudkan.
Pada akhirnya, ruang publik adalah cermin peradaban sebuah bangsa. Jika ia inklusif, ia memantulkan kematangan spiritual, politik, dan sosial masyarakatnya. Peran negara bukan hanya membuat undang-undang, tetapi membangun atmosfer yang memungkinkan setiap individu merasa aman untuk hadir, berbicara, dan hidup dalam keberagaman. Menjaga ruang publik yang inklusif adalah proyek peradaban yang menuntut kebijaksanaan negara, kedewasaan masyarakat, dan kedalaman nilai-nilai agama. Ketika ketiganya berpadu, ruang publik tidak lagi menjadi arena konflik, melainkan taman yang rindang, tempat seluruh anak bangsa dapat bernapas lega dan bersama-sama menatap masa depan.
This post was last modified on 6 Oktober 2025 3:13 PM
Pada Januari 2025, seorang pria bernama James Wesley Burger menggunakan Robloxuntuk secara terbuka menyiarkan ancaman…
Laporan Global Terrorism Index (GTI) 2024 yang menempatkan Indonesia pada status zero attack selama dua…
Isu terkait penggunaan gim daring (online game) sebagai sarana terorisme sebenernya bukan hal baru. Maka,…
Arah pemberantasan terorisme kita bisa dikatakan on the right track. Startegi yang memadukan antara pendekatan…
Perkembangan teknologi digital membawa kemudahan luar biasa bagi kehidupan manusia, namun juga menghadirkan tantangan baru…
Belakangan ini, sebagian kalangan mulai ada yang meragukan tentang adanya radikalisasi anak di Indonesia. Mereka…