Narasi

Kewaspadaan Kolektif: Menjaga Fondasi NKRI dari Terorisme Digital

Laporan Global Terrorism Index (GTI) 2024 yang menempatkan Indonesia pada status zero attack selama dua tahun berturut-turut adalah sebuah capaian yang patut diapresiasi. Di permukaan, data ini menyajikan sebuah narasi keberhasilan, seolah-olah ancaman terorisme telah surut dan keamanan nasional telah mencapai titik stabil. Namun, euforia keamanan ini berisiko melemahkan kita dari sebuah realitas yang jauh lebih kompleks dan mengkhawatirkan. Ancaman terorisme tidaklah lenyap, ia hanya bermetamorfosis, bergerak dari medan pertempuran fisik yang riuh ke ruang sunyi di bawah permukaan kesadaran kolektif kita.

Ancaman ini dapat dianalogikan seperti rayap yang menggerogoti fondasi sebuah rumah. Dari luar, rumah itu tampak kokoh, megah, dan aman. Tidak ada retakan yang terlihat, tidak ada tanda-tanda kerusakan. Namun di dalam pilar-pilar kayunya, koloni rayap bekerja tanpa henti, merapuhkan struktur dari dalam hingga pada satu titik, rumah itu bisa runtuh oleh guncangan terkecil sekalipun. Status zero attack adalah laiknya fasad rumah yang nampak kokoh itu, namun di dalamnya terdapat benalu yang menggerogoti stuktur bagunan.

Fakta bahwa 1.703 tersangka teroris ditangkap antara 2018-2024 menegaskan bahwa sel-sel radikal, tetap aktif dan beregenerasi. Mereka mungkin tidak lagi meledakkan bom, sebuah aksi yang mudah terdeteksi dan memicu respons keras dari aparat.

Sebaliknya, mereka kini berevolusi, berkamuflase untuk membangun kekuatan yang sulit dikalahkan. Alih-alih menghancurkan infrastruktur, mereka menyebarkan “spora” ideologis melalui ribuan konten digital yang dapat meradikalisasi masyarakat. Membangun narasi yang menggungah untuk mempengaruhi masyarakat.

Data BNPT yang mencatat 6.402 konten radikalisme hanya dalam delapan bulan pertama tahun 2025 adalah bukti skala penyebaran ini. Konten-konten inilah yang secara perlahan menggerogoti nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan persatuan yang menjadi pilar utama rumah NKRI.

Metode penyebaran paling mutakhir bahkan telah merambah ke dunia yang dianggap paling netral dan menghibur: game online. Dunia game yang imersif menyediakan medium yang sempurna untuk indoktrinasi. Merasuk ke dalam alam bawah sadar untuk merubah perilaku yang suka pada kekerasan, teror dan kriminal.

Mereka, tidak hadir sebagai sosok garang, melainkan sebagai teman seperjuangan dalam sebuah misi virtual. Mereka membangun kepercayaan, menawarkan rasa kepemilikan dalam sebuah komunitas, dan secara perlahan menanamkan narasi “kita versus mereka”. Batasan antara fantasi kepahlawanan dalam game dan realitas perjuangan radikal di dunia nyata dikaburkan, hingga tanpa sadar, seorang anak telah direkrut ke dalam sebuah ideologi destruktif.

Dunia virtual belum menjadi ruang yang sepenuhnya aman. Karena itu, kewaspadaan kita tidak boleh pernah padam. Tanggung jawab ini bukan hanya milik aparat keamanan, melainkan sebuah gerakan kolektif yang dimulai dari unit terkecil: keluarga. Para orang tua perlu mengubah percakapan di meja makan. Kita harus bisa menjadi teman, bukan sekadar pengawas. Memahami game apa yang mereka mainkan, siapa teman-teman mereka di dunia maya, dan narasi apa yang mereka serap di sana adalah bentuk baru dari menjaga keluarga.

Kemudian, para pendidik di sekolah memiliki tugas krusial untuk menanamkan kemampuan berpikir kritis, agar generasi muda mampu membedakan antara narasi yang membangun dan yang merusak. Jangan sampai budaya ini juga masuk ke dalam lingkungan sekolah yang diserap oleh siswa.

Sementara itu, para tokoh agama dan masyarakat harus terus memperkuat ikatan sosial di dunia nyata, menyediakan ruang yang hangat dan positif bagi kaum muda agar agar mereka tidak mencari pelarian di komunitas virtual yang berbahaya.

Pada akhirnya, prestasi zero attack hanya akan bermakna jika kita menyadari bahwa ancaman terbesar bukanlah ledakan yang bisa kita dengar, melainkan kerapuhan sunyi yang menggerogoti kita dari dalam. Menjaga NKRI bukan lagi sekadar soal menghadapi serangan fisik, tetapi tentang merawat dan memperkokoh fondasi nilai kebangsaan kita secara terus-menerus, memastikan tidak ada satu pun pilar kebangsaan yang dirusak bahaya laten terorisme digital.

Andri Bima

Recent Posts

Bagaimana Roblox sebagai Socio-Digital Bisa Menjadi Begitu Mencekam?

Pada Januari 2025, seorang pria bernama James Wesley Burger menggunakan Robloxuntuk secara terbuka menyiarkan ancaman…

1 jam ago

Dari Warhammer ke Roblox; Visualisasi Ekstremisme di Semesta Gim Daring

Isu terkait penggunaan gim daring (online game) sebagai sarana terorisme sebenernya bukan hal baru. Maka,…

1 jam ago

Regenerasi Sel Teroris; Remaja dan Anak dalam Ancaman Gamifikasi Ekstremisme

Arah pemberantasan terorisme kita bisa dikatakan on the right track. Startegi yang memadukan antara pendekatan…

23 jam ago

Ancaman Tersembunyi di Balik Game Online

Perkembangan teknologi digital membawa kemudahan luar biasa bagi kehidupan manusia, namun juga menghadirkan tantangan baru…

1 hari ago

Radikalisasi Anak Bukan Sebatas Mitos, Ini Buktinya!

Belakangan ini, sebagian kalangan mulai ada yang meragukan tentang adanya radikalisasi anak di Indonesia. Mereka…

1 hari ago

Millah Ibrahim; Basis Epistemologis dan Teologis dalam Mengurai Konflik Palestina-Israel

Millah Ibrahim merujuk pada pengertian ajaran agama Hanif yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Secara historis…

4 hari ago