Pada bulan Januari-April 2024, saya melakukan penelitian tesis di 10 kampung agama Marapu di Sumba Timur. Pada waktu itu, saya memahami dan mendapati bahwa banyak komunitas agama lain yang masih mengategorikan praktik ajaran Marapu sebagai sesat dan kafir. Tidak sedikit komunitas agama lain yang melarang komunitas Marapu untuk mempraktikkan ritual mereka. Pelarangan tersebut tentunya menciptakan ketidakharmonisan hubungan antara umat beragama di Sumba.
Saya mengira bahwa fakta yang saya temukan hanya sebuah tindakan kebetulan semata. Ternyata, intoleransi yang dilakukan komunitas agama lain terhadap Marapu sudah sering terjadi. Berbagai penelitian tentang relasi antara agama di Sumba dari Irene Herlina Ratu Kenya (2014), Smilde (2020), dan Umbu Lolo (2022) juga menjelaskan fakta yang serupa. Berbagai komunitas agama, terutama kristen radikal, melakukan bersikap intoleran pada komunitas Marapu.
Tindakan intoleransi tentu saja perlu kita pahami sebagai tindakan yang menentang kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam aturan bernegara di Indonesia. Konstitusi negara Indonesia menjamin kebebasan beragama sebagai hak masyarakat. Dalam Amandemen UUD 1945 Pasal 28E ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, sementara Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 memastikan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya (Kemenkumham, 2024). Dua ayat ini menegaskan bahwa negara kita menjamin kebebagan beragama dan ekspresi keagamaan seperti ibadat, ritual, dan berbagai aspek religiositas yang dipahami dan dipraktikkan oleh berbagai komunitas agama di Indonesia, termasuk agama Marapu di dalamnya.
Berangkat dari pengalaman intoleransi umat beragama di Sumba dan bunyi kebebasan beragama dalam UUD 1945, tulisan ini menawarkan beberapa pendekatan praktik, utamanya aspek struktural dan kultural, untuk mengarahkan hubungan antar umat beragama, terkhususnya praktik komunitas-komunitas di Sumba, ke arah yang lebih baik. saya menjelaskan lebih terperinci hak konstitusional agama Marapu baru kemudian menawarkan pendekatan yang saya kembangkan sebagai acuan perubahan relasi antar umat beragama bagi Marapu .
Hak Konstitusional Agama Leluhur dan Kepercayaan
Tahun 2016, mahkamah konstitusi mengakui aspek legal dari komunitas masyarakat adat dan penghayat kepercayaan di Indonesia. Pengakuan tersebut tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIX/2016 tentang Administrasi Kependudukan. Masyarakat adat dan penghayat kepercayaan disetarakan dengan ‘agama.’ Nama administrasi bagi masyarakat adat dan kepercayaan tidak ditulis sebagai ‘agama’ melainkan ‘kepercayaan.’ Kepercayaan adalah terjemahan langsung dari pengakuan akan kebebasan beragama dan berkeyakinan (freedom of religion and belief) yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 2000 dan dimasukkan dalam amandemen ke-3 UUD 1945. Maka dari itu, semangat kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak masyarakat Indonesia yang dilindungi serta dijamin oleh UUD 1945.
Implikasi langsung dari putusan MK tersebut adalah pluralisme agama. Sebelum adanya putusan MK, pemerintah hanya mengakui dan mengakomodasi enam agama di Indonesia yang antara lain agama kristen, katolik, islam, hindu, budha, dan konghucu. Sesudah putusan MK, pemerintah mengakomodasi lebih dari 140 agama leluhur dan penghayat kepercayaan yang dicatat dan digawangi di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sedangkan, enam agama yang sudah lebih dahulu tentu saja masih diakomodasi oleh Kementerian Agama.
Didasarkan pada Putusan MK 97/PUU-XIX/2016, maka sudah sewajarnya bila orang Indonesia mengenal dan memahami bahwa saat ini negara kita sudah memiliki lebih dari 150 agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, berbagai layanan keagamaan sudah dibuka bagi komunitas agama leluhur dan penghayat kepercayaan. Sebagai contoh, pemerintah kabupaten Semarang saat ini sudah mengikutsertakan kelompok penghayat kepercayaan dalam kegiatan Forum Kerukunan Umat Beragama (Novi, 2020). Pengalaman yang sama juga sudah berlangsung di kota Jogjakarta, Malang, dan Bandung (Halaqah Damai, 2021). Saat ini, pemerintah Indonesia juga sudah membuka layanan pendidikan agama bagi berbagai komunitas kepercayaan seperti pendidikan kepercayaan marapu di Sumba Timur, pendidikan kepercayaan saptha dharma di Semarang, dan pendidikan kepercayaan parmalin di Sumatera Utara (Nenohai, 2024). Maka dari itu berbagai layanan keagamanan seperti FKUB dan Pendidikan Kepercayaan adalah pertanda bahwa negara Indonesia sudah mengarah pada semangat inklusifitas bagi komunitas agama lelhur pasca dikeluarkannya putusan MK bagi lebih dari 140 komunitas agama leluhur dan penghayat kepercayaan.
Keikutsertaan kelompok agama leluhur dan penghayat kepercayaan dalam FKUB serta kehadiran Pendidikan Kepercayaan menjadi pertanda bahwa negara Indonesia menjamin hak beragama bagi komunitas agama leluhur di Indonesia. Jaminan dan perlindungan kebebasan beragama juga berlangsung karena FKUB dan Pendidikan Kepercayaan menjadi ruang bertumbuhnya kebebasan beragama bagi agama leluhur.
Perlindungan Kebebasan Beragama bagi Komunitas Agama Marapu
Berangkat dari penjabaran tentang hak konstitusional agama leluhur, maka dengan sendirinya perlindungan beragama bagi komunitas Agama Marapu perlu untuk terus dikerjakan. Gerakan tersebut perlu melibatkan dua unsur yaitu pemerintah dan masyarakat. Unsur pemerintah bekerja secara struktural. Masyarakat bekerja pada segi kultural agar perlindungan hak agama Marapu untuk dapat melakukan ritual dapat terpenuhi. Oleh karena itu, saya mengusulkan dua pendekatan kongkret bagi pertumbuhan hubungan antar beragama ke arah yang lebih baik.
Pertama, pemerintah daerah melakukan kampanye hak kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi agama Marapu seperti yang sudah tercantum dalam UUD 1945 dan Putusan MK No. 97/PUU-XIX/2016 tentang Administrasi Kependudukan. Dua peraturan tersebut secara resmi sudah mencatat kebebasan beragama bagi seluruh agama di Indonesia. Kampanye tersebut juga menjadi bentuk pendidikan bagi komunitas beragama yang mungkin kurang tahu, atau belum tahu secara utuh, tentang kebebasan beragama sebagai hak konstitusional di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat Sumba akan lebih memahami semangat kebebasan beragama dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Kedua, pemerintah juga dapat melakukan kampanye kultural dengan melibatkan komunitas agama-agama lain yang ada di Sumba seperti agama kristen, islam, dan hindu. Komunitas agama-agama lain, dapat melibatkan Marapu dalam FKUB agar terjalin komunikasi dan interaksi intens antar umat beragama. berbagai pemuka agama-agama yang hadir dalam FKUB dapat menjadi agen perubahan relasi antar umat beragama. berbagai pemuka agama juga aktif mengampanyekan kebebasan beragama dan langkah praktis untuk menghormati ritual-ritual Marapu. Dengan sendirinya, umat beragama di Sumba sangat akan mendukung gerakan tersebut sehingga tercipta budaya harmoni relasi umat beragama di Sumba.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…