Setahun lebih, pandemi Covid-19 melanda dunia. Pelan tapi pasti, sendi-sendi kehidupan manusia mulai berubah. Menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Orang-orang menyebutnya new normal.
Dalam kehidupan new normal itu, hal-hal yang dulu tidak pernah terpikirkan, malah menjadi kebiasaan. Sesuatu yang dulunya dirasa tidak mungkin, menjadi mungkin. Virus Covid-19 yang memaksa manusia untuk tidak berkumpul dan berkerumun, memunculkan berbagai kebiasaan baru.
Kebiasaan baru tersebut misalnya menggelar berbagai pertemuan secara daring. Munculnya aplikasi konferensi video semacam Zoom dan Google Meet semakin menyemarakkan kebiasaan baru itu.
Maka bertaburanlah acara-acara yang digelar secara daring. Seminar, lokakarya, workshop, pengajian bahkan kelas-kelas perkuliahan pun dilakukan via dunia maya. Tanpa secara langsung bertatap muka.
Sudah tentu hal tersebut memunculkan persoalan baru. Kelompok radikal sangat ahli dan adaptif terhadap teknologi. Mereka pastinya memanfaatkan teknologi informasi untuk menyebarkan ideologi radikal ke berbagai belahan dunia.
Mereka bukan tidak mungkin menggelar kelas online untuk menginfiltrasi ideologi radikalisme ke generasi muda, termasuk di Indonesia. Inilah yang harusnya diwaspadai bersama.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Beberapa waktu lalu, Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengungkap fakta bahwa selama pandemi, aktivitas terorisme di dunia siber semakin masif.
Boy mengungkapkan bahwa internet mempermudah aktivitas teroris dalam menyebarkan paham radikalisme, sehingga mau ikut melakukan aksi teror. Ia mengambil contoh aksi teror penyerangan di Mabes Polri pada Maret lalu. Tersangka ZA disinyalir terpapar radikalisme dari dunia maya.
Selain itu, seperti dilansir kompas.com Boy juga menjelaskan selama pandemi, ada kenaikan transaksi keuangan yang mencurigakan hingga 101 persen. Transaksi keuangan mencurigakan ini diduga terkait dengan aktivitas terorisme.
Fakta-fakta tersebut tentu sangat mengkhawatirkan. Nyatanya, pandemi tidak membuat kelompok teroris berhenti. Sebaliknya, dengan memanfaatkan teknologi informasi, mereka terus bergerak. Menyemai bibit radikalisme dan juga menghimpun kekuatan via dunia maya.
Vaksin Cegah Radikalisme
Menjamurnya pertemuan-pertemuan daring di masa pandemi adalah sebuah keniscayaan. Melawannya sama saja dengan menentang perkembangan zaman. Oleh karenanya, kita juga tidak bisa mencegah adanya kelas-kelas online yang mungkin dibuat oleh kelompok-kelompok radikal.
Kita hanya bisa melakukan beberapa tindakan pencegahan agar virus radikalisme tidak menyebar luas.
Gus Dur dalam Islamku, Islam Anda dan Islam Kita menyebutkan dua faktor yang membuat lahirnya kelompok fundamentalis atau teroris. Salah satu faktor itu adalah akibat adanya pendangkalan agama yang menghinggapi kaum muda Islam. Mereka mencukupkan diri dengan sumber-sumber tekstual saja. Pengetahuan mereka yang terbatas tentang Islam tersebut, akhirnya membuat mereka menjadi fundamentalis.
Jika hal itu menjadi penyebabnya, maka kelas-kelas online bertemakan moderasi Islam harus banyak digelar, baik oleh pemerintah maupun oleh ormas moderat di Indonesia semacam Muhammadiyah dan NU. Dai-dari kedua organisasi tersebut harus makin aktif berdakwah via daring.
Hal itu penting untuk memberikan pemahaman yang mendalam kepada masyarakat, utamanya generasi muda tentang moderasi beragama. Pemahaman tentang moderasi beragama ibarat vaksin yang akan melawan virus radikalisme di mana pun dan kapan pun.
Apabila masyarakat sudah memiliki “anti virus” tersebut, maka herd immunity terhadap virus radikalisme akan terbentuk. Masyarakat dengan sendirinya tidak akan mudah terjangkit virus radikalisme.
Sudah waktunya kita juga menggunakan strategi kelompok radikal untuk memukul balik mereka. Dengan menjamurnya kelas-kelas moderasi beragama, kelas online radikalisme lambat laun efeknya bisa diredam, meskipun tidak sepenuhnya hilang.
Namun, yang harus dipahami bersama, pandemi Covid-19 telah membawa dampak buruk dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi. Dalam situasi semacam ini, kelompok radikal akan senantiasa mencari-cari kesalahan pemerintah sekecil apa pun itu. Selain menyebarkan ideologi, mereka juga memprovokasi masyarakat.
Narasi-narasi pemerintah gagal sampai ketidakberdayaan sistem demokrasi mengatasi pandemi akan semakin banyak dimunculkan. Endingnya, bisa ditebak. Mereka akan menawarkan sistem khilafah sebagai solusi atas berbagai persoalan umat. Pemerintah dan kita semua harus mewaspadai hal semacam itu.
Berlomba dengan waktu, semua pihak harus bergerak. Kita semua memikul tanggung jawab yang sama untuk menekan penyebaran virus radikalisme di tengah pandemi. Semoga pandemi ini segera berakhir dan bangsa ini diselamatkan dari ancaman virus radikalisme di masa depan.
This post was last modified on 14 Juli 2021 12:59 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…