Narasi

Mewaspadai Medan Pertempuran Ideologis di Tengah Konflik Global

Kita sedang menyaksikan sebuah era yang saya istilahkan sebagai fitnah al-kubra kontemporer, sebuah kekacauan besar di mana panggung geopolitik global tidak lagi sekadar menjadi arena persaingan antar-negara-bangsa dalam kerangka Westphalian yang kita kenal. Ia telah bertransformasi menjadi sebuah ekosistem yang membara, lahan basah bagi persemaian ideologi-ideologi radikal transnasional yang mengancam tatanan sosial dan spiritual umat manusia.

Konflik-konflik yang meletus, dari jantung peradaban Islam di Timur Tengah hingga sudut-sudut dunia lainnya, bukan lagi sekadar sengketa teritorial atau perebutan sumber daya. Gema dan narasinya telah direkayasa secara sistemik, menjadi instrumen dalam sebuah mesin propaganda raksasa yang bertujuan akhir memanipulasi sentimen dan merekayasa perpecahan—sebuah strategi klasik divide et impera dalam jubah baru.

Jika kita melakukan sebuah pembacaan yang mendalam, kita akan menemukan bahwa konflik-konflik ini berakar pada kompleksitas kepentingan yang multidimensional—sebuah permainan catur yang melibatkan aktor negara dan non-negara. Namun, kerumitan ini sengaja dikaburkan. Para ideolog radikal melakukan apa yang disebut oleh para filsuf sebagai reduksionisme epistemologis yang berbahaya.

Mereka menyederhanakan realitas yang kompleks menjadi sebuah dikotomi biner yang menyesatkan, sebuah dialektika yang mengingatkan kita pada konsepsi Carl Schmitt tentang politik sebagai distingsi absolut antara “kawan” (Freund) dan “lawan” (Feind). Dalam kerangka ini, tidak ada ruang untuk negosiasi, tidak ada tempat bagi nuansa. Yang ada hanyalah pemusnahan total terhadap “yang lain” (theother).

Anatomi propaganda ini bertumpu pada dua pilar utama. Pertama, serangan fundamental terhadap nalar kritis. Dengan menolak kompleksitas, mereka secara efektif mendeklarasikan perang terhadap tradisi intelektual Islam yang kaya akan ijtihad dan penghargaan terhadap perbedaan pendapat (ikhtilaf). Mereka menggantinya dengan dogma yang kaku, sebuah pandangan dunia monokromatik yang menuntut kepatuhan buta, bukan pemahaman kritis. Ini adalah sebuah regresi menuju apa yang bisa kita sebut sebagai “jahiliyyah modern,” di mana emosi, ketakutan, dan klaim kebenaran absolut mengalahkan akal sehat dan kebijaksanaan.

Kedua, dan ini yang paling berbahaya, adalah sakralisasi agenda profan. Di sini, keyakinan agama yang suci dan identitas komunal yang luhur dibajak dan dipersenjatai untuk melegitimasi agenda-agenda politik, kekuasaan, dan ekonomi yang pada hakikatnya bersifat duniawi. Aspek-aspek spiritualitas yang seharusnya menjadi sumber rahmah (kasih sayang) diubah menjadi justifikasi untuk kekerasan. Agenda politik yang profan diselubungi dengan jubah kesucian, membuatnya hampir mustahil untuk dikritik dari dalam, karena setiap kritik akan serta-merta dicap sebagai serangan terhadap agama itu sendiri. Ini adalah bentuk penyalahgunaan simbol-simbol sakral yang paling destruktif.

Medan pertarungan ideologis ini kini telah mengalami disrupsi total dengan kehadiran cyberspace. Media sosial bukan lagi sekadar medium, ia telah menjadi akselerator dan amplifikator. Ia menciptakan apa yang oleh filsuf Jean Baudrillard disebut sebagai simulacra dan hyperreality—sebuah realitas semu di mana narasi rekaan terasa lebih nyata daripada fakta di lapangan. “Ruang gema” digital melahirkan jalur-jalur radikalisasi kilat, di mana individu, terutama generasi muda yang teralienasi, tidak hanya terpapar propaganda, tetapi juga menemukan validasi, rasa memiliki, bahkan insentif material dalam sebuah komunitas virtual yang terikat oleh kebencian.

Bagi bangsa Indonesia, Pancasila bukanlah sekadar ideologi negara, ia adalah kalimatun sawa’—sebuah titik temu, landasan bersama, dan sintesis filosofis agung yang mempersatukan keragaman bangsa. Ia berfungsi sebagai benteng teoretis dan spiritual.

Namun, sebuah benteng, sekuat apa pun fondasinya, akan rapuh jika para penjaganya lalai. Ketahanan nasional kita tidak hanya diuji oleh ancaman eksternal, tetapi juga digerogoti oleh erosi internal: melemahnya penghayatan nilai-nilai kemanusiaan, menguatnya fanatisme kelompok, dan primodialisme sempit. Celah-celah inilah yang menjadi pintu masuk bagi infiltrasi ideologi transnasional yang merusak.

Oleh karena itu, membangun apa yang oleh Paulo Freire disebut sebagai kesadaran kritis (conscientização) bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan strategis. Kesadaran kritis adalah proses transformasi yang memberdayakan setiap insan dari sekadar “objek” pasif kebijakan menjadi “subjek” aktif yang sadar akan sejarah dan mampu membentuk takdirnya.

Ini sejalan dengan konsep Islam tentang manusia sebagai khalifah fil ardh (wakil Tuhan di muka bumi), yang memiliki tanggung jawab untuk memakmurkan, bukan merusak. Upaya ini harus diwujudkan melalui sinergi antara internalisasi nilai-nilai luhur Pancasila dengan penguatan literasi digital dan media yang komprehensif. Dengan demikian, Pancasila tidak menjadi artefak statis, melainkan sebuah kerangka kerja yang hidup dan dinamis untuk menavigasi perang informasi di masa ini maupun masa yang akan datang.

Samachatul Maula

Recent Posts

Menguatkan Literasi dan Kewaspadaan terhadap Jebakan Ideologis Konflik Global

Dalam era digital yang semakin berkembang, informasi dapat tersebar dengan sangat cepat dan meluas. Di…

1 jam ago

Mitigasi Propaganda Terorisme di Tengah Riuh Konflik Timur Tengah

Keberhasilan luar biasa yang dicapai dalam mensukseskan zero terrorist attack tahun 2024 lalu tentu tidak…

1 jam ago

Dari Empati Menuju Ekstremisme: Mengurai Bahaya Residu Konflik Global

Ketegangan yang terus membara di kawasan Timur Tengah—dari konflik berkepanjangan Palestina-Israel, konfrontasi Iran-Israel, hingga luka…

1 hari ago

Memahami dan Mencegah Propaganda Radikal Berbasis Konflik Global

Profesor dan Direktur Studi Intelijen dan Keamanan Nasional di University of South Florida, Randy Borum,…

1 hari ago

Literasi Geopolitik; Meredam Polarisasi Isu di Tengah Konflik Global

Perang di era modern, tidak hanya melibatkan adu senjata canggih. Mulai dari pesawat tempur tanpa…

1 hari ago

Mewaspadai Manipulasi Agama dalam Konflik Global

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak penggunaan isu konflik global yang melibatkan negara-negara Timur Tengah, sebagai…

2 hari ago