Keagamaan

Muhammad Tak Memaksa Pamannya

Di lubuk hatinya yang terdalam, Muhammad Saw begitu ingin pamannya, Abu Thalib, turut bergabung dalam gerbong Islam. Namun Allah Swt menakdirkan lain. Sosok agung yang sangat mengasihi keponakannya dan gigih membentengi dakwahnya ini menghembuskan nafas pamungkasnya dalam kekufuran. Surga-nerakanya lalu menjadi perdebatan para ulama.

Betapa sedihnya hati Muhammad Saw. Ia terpukul. Orang yang sangat dikasihinya meninggal dalam anutan keyakinan lamanya. Dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, tulis Ibn Katsir (Tafsir al-Quran al-‘Adhim, III/401), jelang ajal Abu Thalib itu, sesungguhnya Muhammad Saw telah mengajaknya pada keimanan.

Imam al-Tirmidzi meriwayatkan, saat hari kematian Abu Thalib itu, Muhammad Saw berbisik: “Wahai Pamanda, katakanlah Tiada Tuhan Selain Allah! Niscaya aku akan memberi kesaksian padamu pada hari Kiamat.” Pamanda Nabi ini tak menghiraukan ajakan keponakannya, hingga ia benar-benar meninggal dalam kekufuran.

Peristiwa inilah yang menjadi sebab turunnya Qs. al-Qashahsh: 56: “Sesungguhnya kamu tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberikan hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya.

Ayat ini ditujukan untuk Muhammad Saw. Sebagai Rasul dengan tugas khusus menyampaikan kebenaran ajaran langit, sekaligus sebagai “wakil” Allah Swt di bumi, nyatanya putera Abdullah dan Aminah ini tak kuasa memaksakan hidayah pada siapapun, termasuk pada pamandanya sendiri.

Muhammad Saw memang begitu berhasrat Sang Paman masuk Islam. Tapi, apa kuasanya memasukkan taufiq di hati pamannya? Nyatanya ia tak kuasa! Ia sangat memahami; pemberian hidayah itu hak prerogatif Allah Swt. Untuk itu, ia tidak melakukan pemaksaan, intimidasi, ancaman atau bahkan kekerasan fisik pada pamandanya. Ia mengajak dengan lembut. Hasil akhirnya ia serahkan pada-Nya.

Dalam relung hatinya, Abu Thalib sesungguhnya mengakui keluhuran Islam. ‘Alimtu bi anna dina Muhammadin min khairi adyan al-bariyyah dinan // fa laula al-mulamah wa hidzar musabbah lawajadtani bi dzaka samhan mubayyina (Aku tahu, sejatinya agama Muhammad adalah sebaik-baik agama manusia // Andai bukan karena celaan dan caci-makian, niscaya engkau akan mendapatiku mengikutinya). Jadi, persoalannya lebih pada gengsi, bukan ketidaktahuannya akan kebenaran Islam.

Apa yang terjadi pada Abu Thalib, memberi ibrah penting, bahwa hidayah tak semestinya dipaksakan, karena (memang) tidak mungkin. Tugas manusia hanyalah menyampaikan kebenaran dan selanjutnya terserah Yang di Atas.

Jika ada yang menyambut ajakan kita, itu semata karena Allah Swt. Sebaliknya, jika tiada yang hirau atau bahkan menolak mentah-mentah seruan kita, maka tugas kita hanyalah mengajak dan bukan memaksa. “Jika mereka berpaling, maka sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan” (Qs. Ali Imran: 20).

Dalam Qs. al-Nahl: 125, Allah Swt menitah umat Islam untuk menyeru pada jalan Allah Swt dengan kearifan (al-hikmah), nasihat yang luhur (al-mauidhah al-hasanahi) dan dialog yang berbudi (wa jadilhum bi al-lati hiya ahsan). Hanya itu yang Allah Swt mintakan. Adakah ajaran kekerasan pada ayat ini? Sama sekali tidak!

Terkait hidayah, para ulama memilahnya menjadi dua kategori: petunjuk yang bermakna taufiq dan petunjuk yang bermakna isryad. Hidayah tipe pertama hanya Allah Swt (Qs. al-Qashash: 56) yang bisa melakukannya. Manusia, termasuk Muhammad Saw, hanya mampu memberi hidayah model kedua (Qs. al-Syura: 52). Ujungnya, berupa taufiq, dikembalikan pada Allah Swt.

Itu sebabnya, Rasulullah Saw yang menjadi mandataris-Nya, tak pernah berangan-angan untuk memaksa-maksa orang lain mengikuti ajaran-Nya. Ia hanya menyampaikan dakwah. Yang diajak menerima atau menolak, itu sepenuhnya urusan Allah Swt. Juga tak pernah ia marah, emosi, ngamuk, jika ajakannya disepelekan orang lain.

Dalam menyeru kebenaran ini, semestinya umat Islam meneladani Nabinya sebagai uswah hasanah (Qs. al-Ahzab: 21). Keluwesan, kelembutan dan kelenturan (al-rifq wa al-lin), itulah yang diwariskan pada umatnya. Andai ia galak, keras, kasar, atau kaku, niscaya orang-orang yang diajaknya lari tunggang langgang menjauh sejauh-jauhnya (Qs. Ali Imran: 159).

Jika Allah Swt saja tidak memaksa, demikian juga Rasul-Nya, masihkah kita ingin memaksakan ajaran-Nya pada pihak lain dengan aneka kekerasan dan intimidasi? Tidakkah kita malu mengaku meneledaninya, namun model dakwah kita justru lebih menyerupai ajaran Abu Jahal dan Abu Lahab?

Nurul H Maarif

Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten dan Dosen di beberapa perguruan tinggi Banten

Recent Posts

Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

Indonesia dikenal sebagai negara religius. Mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan…

16 jam ago

Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2025

Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikal terorisme pada 2020 pernah…

17 jam ago

Jangan Membenturkan Kesadaran Nasional dengan Kesadaran Beragama

Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, narasi yang mencoba membenturkan antara kesadaran nasional dan kesadaran…

17 jam ago

Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

Indonesia, sebuah panggung peradaban yang tak henti menyuguhkan lakon dialektis antara partikularitas dan universalitas, adalah…

17 jam ago

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

2 hari ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

2 hari ago