Demokrasi Pancasila yang didengungkan sebagai kekhasan demokrasi Nusantara merupakan point of view yang harus selalu diperhatikan warga sipil. Pancasila yang dirumuskan ulama dan umara mencetak blue print demokrasi Pancasila yang tentu saja tidak dapat disetarakan dengan konsep demokrasi yang didengungkan negara yang super power an sich. Pancasila dengan nilai-nilai humanitas yang luhur beserta pandangan egaliter yang bermuara pada kesejahteraan dalam berbagai aspek menawarkan demokrasi yang santun, namun tak berarti nir kritik.
Justru, demokrasi Pancasila menawarkan alternatif penyampaian kritik yang konstruktif dan cerdas memanfaatkan ruang dengan bijak. Bersuara pelan tak selamanya tidak didengar. Justru, suara pelan dengan muatan pendapat yang bijak dan adil merupakan mesin penggerak demokrasi yang tidak ‘bising.’ Nyatanya memang, untuk memberikan dukungan kepada negara dan pemangku kebijakan, aspirasi dan kritik merupakan katalisator yang dapat meningkatkan efisiensi pemerintah. Dengan adanya masukan dan kritik, maka pemerintah akan dapat mencapai goals kenegaraan secara holistik.
Dalam sebuah sistem kenegaraan, keberadaan oposisi adalah niscaya. Biasanya, kalangan oposisi pro-rakyat, namun memiliki pondasi berpikir yang berseberangan, sehingga dengan begitu mereka relatif reaktif terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Demi kesejahteraan dan keadilan sosial, sahh-sah saja kalangan oposisi menggulirkan kritik. Namun, yang perlu diingat adalah penting untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Jangan sampai, karena berseberangan dengan pemerintah, kalangan oposisi menebar virus kebencian yang dapat membangun negara di dalam negara, mengisi kemerdekaan dengan kebencian dan narasi hoax yang justru dapat merusak nalar logis demokrasi.
Di masa revolusi industru 5.0 ini, warga sipil semakin memiliki peluang besar untuk memberikan kritik, bahkan mengkonstruksi narasi apa saja. Ruang maya merupakan medium yang sangat luas, leluasa, dan cepat untuk menebarkan kritik—baik itu konstruktif ataupun sebaliknya—hanya bermodal gerakan jemari dan paket data. Yang harus diperhatikan adalah, meski mudah untuk mengkritik namun jangan sampai kita menjadi sumber toksik bagi demokrasi hanya karena terlalu gegabah meneruskan kabar hoax, fitnah, dan adu domba yang dapat memecah belah masyarakat.
Standar tentang warga sipil yang cerdas pun sudah berubah. Cerdas tak hanya diterjemahkan sebagai modern dan bisa, namun harus bisa meletakkan segala sesuatu pada tempat dan konteks yang tepat. Nalar kemanusiaan dan toleransi harus tetap dikedepankan dalam memberikan kritik, sehingga tidak lahir kritik yang membabi buta, destruktif, dan menyebarkan demokrasi yang kebablasan dan patologis. Bukanlah media yang mengontrol demokrasi kita, namun kita sebagai bangsa yang bermartabat harus dapat mengontrol media dengan nalar demokrasi Pancasila, demokrasi yang menstimulasi kritik konstruktif demi melakukan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap pemerintahan yang sah.
Demokrasi yang harmonis dan tidak melelahkan (baca: bising) hanya akan termanifestasi dalam keseharian jika warga sipil memiliki kemampuan untuk mengkritik secara konstruktif secara ikhlas demi kepentingan maslahah umat. Kritik destruktif yang membabi buta dan didorong energi kebencian hanya akan melemahkan demokrasi dengan cara memecah belah masyarakat. Berbagai kebijakan baru di era pendemi dan era sosial 5.0 merupakan peluang bagi opini pro dan kontra. Opini pro dan kontra tentu sangat dibutuhkan demi menjaga keseimbangan demokrasi, dengan syarat bahwa kritik yang disampaikan harus konstruktif.
Kritik konstruktif sebagai ekspresi dari checks and balances harus tetap mewarnai dinamika demokrasi Pancasila. Kritik dinilai konstruktif apabila dapat memberikan pendapat alternatif kepada pemerintah, namun tanpa keinginan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah. Bagaimanapun juga, agama mengajarkan untuk taat kepada pemimpin dan menghormati kepemimpinannya. Kritik konstruktif merupakan kritik yang dapat memberi kontribusi bagi kebijakan pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Kritik konstruktif selalu berangkat dari nalar yang sehat dan jiwa yang matang (mature). Pada poin terasa sangat jelas, bahwa jika penyampai kritik destruktif tidak perlu diikuti, sebab ketidakmatangan jiwa yang diteladani hanya mengerdilkan jiwa yang seharusnya bertumbuh setiap hari.
This post was last modified on 17 Juni 2021 12:24 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…