Dalam spiritualitas Islam terdapat tiga kutub yang diyakini mewakili tiga bentuk pendekatan ketuhanan yang kemudian berkonsekuensi terhadap sikap keberagamaan. Tiga kutub itu adalah Syekh Abdul Qadir al-Jilani (yang mewakili pendekatan ibadah), Jalaluddin Rumi (yang mewakili pendekatan perasaan), dan Muhyiddin Ibn ‘Arabi (yang mewakili pendekatan pengetahuan).
Saya tak hendak menyingkap dua dari yang pertama karena memang dalam kejawen atau spiritualitas yang berbasiskan budaya Jawa tak cukup memiliki pengaruh atau tak cukup memiliki persinggungan. Sejak abad ke-17, dalam catatan Bruinessen, tarekat Syattariyah memang mendominasi Jawa. Tak hanya para elit keraton Mataram ataupun Cirebon, apalagi ketika pada masa Perang Jawa atau setelahnya, Syattariyah seperti sudah menjadi “identitas” keislaman komunitas Jawa.
Jadi, apa yang dikenal sebagai Islam pada waktu-waktu itu adalah Islam yang sudah dibumikan sedemikian rupa oleh kaum Syattariyah.
Maka, dalam sejarahnya, Syattariyah lazimnya berkaitan dengan Akmaliyah, sebentuk tarekat yang konon memang memiliki sanad keilmuan yang bersambung dari Nabi Muhammad hingga raja-raja Mataram Islam.
Dan dalam Akmaliyah itulah konon spiritualitas “asli” Jawa yang sudah lebih dulu ada berkawin-silang dengan spiritualitas Islam dimana perwujudannya sampai saat ini masih dapat dijumpai baik di keraton-keraton Jawa maupun di banyak pedesaan Jawa yang konon dirintis oleh para ulama diaspora abad ke-17.
Itulah kenapa pandangan-pandangan Ibn ‘Arabi seolah lebih karib dengan kultur Jawa daripada misalnya, Abdul Qadir al-Jilani ataupun Rumi.
Dalam spiritualitas Jawa, istilah “pengetahuan” itu dikenal dengan sebutan “kawruh,” sebagaimana dalam ungkapan “kawruh sangkan-paraning dumadi,” “kawruh kasampurnan,” “kawruh patitising pati,” dsb. Dari istilah “kawruh” inilah kemudian istilah “weruh” ataupun “ma’rifat” diturunkan sebagai sebentuk laku yang mesti pertama kali dilakukan daripada laku menyembah ataupun berperasaan sebagaimana yang identik dengan sikap beragama selama ini. Bagaimana mungkin orang menyembah atau merasa tanpa tahu akan siapa atau apa yang sesungguhnya disembah atau dirasa?
Jadi, spiritualitas Jawa atau kejawen, yang selama ini cenderung di-liyan-kan oleh kaum sok beragama itu memiliki dasar yang jelas dan tegas dalam tradisi Islam sendiri. Taruhlah sifat “rahman” dan “rahim” yang konon menjadi dasar dari penciptaan atau kemudian, pada tahapnya yang lebih lanjut, menjadi sikap etis yang mesti dikembangkan dalam berkehidupan di dunia yang beranekaragam ini.
Dalam perspektif kejawen, hal itu pada dasarnya adalah fakta ataupun kasunyatan yang sudah melekat pada setiap diri manusia ketika masih di rahim sang ibu—atau bahkan jauh sebelumnya ketika sang bapak dan sang ibu belum bertemu. Dan di fase itulah sebenarnya apa yang dikenal sebagai “kawula-Allah” atau “kawula-Gusti,” yang disifati laiknya hidup dalam suasana surgawi terjadi.
Dan fakta atau kasunyatan itu adalah fakta ataupun kasunyatan setiap orang atau bahkan setiap apa yang disebut sebagai makhluk, tanpa peduli apa, siapa, kenapa atau bagaimana orang ataupun makhluk itu.
Dari fakta atau kasunyatan itulah kemudian agama-agama datang untuk memberi tafsir dan klaim yang seturut dengan kepentingan mereka. Padahal, itu semua adalah fakta atau kasunyatan yang sebenarnya tanpa agama sekalipun tetaplah menjadi fakta atau kasunyatan yang tak terelakkan.
Jadi, pada dasarnya, kejawen itu menyurung orang untuk beragama yang seturut dengan fakta-fakta kehidupan agar tak tampak konyol dan seolah-olah membenturkan kepalanya sendiri ke dinding karena tak bisa berdamai dengan angannya sendiri.
Dengan demikian, radikalisme keagaamaan sebenarnya adalah sebentuk ketelatan pemahaman orang atas berbagai fakta kehidupan yang sudah terjadi, pun pelarian dari fakta kehidupan yang sedang dan akan terjadi.
Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…
Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat…
Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai…
Desember 2025 akan mencatat sejarah baru bagi Indonesia. Untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan, Kementerian Agama…
Belakangan ini, lini masa media sosial ramai dengan perbincangan terkait keputusan Kementerian Agama untuk menggelar…
Desember selalu memiliki aroma yang khas. Ada bau tanah basah sisa hujan sore hari, aroma…