Di jantung kepulauan Nusantara, tersembunyi kearifan-kearifan purba yang tak lekang oleh waktu. Dari tanah Sulawesi, kita mengenal falsafah Siri’ na Pesse—sebuah konsep Bugis-Makassar yang merangkum martabat, harga diri (Siri’), dan rasa iba serta solidaritas sosial (Pesse). Siri’ bukanlah sekadar rasa malu; ia adalah penjaga marwah, pengingat akan akar dan identitas. Sementara Pesse adalah perekat sosial, panggilan jiwa untuk merasakan denyut nadi sesama, untuk tidak berpaling dari penderitaan. Ini bukan sekadar etika lokal, melainkan resonansi mendalam tentang bagaimana manusia—dalam segala keragamannya—seharusnya hidup berdampingan: menjaga kehormatan diri seraya merangkul yang lain dalam empati.
Kisah-kisah epik seperti La Galigo pun, melampaui narasi mitologisnya, sejatinya menyimpan jejak-jejak perjumpaan, negosiasi, dan bahkan benturan antar-nilai dan peradaban. Nusantara, sejak awal, adalah panggung raksasa bagi dialektika kebudayaan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana spirit Siri’ na Pesse, spirit dialog antar-peradaban ini, bisa menjadi cermin bagi kita hari ini, terutama ketika membicarakan isu sensitif: pengimplementasian syariat Islam dalam sebuah negara-bangsa yang inherently multikultur seperti Indonesia?
Sebelum terjerembap dalam perdebatan yuridis-formal tentang “penerapan syariat”, ada baiknya kita menyelami dimensi psikologis Islam dalam memandang keberagaman. Al-Qur’an, dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, secara eksplisit menyatakan bahwa penciptaan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah untuk lita’arafu—saling mengenal. Ini bukan sekadar pengenalan pasif, melainkan sebuah perintah aktif untuk membangun jembatan pemahaman.
Dari perspektif psikologi Islam, ta’aruf adalah langkah awal menuju kondisi jiwa yang sehat dalam masyarakat majemuk. Ia menuntut kita untuk keluar dari tempurung ego-kelompok, membuka diri terhadap “yang lain”, dan mengakui bahwa perbedaan adalah sunnatullah, sebuah keniscayaan kosmis yang justru memperkaya eksistensi manusia. Ketika pengenalan ini berbuah pemahaman, ia akan melahirkan ta’awun—semangat tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, melampaui sekat agama, suku, dan budaya.
Syariat, dalam konteks ini, tidak bisa direduksi menjadi sekadar hukum pidana atau aturan berpakaian. Ia adalah manifestasi dari spirit ta’aruf dan ta’awun ini—sebuah jalan (makna harfiah syari’ah) menuju keadilan, kemaslahatan, dan harmoni sosial. Implementasinya dalam konteks multikultur, oleh karena itu, harus berfokus pada penguatan fondasi psikologis ini: membangun rasa saling percaya, empati, dan tanggung jawab bersama, alih-alih memaksakan uniformitas yang justru mencederai fitrah keberagaman.
Panggung Politik: Antara Godaan Hegemoni dan Utopia Sekularisme
Namun, kita tak bisa menafikan bahwa isu syariat kerap menjadi komoditas politik, baik di panggung nasional maupun internasional. Di satu sisi, ada kelompok yang, dengan berbagai motif, mendorong implementasi syariat secara kaku dan formalistik, acap kali dengan mengabaikan realitas multikultur dan berpotensi meminggirkan kelompok minoritas. Di sisi lain, ada pula desakan—seringkali berkiblat pada Barat—untuk memisahkan agama sepenuhnya dari ruang publik, sebuah gagasan yang asing bagi realitas sosio-kultural Indonesia, di mana agama adalah napas kehidupan sehari-hari.
Politik global pun turut bermain. “Islam” seringkali distigma dan disalahpahami, memicu islamofobia yang mempersulit dialog konstruktif. Sementara itu, di dunia Muslim sendiri, pergulatan mencari model negara-bangsa yang ideal—yang mampu mengakomodasi nilai-nilai Islam tanpa menafikan modernitas dan pluralisme—masih terus berlangsung.
Di tengah tarik-menarik ini, Indonesia, dengan Pancasila-nya, menawarkan sebuah eksperimen unik. Godaan untuk meniru model “negara Islam” dari Timur Tengah atau sebaliknya, menjadi negara sekuler ala Barat, harus terus-menerus dikritisi. Di sinilah letak urgensi untuk kembali menggali filsafat Pancasila.
Di sinilah Pancasila menjadi payung yang memungkinkan “syariat”—dalam makna substansialnya (keadilan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial)—untuk terimplementasi tanpa harus menegasikan keberagaman budaya dan agama. Pancasila justru memberi ruang bagi agama untuk mewarnai kebudayaan, dan bagi kebudayaan untuk mengekspresikan nilai-nilai agama secara kontekstual. Ia menjaga agar agama tidak menjadi alat hegemoni, sekaligus memastikan bahwa nilai-nilai luhur agama tidak tercerabut dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Implementasi syariat Islam dalam negara multikultur seperti Indonesia, oleh karena itu, bukanlah tentang mendirikan “negara Islam” formal, melainkan tentang bagaimana umat Islam—sebagai mayoritas—mampu menerjemahkan nilai-nilai universal Islam (keadilan, kasih sayang, musyawarah, kemaslahatan) ke dalam kebijakan publik dan praktik sosial yang inklusif dan menghargai keberagaman. Ini adalah tentang bagaimana spirit Siri’ na Pesse bisa bersenyawa dengan ta’aruf dan ta’awun, dan bagaimana keduanya bisa bersemi di bawah naungan Pancasila.
Jalan tengah Nusantara ini menuntut kearifan, kedewasaan, dan kemampuan untuk berdialog—bukan hanya dengan “yang lain”, tetapi juga dengan diri sendiri, dengan sejarah, dan dengan cita-cita keindonesiaan kita. Ini adalah sebuah tugas filsafati dan kebudayaan yang tak akan pernah selesai, sebuah ijtihad berkelanjutan untuk merajut tenun keharmonisan.
Di tengah masyarakat yang majemuk, narasi tentang hubungan antara agama dan negara kerap menjadi perbincangan…
Penangkapan seorang remaja berinisial MAS (18 tahun) oleh Tim Densus 88 Antiteror Polri di Kabupaten…
Syariat Islam dalam konteks membangun negara, sejatinya tak pernah destruktif terhadap keberagaman atau kemajemukan. Syariat…
Setiap manusia dalam lingkaran kehidupannya pasti selalu dikelilingi dengan aturan-aturan syariat. Karena di dalam syariat…
Agenda formalisasi syariah tampaknya masih menjadi isu seksi yang terus digaungkan oleh kelompok radikal teroris.…