Narasi

Pendidikan Agama yang Tidak “Menegasi” Kemanusiaan

Islam sebetulnya tidak pernah “menegasi” kemanusiaan. Karena agama ini justru menjunjung nilai kemanusiaan itu sendiri. Artinya, pengajaran agama Islam sejatinya tidak hanya tentang bagaimana seseorang beriman kepada-Nya. Tetapi juga mengajarkan bagaimana seseorang mampu berperilaku baik dan tolerant terhadap mereka yang berbeda agama misalnya. Karena mereka adalah bagian dari saudara. Yaitu saudara dalam kemanusiaan. Maka, wajib untuk diperlakukan sama, tanpa ada perlakuan diskriminasi, praktik intolerant, kebencian, apalagi bullying.    

Karena di dalam Agama Islam, manusia dan kemanusiaan sejatinya menjadi fakta sosiologis, agama ini diturunkan. Hal ini dapat kita buktikan ketika Nabi Muhammad SAW pertama kali mengajarkan Islam di tanah Arab. Beliau dihadapkan oleh situasi-kondisi masyarakat yang bejat secara moral dan rusak secara kemanusiaan.

Bagaimana di tengah realitas masyarakat Arab dengan gejolak konflik antar suku yang terus menjalar. Pertumpahan darah tidak terelakkan. Perempuan-perempuan terus dilecehkan dan diinjak-injak martabatnya. Bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Karena dianggap membawa aib dan tidak berguna. Praktik eksploitasi, perjudian dan pemerasan terhadap kaum miskin selalu terjadi pada saat itu.

Di tengah realitas yang semacam inilah Nabi Muhammad SAW hadir dengan seperangkat ajaran Islam. Memegang erat sebuah misi untuk membangun moralitas dan  nilai-nilai kemanusiaan. Karena beliau tidak hanya mengajak masyarakat untuk beriman kepada-Nya. Tetapi juga memperbaiki tatanan-moralitas masyarakat Arab yang sedang mengalami krisis kemanusiaan itu sendiri.

Bukti bahwa agama Islam tidak pernah “menegasi” kemanusiaan itu juga diperkuat oleh potongan ayat Al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 70. Dalam redaksi “Walaqad Karramna bani adam” bahwa “telah kami muliakan anak cucu Adam (Manusia)”. Ayat ini mengandung satu redaksi yang sifatnya penegasan terhadap otoritas Allah SWT tentang kemuliaan manusia, dalam kata “Karramna” yang berarti (kami “Allah SWT” memuliakan). Tentu kemuliaan manusia bukan terletak pada imbas dari adanya manusia lain. Tetapi Allah SWT memuliakan seluruh manusia sebagai sebuah kemutlakan yang harus dijaga dengan baik.

Dari satu dalil tentang pentingnya menjaga kemanusiaan ini, tentu kita tidak boleh menyangkal apalagi menjadikan agama Islam sebagai jalan untuk bersikap tidak adil, intolerant atau bahkan perilaku yang tidak senonoh kepada mereka yang berbeda agama. Utamanya dalam dunia pendidikan agama yang akhir-akhir ini selalu menjadi “sumbu” menyala-nya api-api diskriminasi, bullying dan perlakuan tidak beradab kepada mereka yang berbeda agama. Lalu mengatasnamakan prinsip beragama.

Padahal, prinsip yang paling mutlak dalam agama Islam itu sendiri terbuka. Keterbukaan ini mengacu kepada hak dan eksistensi kemanusiaan tadi. Sebagaimana sejarah awal mula pertama kali Islam masuk ke Arab. Nabi tidak hanya menjadikan masyarakat untuk menghapus kepercayaan terhadap patung atau berhala yang disembah lalu digantikan kepada jalan keimanan untuk menyembah Allah SWT. Tetapi beliau juga kompeten untuk memperbaiki tatanan moral masyarakat Arab yang hilang secara moral dan lupa secara kemanusiaan.

Bahkan, Nabi Muhammad SAW ketika melaksanakan haji wada’ di tahun ke-10 Hijriah, beliau seperti memberi (berwasiat) melalui pidatonya, yang menunjukkan akan tanda-tanda wafatnya beliau. Beliau memberikan pesan penting untuk kita ingat, bahwasanya: “Wahai manusia, ingatlah, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu dan nenek moyangmu juga satu, Tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah terhadap yang berkulit merah. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit hitam terhadap yang berkulit merah. Kecuali dengan takwanya” (HR. Ahmad, al-Baihaqi dan al-Haitsami).            

Dari ungkapan Nabi Muhammad SAW ini menunjukkan bahwa sebetulnya kita semua sama. Punya Tuhan yang sama dan tidak ada perbedaan ras, kulit atau bahkan jenis kelamin sekalipun. Pun, jika mereka yang berbeda agama, dia tetap adalah saudara kita dalam kemanusiaan. Maka, di sinilah kita perlu menjadikan nilai-nilai agama sebagai kesadaran untuk menghadap kepada-Nya di satu sisi. Di sisi lain, menjadikan tata moral untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Termasuk meluaskan kesadaran untuk menghidupkan pendidikan agama yang tidak “menegasi” kemanusiaan itu sendiri.

This post was last modified on 18 Maret 2021 1:08 PM

Fathur Rohman

Photographer dan Wartawan di Arena UIN-SUKA Yogyakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

20 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

20 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

20 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

20 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago