Di Tegalsari, Ponorogo, terdapat sebuah pesantren yang, dalam catatan Bruinessen (1995), merupakan pesantren tertua dalam hal kurikulum sebagaimana kurikulum pesantren yang selama ini orang mengenal.
Pesantren itu dikenal sebagai pesantren Gebang Tinatar yang didirikan oleh Kyai Ageng Mohammad Besari yang terkenal dengan kontribusinya dalam konsolidasi Pakubuwana II seusai kalah perang dengan Amangkurat V dalam peristiwa Geger Pacinan.
Ketenaran pesantren Tegalsari tercatat mencapai puncaknya pada masa kepemimpinan salah satu cucu Kyai Ageng Mohammad Besari, Kanjeng Kyai Kasan Besari, yang merupakan juga cucu menantu Pakubuwana III di keraton Surakarta.
Pada masa kepemimpinan Kanjeng Kyai Kasan Besari inilah seorang tipikal santri yang berdaya jelajah tinggi, yang kuasa untuk mendobrak segala batas pada zamannya, mendapatkan pendidikan agama pada masa awalnya.
Santri itu dikenal dengan nama Bagus Burham, seorang keturunan sang pujangga agung keraton Surakarta, Yasadipura.
Dalam Serat Babad Cariyos Lelampahan Suwargi Raden Ngabei Ronggawarsita, dapat diketahui tentang modal awal sorang santri untuk dapat tumbuh dan berkembang melampaui segala batas yang telah ditetapkan secara tak tertulis. Saya menamakan modal awal itu dengan istilah “jadzab” atau sebentuk kemampuan dan keberanian untuk menjelajah (Menyulam yang Terpendam: Kesusastraan, Sejarah, dan Filsafat Keseharian, Heru Harjo Hutomo, Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2022).
Dalam catatan sejarah, dari masa nyantri hingga mengabdi di keraton Surakarta, Bagus Burham, atau yang kemudian lebih dikenal sebagai R.Ng. Ronggawarsita, banyak menelan kepahitan atas segala pilihan hidupnya itu: dibuang dari pesantren (meskipun kemudian sang kyai mencari dan mengakuinya kembali sesudah sebuah pagebluk terjadi di Tegalsari), penyebar heterodoksi Islam seusai berkarir sebagai seorang pujangga, ketaklempangan karirnya di keraton Surakarta karena ketenarannya melebihi sang raja, dan sepetak makam yang menyendiri yang seolah bukanlah bagian dari kalangan ningrat ataupun kalangan umum, dsb.
Tetapi, apakah yang dituai dari kiprah Ronggawarsita yang seolah penuh dengan kepahitan itu, terbuang dari kalangan santri atau terkesan lebih njawani daripada islami, atau pada saat berkarir menjadi pujangga, terkesan lebih kebarat-baratan daripada njawani?
Sejarah kesusastraan Jawa mencatat bahwa di balik segala kepongahan dari seorang Ronggawarsita itulah justru kesusastraan Jawa mencapai puncak keemasannya (renaissance) hingga ia mendapatkan gelar sebagai pujangga pamungkas Jawa.
Dan, pada sisi spiritualitas Nusantara, atau tasawuf di kalangan santri, kebertuhanan ala Jawa mendapatkan kegamblangannya. Lewat salah satu karyanya, Wirid Hidayat Jati, apa yang selama ini dikenal dengan istilah “Tuhan” dalam kamus orang beragama, ternyata adalah sangat dekat dari apapun yang dianggap dekat. Ia adalah sang “Ingsun” yang terbalut oleh berbagai derajat “aku.”
Konsepsi itulah yang menyebabkan kenapa Ronggawarsita mampu dan berani untuk menjelajah pada wilayah-wilayah yang selama ini dianggap tabu hingga diri dan dunia yang digumulinya mendapatkan kebesaran yang jauh melampaui batas-batasnya.
Barangkali tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika game online dapat menjadi media dakwah. Game online kerap…
Ada sebuah diktum yang meresahkan bagi kaum santri saat ini, yaitu bahwa untuk menjadi modern,…
Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang…
Santri kerap diidentikkan dengan kelompok muslim tradisional yang kuno, kolot, bahkan ortodoks. Santri juga kerap…
Kaum santri barangkali adalah kelompok yang paling tepat untuk menyandang gelar Rausyanfikr. Istilah Rausyanfikr dipopulerkan…
Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…