Narasi

Menolak Senjakala Pesantren

Ada sebuah diktum yang meresahkan bagi kaum santri saat ini, yaitu bahwa untuk menjadi modern, Islam harus sekuler. Bahwa pesantren adalah lembaga “kolot” yang anti-kemajuan, dan sebaliknya, seorang santri yang berpikir kritis atau bicara demokrasi pastilah “liberal” dan tercerabut dari akarnya.

Dua pandangan ekstrem ini sama-sama keliru, karena lahir dari kegagalan fundamental dalam memahami apa itu modernitas dan apa sebenarnya ruh pendidikan pesantren.

Kekeliruan ini berakar pada anggapan bahwa modernisasi berarti sekularisasi—sebuah pandangan yang mungkin relevan bagi sejarah Eropa Abad ke-18, tapi tidak untuk Islam. Padahal, seperti ditekankan Nurcholish Madjid (Cak Nur), “Modernisasi adalah rasionalisasi, bukan sekularisasi”.

Bagi Islam, modernisasi adalah pembebasan dari kebodohan dan kejumudan, bukan pembebasan dari Tuhan. Sejarawan Marshall Hodgson pun berargumen bahwa peradaban Islam justru melahirkan sains karena keyakinan spiritualnya. Iman bukanlah penghalang akal, melainkan bahan bakarnya.

Di sinilah letak keunikan pesantren. Ia adalah antitesis dari dua kutub ekstrem tadi. Pesantren berada di jalur tengah, mendidik manusia agar cerdas tanpa congkak dan beriman tanpa beku. Model pendidikannya unik: santri belajar berpikir kritis dan mengkaji beragam teori, namun pada saat yang sama tahu kapan harus menunduk ta’dhim (hormat) kepada guru. Mereka bukan anti-modern; mereka hanya paham bahwa kemajuan tanpa nilai (values) adalah “kesesatan” versi modern saja.

Apa yang dulu diprediksi Cak Nur pada 1990-an—bahwa akan muncul gelombang profesor dari kalangan santri—kini telah menjadi preseden. Santri-santri kini tidak lagi hanya menguasai fiqh dan kitab kuning; mereka telah menembus ruang-ruang akademik paling modern di dunia.

Kita mengenal Salahudin Kafrawi mengajar filsafat di Amerika, Eva Nisa mengkaji antropologi di Australia, dan Ismail Fajri Alatas di New York, serta Nadirsyah Hosen di Melbourne. Di spektrum sains dan teknologi, ada Muhammad Azis sebagai profesor teknik energi di Jepang, Hendro Wicaksono ahli sistem industri di Jerman, dan Bakhtiar Hasan yang menekuni biostatistika di Belgia.

Di dalam negeri, nama-nama seperti Burhan Muhtadi (pakar survei), Agus Zainal Arifin (ahli informatika ITS), hingga Ace Hasan Syadzily (Gubernur Lemhannas) menunjukkan betapa santri telah mengisi pos-pos strategis intelektual dan kenegaraan.

Namun, ramalan Cak Nur bukanlah sekadar soal gelar. Ini adalah tentang lahirnya generasi baru Islam Indonesia yang memiliki ciri khas, yaitu berpikir universal tanpa kehilangan akar spiritual.

Inilah realitas santri hari ini. Mereka adalah pribadi yang utuh. Mereka bisa memakai sarung sekaligus jas. Mereka mendengarkan Adele tanpa melupakan Umi Kulsum. Mereka mencium tangan Kiai di pagi hari dan tampil di seminar internasional pada siang harinya.

Mereka fasih membahas epistemologi sambil tetap bershalawat sebelum mengajar; mereka menulis jurnal ilmiah internasional sambil tetap mengkaji Ihya’ Ulumuddin.

Kini, gerbong itu bahkan melaju lebih jauh dari yang dibayangkan Cak Nur, melahirkan novelis, sutradara film, hingga penyelenggara konser jazz.

Memang, narasi ini memancarkan optimisme yang kuat. Namun jika kita menelisik lebih dalam di balik pesona tersebut, kita akan menemukan lapisan tantangan yang jauh lebih kompleks.

Para santri sejatinya ini memikul “beban ganda”. Di forum akademik global, mereka harus bekerja ekstra untuk membuktikan bahwa rasionalitas mereka tidak tumpul oleh iman. Sebaliknya, di tengah komunitasnya, mereka harus terus meyakinkan bahwa iman mereka tidak luntur oleh nalar kritis yang mereka adopsi.

Modernitas yang mereka masuki bukanlah ruang netral. Ia adalah ruang yang sarat dengan asumsi filosofisnya sendiri—seringkali sekuler, materialis, dan individualis. Tantangan sesungguhnya bagi para santri ini bukanlah sekadar menggunakan sains dan metodologi modern, tetapi bertarung dengan asumsi-asumsi yang menyertainya.

Mereka dituntut tidak hanya menjadi pengguna teknologi atau teori, tetapi menjadi penjaga nilai yang mampu menundukkan kemajuan itu di bawah prinsip spiritual dan etika pesantren. Ini adalah tugas yang jauh lebih berat daripada sekadar meraih gelar profesor.

Nama-nama yang sempet disinggung tadi adalah bukti kemungkinan (possibility), tapi belum tentu cerminan realitas umum (general reality) dari jutaan lulusan pesantren di Indonesia.

Pembuktian utamanya terletak pada dampak kolektif di dalam negeri. Mampukah para santri teknokrat ini menggunakan values pesantren untuk melawan “kesesatan canggih” dalam bentuk eksploitasi alam dan ketimpangan ekonomi digital?

Sementara itu, pesantren sebagai institusi akan tetap ada. Ketika negara gagal menciptakan pendidikan berkeadilan dan masyarakat kota sibuk dengan formalitas tanpa ruh, pesantren akan tetap berdiri sederhana, mengajarkan adab, kesabaran, dan keikhlasan.

Gatot Sebastian

Recent Posts

Majelis Nurul Legend; Metode Dakwah Santri Berbasis Game Online

Barangkali tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika game online dapat menjadi media dakwah. Game online kerap…

3 menit ago

Ronggawarsita: Daya Jelajah Seorang Santri

Di Tegalsari, Ponorogo, terdapat sebuah pesantren yang, dalam catatan Bruinessen (1995), merupakan pesantren tertua dalam…

5 menit ago

Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang…

24 jam ago

Diplomasi Santri di Kancah Global; Dari Komite Hijaz, Isu Palestina, ke Kampanye Islam Moderat

Santri kerap diidentikkan dengan kelompok muslim tradisional yang kuno, kolot, bahkan ortodoks. Santri juga kerap…

24 jam ago

Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

Kaum santri barangkali adalah kelompok yang paling tepat untuk menyandang gelar Rausyanfikr. Istilah Rausyanfikr dipopulerkan…

24 jam ago

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

4 hari ago