Categories: Narasi

Ibadah ‘Bolong’ Dari Si Sombong

Dalam sebuah kisah diceritakakan dahulu di zaman Rasulullah pernah hidup seorang laki-laki yang terkenal sangat doyan ibadah. Ia adalah orang yang selalu datang ke masjid untuk sholat jamaah, ia datang lebih awal dibandingkan jama’ah yang lain, dan ketika jama’ah yang lain pulang dari masjid, ia masih asyik dengan sholatnya. Beberapa sahabat merasa kagum atas ibadah laki-laki ini. Merekapun menyampaikan perihal laki-laki tersebut kepada Nabi.

Rasulullah yang mendengar kabar tersebut lantas mengamati laki-laki si ahli ibadah ini. Beliau lalu berkata, “Aku seperti melihat bekas tamparan setan di wajahnya.” Beliau lantas mendekati laki-laki tersebut dan bertanya, ”Apakah ketika kamu sholat, kamu merasa tidak ada yang lebih baik dari dirimu?” Laki-laki yang ditanya menjawab singkat, “benar”, seraya berjalan masuk kedalam masjid.

Rasulullah kemudian berkata kepada para sahabatnya, ”Kelak akan muncul kaum dari keturunan orang tersebut. Bacaan Alquran kalian tidak ada nilainya dibandingkan bacaan mereka. Sholat kalian tidak ada nilainya dibanding sholat mereka. Puasa kalian tidak ada artinya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Alquran hingga kalian menyangka Alquran itu milik mereka saja. Padahal, sebenarnya Alquran justru melaknat mereka. Umatku akan menderita di tangan mereka. Merekalah seburuk-buruknya manusia. Jika aku hidup saat itu, aku akan bangkit melawan mereka.” (HR. Bukhari-Muslim).

Kisah di atas merupakan peringatan bagi kita semua, terutama tentang akan munculnya ‘trend’ orang-orang yang ‘kelihatan’ sangat alim dalam beribadah, namun rupanya tidak segan untuk menumpahkan darah. Rasul mengetahui bahwa laki-laki dalam kisah di atas akan menjadi sumber malapetaka di kemudian hari hanya karena satu sebab kecil: merasa paling benar! Terbiasa –atau membiasakan diri—untuk merasa paling benar merupakan sumber utama bagi lahir dan berkembangnya sikap onar.

Beberapa kalangan meyakini bahwa laki-laki ini adalah ‘bapak’ dari anak-anak yang dikemudian hari membentuk kelompok yang dikenal dengan nama Khawarij. Mereka adalah kelompok sadis yang berlaku bengis di zaman kekhalifahan sayidina Ali bin Abi Thalib. Berbeda dengan orang-orang berandal pada umumnya, Khawarij menghalalkan pembunuhan meski ibadah tidak pernah mereka tinggalkan.

Salah seorang ulama muslim yang juga sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas, menjelaskan ciri-ciri Khawarij sebagai kaum yang menakjubkan dalam hal ibadah. Tampak bekas-bekas sujud di dahi mereka. Siang hari mereka berpuasa dan malam hari diisi dengan tahajjud dan membaca Alquran. Mereka adalah qori dan kaum penghafal al-Quran. Tubuh mereka kurus dan pucat karena banyak berpuasa. Pakaian mereka tampak kasar dan menjauhi dunia.

Mereka adalah golongan orang-orang yang rajin menunaikan Sholat lima waktu namun membiarkan kewarasannya membeku. Mudah marah melihat perbedaan dan tidak segan melakukan kerusakan karena merasa paling tahu apa yang diinginkan Tuhan.

Dalam konteks modern, banyak kalangan yang meyakini bahwa Khawarij versi baru ada pada diri ISIS. Kelompok yang mengklaim sebagai pemegang kebenaran tunggal yang tidak keberatan untuk melakukan pembantaian. Mereka adalah orang yang rajin melakukan ibadah meski catatan kejahatan dan kegilaan mereka semakin hari semakin membuncah.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? trend tentang munculnya orang-orang yang kelihatan ‘mengkilap’ dalam hal ibadah namun tetap rajin menjarah sepertinya memang sedang terjadi di negeri ini. Dengan mudah kita dapat menyaksikan gerombolan orang yang mulai rajin memberi label ‘kafir’ dan ‘ahli neraka’ kepada sesama muslim hanya karena memiliki pemahaman dan sikap yang berbeda. Kita tentu merasa jengah dengan munculnya orang-orang yang merasa paling benar, karena nyatanya kita semua memang masih sedang belajar. Hanya Allah yang paling tahu siapa yang paling mulia, sementara kita hanya bisa mengira-ngira.

Mari kembali pada kisah di atas, pertanyaan sederhana yang diajukan Rasul terhadap si ahli ibadah di atas patut rasanya untuk kita ulang dan tanyakan kembali pada diri sendiri, tujuannya tentu agar kita dapat selalu mawas diri dan berhati-hati. ”Apakah ketika kamu sholat, kamu merasa tidak ada yang lebih baik dari dirimu?

This post was last modified on 9 Juni 2015 1:32 PM

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

8 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

8 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

8 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

8 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago