Narasi

Pentingnya Stigma Radikalisme-Terorisme sebagai Musuh Bersama

Tentu, di satu sisi saya sepakat jika Heru Harjo hutomo dalam tulisannya “Corona, Radikalisme-Terorisme, dan Pendekatan Semesta” di jalandamai.org pada 21 Juni 2021. Menyimpulkan bahwa peran RAN PE sebetulnya sama saja dengan penanganan wabah corona. Yaitu butuh partisipasi dan kebersamaan untuk melawannya.

Tentu, argumentasi demikian tidaklah salah. Tetapi, di sisi lain, kita perlu memahami dalam konteks (realitas sosial) yang terjadi. Perihal radikalisme-terorisme akar-rumput. Apa iya, masyarakat secara umum, mutlak telah memiliki stigma bahwa radikalisme-terorisme sebagai musuh bersama?

Pertanyaan ini sebetulnya akan membuat kita “flashback” dengan kasus yang berbeda. Namun memiliki karakteristik yang sama. Di mana, kondisi sosial masyarakat kita, masih ada (sebagian) yang menganggap bahwa corona tidak perlu ditakuti dan bahkan corona dianggap tidak ada. Sebagaimana pelanggaran protokol kesehatan di banyak tempat terus terjadi. Hingga tindakan anarkis karena tidak mau untuk di swab-tes yang baru-baru ini terjadi di Sura-Madu. 

Dinamika yang semacam ini, cukup relevan dan bahkan sama-persis dengan apa yang kita alami perihal misi pencegahan, deteksi dini dan penanggulangan radikalisme-terorisme di Indonesia sejak dulu. Di mana, yang kita hadapi seperti “kurang energi” partisipasi publik. Karena, masyarakat kita (sebagian) tidak sepenuhnya percaya. Menganggap bahwa mereka-mereka ini (kelompok: radikalisme-terorisme) bukan sebagai musuh kita bersama. Tanpa menyadari bahwa merekalah yang akan memporak-porandakan bangsa ini.

Hal ini sangat terlihat semenjak Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya Perpres RAN PE pada Januari lalu, yang kini telah resmi diluncurkan. Karena sejak Januari lalu, ada sebagian kalangan yang masih belum sepenuhnya yakin, percaya dan bahkan dari beberapa argumentasinya masih banyak yang menolak adanya Perpres RAN PE ini. Karena dianggap akan saling menuduh dan bahkan justru memecah-belah bangsa karena masyarakat mudah saling lapor.

Sebetulnya, persoalan ini saya kira bukan lagi tentang bagaimana RAN PE memiliki peran penting di dalam membabat habis radikalisme-terorisme akar rumput. Tetapi, adanya semacam stigma di dalam kehidupan masyarakat bahwa aksi-aksi radikalisme-terorisme ini masih belum sepenuhnya dianggap musuh bersama dan masih bersembunyi dalam pemahaman bahwa mereka-mereka ini dianggap “normal” sebagai aktivitas yang dibenarkan di dalam agama.

Persoalan radikalisme-terorisme ini sebetulnya sangatlah pelik di dalam kehidupan masyarakat. Baik secara penyebaran-nya yang transparan dan sulit terdeteksi. Hingga, banyaknya masyarakat yang kurang sepenuhnya memiliki kesadaran akan bahayanya radikalisme-terorisme ini.

Tetapi, ketahuilah bahwa hal yang paling mendasar untuk kita mengerti secara akal sehat. Bahwa kita senyatanya ingin hidup damai, aman dan nyaman serta tanpa suara senjata, bom meledak di mana-mana hingga mayat-mayat orang tak bersalah tergeletak di mana-mana. Kita senyatanya ingin menjalani hidup ini secara ideal, aktivitas sosial yang nyaman dan segalanya menunjukkan sebuah kebahagiaan.

Di sinilah kita perlu mengerti. Bahwa radikalisme-terorisme itu akan menghancurkan kebahagiaan, keselamatan dan kenyamanan dalam hidup kita. Mereka ini akan merampas kenyamanan dan ketenteraman hidup kita. Kita perlu menyadari bahwa radikalisme-terorisme ini musuh besar kita bersama. Kesadaran ini perlu kita bangun. Untuk membangun bangsa ini agar aman dan nyaman. Serta terbebas dari kelompok kriminal layaknya radikalisme-terorisme.            

Tentu, kita perlu menjadikan kita bersama sebagai penggerak di dalam mengimplementasikan RAN PE dalam kehidupan masyarakat. Dengan terus membangun sebuah komitmen yang mendalam dan serius. Bahwa kita perlu membentuk semacam stigma, perihal radikalisme-terorisme ini yang secara nyata dan mutlak sebagai musuh besar kita bersama yang perlu dibabat habis.

This post was last modified on 22 Juni 2021 12:49 PM

Sitti Faizah

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

2 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

2 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

2 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

2 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

3 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

3 hari ago