Narasi

Peran Sentral Ulama dan Umara dalam Memfilter Paham Radikal di Indonesia

Dalam membicarakan peran ulama dan umara sebenarnya keduanya memiliki peran yang hampir sama dan sangat strategis. Di mana ulama seringkali dimaknai sebagai pewaris para Nabi, berperan menjalankan dakwah yang merawat ajaran Islam agar terefleksi dalam diri setiap umat Islam. Sedangkan umara dimaknai pemimpin umat atau pejabat yang menjadi pihak berwenang mengeluarkan kebijakan-kebijakan bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang menganut sistem pemerintahan.

Dari sinilah diharapkan keduanya bisa menjalin hubungan sinergi yang ideal. Sehingga tugas dan peran masing-masing bisa berjalan beriringan, serta mampu melahirkan umat yang berdedikasi menyatukan dan mendamaikan. Dengan titik sentralnya, diharapkan ulama dan umara mampu mengawal sekaligus menuntun masyarakat kembali pada khitah yang santun dan pijakan dalam hidup bersosial dalam bermasyarakat.

Dengan kata lain, menghimbau masyarakat atau mengajak seluruh bangsa Indonesia agar bisa saling hidup berdampingan. Bisa saling menjalin silahturahmi, menimba ilmu dan lain sebagainya. Sebab apabila dikaji lebih jauh peran ulama dan umara sangat kompleks. Salah satunya yaitu membentengi pemahaman radikal yang disuarakan oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab.

Sebagaimana akhir-akhir ini sebuah kebijakan majelis ulama Indonesia yang mengeluarkan himbauan untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk yang berafiliasi degan Israel serta yang mendukung penjajah dan zionisme. Kebijakan ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam hal dukungan Palestina. Sayangnya, kebijakan yang demikian dimanfaatkan beberapa kaum radikal di media sosial secara salah. Seperti misalnya baikot ini tidak hanya berhenti pada produknya, melaikan semua yang berkaitan dengan Israel harus dihindari.

Pemahaman inilah yang ditakutkan akan melahirkan ketikseimbangan masyarakat dalam mengambil sebuah tindakan. Pro dan kontra yang bisa berpengaruh pada bangsa Indonesia sendiri. Padahal secara mendasar fatwa tersebut sejatinya bertujuan agar kita bisa menjadi masyarakat yang cerdas dalam menyuarakan kemanusiaan dengan santun dan mendamaikan.

Berkaca dari sini, M. Quraish Shihab yang mengatakan, bahwa ada empat peran yang harus diemban oleh ulama sebagai pewaris nabi, peran tersebut adalah tabligh, tabayyun,tahkim, dan uswah. Melalui peran tabligh ulama menyampaikan dakwah Islam, mengajarkan ajaran agama, menyampaikan syariat Islam kepada masyarakat. Melalui peran tabayyun ulama menafsirkan dan menjelaskan al-Quran, menafsirkan al-Hadits Nabi Muhammad Saw kemudian untuk diajarkan kepada masyarakat. Melalui peran tahkim ulama menggali sumber-sumber hukum Islam untuk melahirkan keputusan dan kepastian hukum. Dan, melalui uswah ulama memberikan contoh teladan dan menjadikan dirinya sebagai teladan yang diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw.

Begitu juga dengan umara, Syaikh Muhammad al-Mubarak dalam bukunya Didin mengatakan bahwa, ada empat sifat seseorang untuk menjadi pemimpin. Pertama, memiliki aqidah yang benar (al-aqidah salimah), kedua memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, ketiga memiliki akhlak yang mulia (al-akhlak al-karimah), keempat memiliki kecakapan manajerial, memahami ilmu-ilmu administratif dan manajemen dalam mengatur urusan-urusan duniawi.

Dua hal yang dijabarkan oleh tokoh-tokoh besar tersebut, seharusnya sudah mewakili bahwa peran ulama dan umara di Indonesia ialah membangun sinergi dalam menjaga kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Sehingga apa yang disampaikan tidak melahirkan disinformai yang menjadikan masyarakat gagal paham.

Untuk itu, sudah seharusnya kita juga ikut ambil andil dalam menyuarakan pentingnya persatuan bangsa Indonesia. Dan mengamini bahwa ulama dan umara menjadi salah satu pilar dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Di lain sisi kita juga harus meluruskan apabila ada salah satu dari masyarakat yang gagal paham tentang fatwa dan kebijakan yang disampaikan oleh ulama dan umara. Karena  sikap inilah yang sebenaranya akan menjadi modal utama dalam menjaga kestabilan bangsa Indonesia.

Kita harus selalu sadar bahwa bangsa ini besar dengan budaya persatuannya. Dan melalui ulama, umara dan masyarakat Indonesia kita akan saling bersinergi untuk membingkai Indonesia yang mendamaikan. Jangan biarkan pemikiran radikal mengganggu kenyamanan bangsa Indonesia. Sebab, perbedaan dan kebersamaan yang ada di Indonesia inilah yang mengantarkan persaudaraan berbangsa dan terciptanya kedamaian yang mungkin tidak dimiliki negara lain.

Sudiyantoro

Penulis adalah Penikmat Buku dan Pegiat Literasi Asli Rembang

Recent Posts

Revitalisasi Sumpah Pemuda dalam Ketahanan Digital

Di tengah gelombang perubahan global yang tak terelakkan, yang dihadirkan oleh revolusi industri 4.0 dan…

22 jam ago

Digitalisasi Sumpah Pemuda; Menjadikan TikTok Sebagai Aparatus Ideologi

Jika ditanya, apa media sosial paling populer bagi gen Z dan gen Alpha, maka jawabannya…

22 jam ago

Ketika Eks Napi Teroris Membumikan Semangat Sumpah Pemuda

  Bagi para eks napi teroris di Republik ini, Sumpah Pemuda bukanlah ikrar pertama mereka.…

22 jam ago

Era Disrupsi, Radikalisme, dan Kasunyatan

Terdapat sebuah kearifan lokal, dalam hal ini kejawen, tentang sebentuk dasar epistemologis yang disebut sebagai…

2 hari ago

Ketika Sumpah Pemuda Diuji di Dunia Digital

“Persatuan hari ini tidak lagi diuji di medan perang, melainkan di ruang digital, tempat algoritma…

2 hari ago

Generasi Scroll Culture; Meng-Endorse Sumpah Pemuda di Jagat Maya

Hari ini, Sumpah Pemuda itu tinggal sejarah. Tertulis di banyak buku tapi jarang dijamah. Tergambar…

2 hari ago