Narasi

Kebhinekaan, Kejawen, dan Konsep “Kawula-Allah”

Terdapat sebuah kisah tentang seorang muslim yang justru seperti menemukan hakikat Islam dengan jalur kebudayaan Jawa atau kejawen, sebuah kebudayaan yang konon pernah, dan barangkali juga masih, dianggap sebagai sebentuk “noda akidah.”

Konon, dalam khazanah keislaman sendiri, peristiwa isra’ mi’raj yang pernah terjadi pada diri nabi adalah sebuah peristiwa yang menyingkapkan keluhuran kedudukan seorang anak manusia, yang secara paradoksal, adalah justru seorang “kawula” atau hamba. Bukankah dalam peristiwa itu ibadah shalat dalam agama Islam kemudian terumuskan?

Pengalaman dan pemahaman seperti itulah yang konon dapat ditemukan dari dan dalam kejawen. Sebagai seorang yang terlahir dari rahim kebudayaan Jawa, saya kira pandangan yang demikian sudah umum di lingkaran orang Jawa, yang tentu saja yang karib dengan kebudayaannya sendiri. Ungkapan bahwa “Jawa luwih tuwa” bukanlah sekedar ungkapan yang melebihkan diri sendiri dengan merendahkan yang lain.

Jawa luwih tuwa,” yang dalam pemakainnya memang kerap digunakan dalam konteks perbedaannya dengan Islam, hanyalah sebuah kesimpulan atas sebentuk tafsir yang lebih sederhana, padat, dan terang. Namun, meskipun sederhana, padat, dan terang, ketika orang kemudian mengupas tafsir kejawen itu dari teologi Islam akan menemukan sebentuk kerumitan.

Tengoklah seluhur-luhurnya kedudukan manusia yang ternyata sekedar hamba, atau dalam ungkapan Jawa disebut sebagai “kawula-Allah,” yang dalam peristiwa isra’ mi’raj ditandai dengan anugerah ibadat shalat. Untuk menduduki kedudukan luhur ini ternyata tak pula gampang untuk direngkuh.

Dengan gampang orang memang mudah menyebut diri sebagai “hamba Tuhan,” namun begitu ditelisik ternyata keadaan dan kedudukan ini membutuhkan sebuah proses spiritual yang tak sepintas lalu.

Ketika dihubungkan dengan Tuhan yang konon merupakan dzat yang tan kena kinaya apa, maka dari perspektif kejawen perkaranya konon menjadi terang. Ketika, misalnya, dalam keseharian orang mengalami sebuah peperangan dimana kedua belah pihak saling mengklaim sebagai orang-orang yang bertuhan, maka klaim ini sebenarnya tak merujuk pada Tuhan sebagai dzat yang tan kena kinaya apa.

Dengan demikian, teranglah dalam kejawen kenapa mesti ada beribu nama Tuhan dan barangkali juga beribu agama dan sistem spiritual, yang ketika orang meributkan dan memperkarakannya, menjadi hal yang tak berguna. Sikap semacam inilah yang kemudian terkandung dalam apa yang di hari ini dikenal sebagai kebhinekaan, toleransi, dan moderasi.

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

9 jam ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

9 jam ago

Jihad Ala Nusantara untuk Palestina

Pada April 2025, Internasional Union of Muslim Scholars (IUMS), sebuah organisasi para ulama dan cendekiawan…

9 jam ago

Sisi Gelap Propaganda Terorisme di Balik Fatwa Jihad ke Gaza

Pada 5 April 2025, komite Fatwa dan Yurisprundensi IUMS mengeluarkan fatwa lanjutan terkait kewajiban seluruh…

9 jam ago

Islam adalah Maslahat, Kajian Hadis La Darara wa La Dirar

Organisasi internasional yang menaungi ulama Muslim di berbagai belahan dunia International Union of Muslim Scholars…

1 hari ago

Mengapa (Tidak) Perlu Jihad ke Palestina?

International Union of Muslim Scholars (IUMS), sebuah organisasi dari ulama muslim dari perwakilan negara yang…

1 hari ago