Narasi

Pola Radikalisasi Berbasis Isu Global; Dari Ujaran Kebencian ke Glorifikasi Kekerasan

Dimana ada kekacauan dan konflik pecah, disitulah kaum radikal bersorak. Bisa dibilang, pihak paling diuntungkan dari pecahnya konflik baik internal di sebuah negara maupun antar negara adalah kelompok radikal. Bagaimana tidak?

Jika kaum radikal diibaratkan sebagai peselancar, maka konflik itu adalah ombaknya. Peselancar menunggu ombak agar bisa meluncur dengan papannya. Demikian pula, kaum radikal menunggu konflik pecah agar bisa menunggangi isunya untuk menebar jala kebencian dan mempropagandakan ideologi kekerasan.

Di belahan bumi mana pun konflik pecah, kaum radikal akan ambil bagian. Dalam konflik Suriah, mereka membajak di tengah jalan perjuangan rakyat sipil untuk melawan tirani rezim otoriter. Di Palestina, kaum radikal menunggangi isu nasionalisme dan membelokkannya ke dalam sentimen islamisme. Demikian juga dalam konflik India dan Pakistan, kaum radikal mencuri panggung untuk mengibarkan ideologi jihad  akhir zaman.

Pola yang sama juga tampak pada isu konflik Iran dan Israel. Kaum radikal seolah malu-malu mendukung serangan Iran ke Israel. Lantaran, Iran identik dengan golongan Syiah yang dianggap sebagai aliran sempalan oleh kaum radikal. Namun, mereka secara hipokrit menunggangi gejolak konflik itu untuk menebar propaganda radikalisme. Ada setidaknya tiga pola kaum radikal dalam menunggangi konflik global.

Pertama, menjadikan konflik sebagai momentum untuk membangun sentimen kebencian terhadap kelompok yang selama ini dipersepsikan sebagai musuh Islam. Dalam konteks konflik Timur Tengah, ujaran kebencian selalu diarahkan pada golongan non muslim dan kekuatan Barat yang dianggap sebagai musuh utama Islam.

Hampir bisa dipastikan, setiap kali pecah konflik di Timur Tengah, sebaran ujaran kebencian terhadap non muslim dan Barat di media sosial melonjak tajam. Aktor penyebarnya sebenarnya itu-itu saja. Yakni akun yang selama ini juga aktif menebar ideologi khilafah, daulah, dan ideologi transnasional lainnya.

Kedua, menjadikan konflik sebagai ajang untuk mengglorifikasi kekerasan. Yakni perilaku menganggap perang dan kekerasan sebagai tindakan mulia, suci, agung, berani, atau hebat. Glorifikasi kekerasan cenderung menganggap perang sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan.

Glorifikasi kekerasan ini bahaya lantaran membuat manusia menormalisasi peperangan dan mengabaikan korban sipil akibat perang tersebut. Glorifikasi Kekerasan akan menempatkan satu pihak sebagai pejuang atau pahlawan yang layak dipuji, sedangkan pihak lain (musuh) akan diposisikan sebagai layaknya setan atau iblis yang harus dibinasakan.

Ketiga, menjadikan konflik sebagai alat untuk membenarkan paham atau ideologi politik yang didasarkan pada pemahaman agama secara tekstual. Secara spesifik, kaum radikal selalu memanfaatkan situasi konflik untuk menyebarkan keyakinan bahwa hanya ideologi daulah atau khilafah Islamiyyah yang mampu mengakhiri sengkarut konflik dan membawa umat manusia menuju kedamaian dan kesejahteraan.

Pola ini menjadi semacam template bagi gerakan radikal. Apa pun masalahnya, solusi yang mereka tawarkan adalah berdirinya institusi politik Islam. Situasi konflik kerap dijadikan alasan kaum radikal bahwa ketiadaan institusi Islam berwujud khilafah itu membuat tatanan dunia kacau balau.

Kaum radikal memang identik dengan sikap oportunistik. Mereka tidak peduli perang akan melahirkan gelombang kesengsaraan. Bagi mereka, perang dan konflik adalah momentum untuk tampil ke permukaan, menyebar narasi adu-domba, lalu menebar jala perangkap agar mendapatkan simpati dan dukungan. Strategi hipokrit itu efektif di tengah masyarakat muslim yang masih lemah dalam hal literasi digital dan pengetahuan terkait geopolitik global.

Rendahnya literasi digital dan pengetahuan geopolitik global membuat umat gampang dimobilisasi opini dan persepsinya tentang sebuah isu konflik. Umat pun mudah dicekoki dengan analisa dangkal yang bertendensi menguburkan radikalisme agama.

Adalah kebutuhan mendesak untuk memperkuat literasi digital umat. Muslim harus cerdas dalam memilah dan memilih informasi atau narasi yang disebar di media sosial. Pastikan setiap informasi dan analisa tentang konflik itu benar-benar valid dan berasal dari sumber yang kredibel. Bukan berasal dari sumber yang selama ini menjadi corong radikalisme dan ekstremisme.

Selain itu, umat Islam wajib memahami peta geopolitik global untuk memahami kompleksitas sebuah konflik atau perang. Perang yang terjadi di era modern ini tidaklah sesederhana dua negara berseteru.

Ada multifaktor yang saling berkelindan, mulai dari kepentingan ekonomi-politik, sampai intevensi asing yang kadang sulit diidentifikasi dari permukaan. Pengetahuan geopolitik global akan menavigasi kita dalam memahami konflik secara lebih komprehensif, kritis, dan konstruktif.

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Israel vs. Iran dan Runtuhnya Mitos “Sesama Muslim”

Dalam sepanjang sejarah republik Indonesia, atau bahkan jauh sebelum NKRI terbentuk— khususnya pada masa Adipati…

8 menit ago

Meninggalkan Narasi Identitas: Langkah Menuju Diplomasi

Konflik geopolitik sering kali dipahami sebagai pertempuran antara negara-negara dengan identitas dan kepentingan yang berbeda.…

13 menit ago

Mewaspadai Medan Pertempuran Ideologis di Tengah Konflik Global

Kita sedang menyaksikan sebuah era yang saya istilahkan sebagai fitnah al-kubra kontemporer, sebuah kekacauan besar…

24 jam ago

Menguatkan Literasi dan Kewaspadaan terhadap Jebakan Ideologis Konflik Global

Dalam era digital yang semakin berkembang, informasi dapat tersebar dengan sangat cepat dan meluas. Di…

24 jam ago

Mitigasi Propaganda Terorisme di Tengah Riuh Konflik Timur Tengah

Keberhasilan luar biasa yang dicapai dalam mensukseskan zero terrorist attack tahun 2024 lalu tentu tidak…

24 jam ago

Dari Empati Menuju Ekstremisme: Mengurai Bahaya Residu Konflik Global

Ketegangan yang terus membara di kawasan Timur Tengah—dari konflik berkepanjangan Palestina-Israel, konfrontasi Iran-Israel, hingga luka…

2 hari ago