Narasi

Praktek Moderasi Beragama di Tengah Maraknya Disinformasi di Tahun Politik

Proses radikalisasi seseorang itu bisa terjadi dari mana saja dan kapan saja. Ada yang masuk dari pintu keagamaan. Ada yang terpapar dari ranah pendidikan. Dan ada pula yang mengalami radikalisasi karena isu-isu politik. Seperti kita tahu, isu politik apalagi di waktu-waktu menjelang Pemilu dan Pilpres 2024 ini memang sensitif sekaligus panas.

Kontestasi politik yang begitu dinamis kerapkali menimbulkan riak dan gejolak sosial di masyarakat. Ditambah lagi, munculnya kubu-kubu politik yang dibumbui sindrom fanatisme. Dukung-mendukung calon pemimpin kerap diwarnai oleh sentimen identitas dan agama. Itulah yang membuat demokrasi kita kian hari hari kian ruwet dan mengalami degradasi secara kualitas. 

Di tengah menurunnya kualitas demokrasi itulah muncul narasi radikalisasi. Antara lain dengan menuding demokrasi sebagai sistem yang gagal atau tudingan demokrasi hanya menyengsarakan umat. Puncaknya muncul narasi bahwa sistem yang cocok bagi umat Islam adalah khilafah.

Atau narasi yang menyebut bahwa khilafah adalah solusi bagi seluruh problem kebangsaan yang saat ini dihadapi Indonesia. Ironisnya, banyak masyarakat yang terpikat oleh narasi itu. Belakangan kian banyak umat Islam yang anti demokrasi bahkan menganggapnya sebagai sistem kafir. Di saat yang sama kian banyak umat Islam menjadi simpatisan gerakan khilafah.

Urgensi Moderasi Beragama di Tahun Politik

Mengimplementasikan moderasi beragama di tahun politik yang sarat oleh disinformasi dan polarisasi dengan demikian merupakan hal yang urgen. Kita perlu membangun kesadaran di kalangan masyarakat bahwa demokrasi lima tahunan ini kiranya tidak merusak tatanan sosial apalagi merobohkan kesatuan bangsa.

Kita harus menanamkan kesadaran bahwa pemimpin boleh berhenti setiap lima tahun sekali. Tapi persatuan dan kesatuan bangsa adalah harga mati. Implementasi moderasi beragama di tahun politik ini bisa diwujudkan ke dalam sejumlah langkah. 

Langkah pertama adalah mengedukasi publik agar bisa menarik garis batas yang jelas antara urusan politik dan agama. Politik atau demokrasi itu urusan dunia yang profan alias tidak abadi. Perebutan kekuasaan sejauh dilakukan secara fair dan etis adalah hal yang wajar. Kalah menang dalam demokrasi juga merupakan hal yang biasa.

Sedangkan agama merupakan ajaran yang sakral alias suci. Agama berhubungan dengan urusan akhirat. Maka, agama tidak selayaknya diseret ke dalam percaturan politik. Tersebab, hal itu tidak hanya akan menodai kesucian agama, namun juga merusak tatanan sosial masyarakat. Ditariknya sentimen keagamaan dalam politik hanya akan menimbulkan perpecahan dan polarisasi di tengah umat. 

Langkah kedua, mengedukasi masyarakat agar memilih pemimpin berdasarkan progam kerja, rekam jejak integritas dan kredibilitasnya, bukan semata berdasar pada kesamaan identitas (suku dan agama). Di saat yang sama, para elite politik hendaknya juga mengedepankan model kampanye yang menjual gagasan dan ide bukan mengumbar sentimen identitas kesukuan dan keagamaan. 

Langkah ketiga, membangun budaya kampanye yang etis, dalam artian bebas dari narasi kebencian, fitnah, dan hoaks. Dalam sistem demokrasi modern, lawan politik tidak selalu harus diposisikan sebagai musuh yang harus dijatuhkan. Untuk itu, upaya meraih simpati publik idealnya tidak dilakukan dengan cara kampanye hitam (black campaign). 

Mewaspadai Manuver Kaum Radikal di Tahun Politik

Terakhir, namun tidak kalah pentingnya adalah menanamkan keyakinan pada publik bahwa demokrasi adalah sistem politik yang paling memungkinkan untuk mencari pemimpin secara adil dan transparan. Demokrasi memang bukan sistem yang sempurna.

Namun, demokrasi mampu mewadahi beragam aspirasi yang berkembang di masyarakat. Selain itu, penting pula membangun kesadaran bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Prinsip demokrasi seperti kebebasan kesetaraan, dan keterbukaan sejalan dengan ajaran Islam. 

Di tahun politik yang diwarnai disinformasi dan polarisasi ini, implementasi moderasi beragama adalah hal yang urgen. Kita harus mewaspadai setiap manuver kaum radikal yang menunggu momentum. Jika kontestasi demokrasi 2024 ke depan bisa berjalan kondusif, dipastikan bangsa ini akan menjadi besar dan maju.

Pemimpin yang transformatif tentu lahir dari proses demokrasi yang sehat dan bersih dari permusuhan dan perpecahan. Sebaliknya, kontestasi politik yang diwarnai hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian akan melahirkan gejolak sosial bahkan konflik.

Dan, seperti kita tahu dimana ada konflik dan kekacauan sosial, disitulah kelompok radikal akan bangkit dan mengambil alih situasi. Jangan sampai itu terjadi. Maka, seluruh komponen masyarakat dan pemerintah perlu bersinergi untuk melawan disinformasi dan polarisasi dengan menggencarkan moderasi beragama.

This post was last modified on 4 September 2023 10:23 AM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

21 menit ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

23 menit ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

25 menit ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago