Kebangsaan

Urgensi Melibatkan Penyintas Terorisme dalam Program Deradikalisasi dan Kontra Narasi Ekstremisme

Tanggal 21 Agustus ditetapkan sebagai “Hari Peringatan dan Penghormatan Terhadap Korban Terorisme”. Hal ini mengacu pada Resolusi Sidang Umum PBB Nomor 72/165 pada Juli 2017. Peringatan ini bertujuan untuk menghormati para korban atau penyintas terorisme sekaligus membangun kesadaran akan bahaya terorisme bagi kemanusiaan. 

Terorisme tidak diragukan telah menjadi musuh bagi manusia modern. Global Terorisme Database mencatat setiaknya ada 66 ribu aksi teror terjadi sejak tahun 2007-2022. Menurut GTD, Indonesia berada di posisi ke-24 sebagai negara paling terdampak aksi terorisme. Memang harus diakui bahwa Indonesia merupakan negara yang nisbi rawan aksi teror.

Bahkan sempat ada tudingan bahwa Indonesia merupakan negara sarang teroris. Menurut data majalah Times, lebih dari 600 aksi teror terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2008-2022. Sedangkan jumlah korban mencapai lebih dari 1300 orang. 

Korban atau penyintas terorisme ini tentu menjadi perhatian utama pemerintah dan masyarakat terkait penanggulangan terorisme. Sudah sejak lama, pemerintah memberikan sejumlah pendampingan. Baik dalam konteks finansial maupun psikologis.Menjadi penyintas terorisme jelas tidak mudah.

Ada trauma fisik dan psikis yang sulit disembuhkan selama bertahun-tahun. Kehadiran pemerintahan dan masyarakat dalam kehidupan mereka kiranya akan memberikan semangat baru bagi kehidupan para penyintas terorisme tersebut. 

Dalam perspektif yang lain, keberadaan para penuntas atau korban terorisme ini memiliki peran penting dalam agenda pemberantasan terorisme. Bagaimana tidak? Para penyintas adalah kelompok yang paling merasakan dampak destruktif dari aksi teror dan kekerasan.

Padahal, sebagian besar bahkan nyaris semua korban atau penyintas terorisme itu hanyalah orang-orang yang tidak berdosa dan kebetulan ada di tempat kejadian. Mereka bukanlah musuh agama yang kerap menjadi sasaran para teroris. Mereka juga bukan bagian dari kekuatan negara Barat yang kerap dianggap teroris sebagai representasi musuh. Sekali lagi, mereka hanyalah warga biasa yang ada di waktu dan tempat yang salah. 

Lantaran menjadi korban aksi teror, banyak penyintas yang kehidupannya berubah drastis. Mengalami luka parah, bahkan menjadi cacat fisik seumur hidup, kehilangan pekerjaan, diasingkan dari lingkungan dan hal-hal tidak terbayangkan lainnya. Pendek kata, menjadi penyintas aksi terorisme adalah sebuah mimpi buruk yang tidak ada satu pun orang menginginkannya. 

Maka, melibatkan para korban dan penyintas terorisme dalam agenda deradikalisasi serta kontra narasi ekstremisme adalah hal yang urgen. Para korban dan penyintas itu mengalami langsung betapa pedihnya menjadi korban aksi teror. Pengalaman individual yang subyektif itu kiranya bisa menjadi semacam inspirasi untuk membangun kesadaran tentang pentingnya mewujudkan perdamaian di tengah keberagaman bangsa. 

Para korban atau penyintas terorisme dengan demikian patut atau bahkan wajib dilibatkan dalam agenda deradikalisasi. Pengalaman dan cerita pahit para korban atau penyintas terorisme itu kiranya bisa mengetuk hati dan alam bawah sadar radikalis atau teoris agar ‘bertaubat’ kembali ke NKRI. 

Para penyintas atau korban terorisme adalah bukti nyata bahwa aksi teror dan kekerasan hanya akan merendahkan martabat kemanusiaan. Aksi teror hanya melahirkan efek destruktif alih-alih perubahan konstruktif. Terlibatnya mereka para penyintas ini dalam agenda deradikalisasi kiranya mampu menggugah kesadaran untuk melawan ideologi kebencian. 

Selain deradikalisasi, para korban atau penyintas terorisme idealnya juga dilibatkan dalam gerakan kontra narasi ekstremisme dan agen perdamaian. Penyintas terorisme punya pengalaman yang bisa dijadikan sebagai narasi melawan paham kebencian dan kekerasan. Suara mereka kiranya akan lebih memilih kekuatan untuk membendung propaganda eketrmisme yang belakangan kian marak.

Bagaimana pun juga, keberadaan para penyintas terorisme tidak boleh dipandang sebelah mata, apalagi diabaikan. Di satu sisi kita (pemerintah dan masyarakat) harus ikut andil memulihkan trauma fisik dan psikisnya. Termasuk memberikan bantuan finansial dan sosial agar mereka kembali berdaya melanjutkan hidup. Di saat yang sama, kita juga perlu mendorong mereka agar berperan aktif dalam upaya deradikalisasi dan agenda kontra narasi ekstremisme.

This post was last modified on 4 September 2023 11:53 AM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago