Narasi

Rebranding Pancasila 5.0: Memviralkan Kebangsaan Gen Z di Era Digital

Mari kita bayangkan Indonesia bukan dilihat dari 10 atau 20 tahun yang lalu. Tetapi, bayangkan Indonesia saat ini dan pandangan visi emas 2045 ke depan. Masyarakat Indonesia-dan umumnya secara global-telah mengalami transformasi yang sangat luar biasa. Kecanggihan teknologi dan informasi telah mendorong perubahan besar di tengah masyarakat dan diprediksi akan terus mengalami perkembangan yang tak terhindarkan. 

 

Generasi baru telah lahir dengan situasi kecanggihan digital yang telah mapan. Gen Z hidup di eksosistem yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka terbiasa dengan dunia digital, algoritma, koding, budaya populer global dan cara pandang yang lebih cair. Sosial media, AI, K-pop, Netflix dan lainnya menjadi ritual baru. Dan faktanya, mereka adalah populasi dominan saat ini.

 

Harus diakui, Gen Z adalah generasi yang paling canggih dalam skill teknologi. Mereka mahir bermain dengan algoritma media sosial, terbiasa dengan multitasking digital, bahkan banyak yang bisa belajar coding dan membuat konten kreatif, bahkan sejak usia belia. Namun, di balik kecanggihan itu, Gen Z juga kerap digambarkan sebagai generasi strawberry; generasi yang rapuh secara mental, ideologi, dan pedoman hidup. Tingginya kasus burnout, kecemasan sosial, hingga depresi menunjukkan mereka menghadapi tekanan psikologis yang berat.

 

Secara ideologis pun, Gen Z sering berada dalam posisi gamang. Gempuran gaya hidup global menggoyahkan pilihan identitas global dan lokal mereka. Mereka kadang kehilangan arah tentang nilai dasar yang bisa dijadikan pegangan hidup. 

 

Di sinilah, Pancasila yang telah terbukti menjadi pandangan hidup masyarakat Indonesia harus dihadirkan. Tetapi, dengan melihat DNA dan karakter Gen Z, kita bukan bertujuan memperkenalkan Pancasila, tetapi mempopulerkan atau istilah digital saat ini, memviralkan Pancasila sebagai kode budaya dan gaya hidup Gen Z. 

 

Pancasila 5.0 sebuah istilah informal yang kita pinjam sebagai narasi mengikuti perkembangan digital seperti revolusi industry 4.0 dan society 5.0 (masyarakat 5.0). Jepang telah menggagas masyarakat 5.0 sebagai visi untuk menyiapkan warga negara yang menyeimbangkan antara kemajuan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan. 

 

Pancasila 5.0 sebagai sebuah narasi yang diadaptasi untuk diterapkan dalam masyarakat 5.0 yang mengintegrasikan teknologi dan manusianya. Karena itulah, Pancasila bukan didesain dalam bentuk indoktrinasi lama, melainkan dengan pendekatan Gen Z dalam ruang visual, digital, interaktif dan kontekstual. Dengan begitu, Pancasila 5.0 terdengar segar, progresif, dan akrab di telinga generasi digital.

 

Bersiaplah Upgrade Pancasila 5.0

 

Pertama-tama, Saya ingin menegaskan bahwa Pancasila 5.0 bukan ingin mengganti Pancasila secara subtantif, tetapi ikhtiar menemukan cara baru yang membuat Pancasila terasa relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka yang serba digital, cepat, dan global. Pancasila 5.0 bisa dipahami sebagai versi “upgrade” dari ideologi bangsa. Ia bukan mengganti Pancasila, melainkan menghidupkan kembali semangatnya agar siap berdialog dengan era digital, kecerdasan buatan, dan isu-isu global yang dekat dengan generasi muda.

 

Gen Z telah begitu akrab dengan perubahan digital. Istilah upgrade dan update software berkala di gadget juga menjadi concern mereka. Pancasila dengan kemegahan filosofi, historis dan budaya yang digali oleh founding fathers harus pula di-update sesuai dengan zaman kekinian yang terus berubah. 

 

Apa implikasi update Pancasila 5.0 ini? Pancasila bukan lagi dokumen sakral yang dipajang di dinding sekolah, dihafal tanpa diamalkan, dikenalkan tanpa dipopulerkan dan didoktrinkan tanpa dipraktikkan. Pancasila 5.0 adalah reka ulang nilai Pancasila sebagai gaya hidup digital, panduan aksi nyata dan identitas kebangsaan yang fleksibel. 

 

Pancasila 5.0 : Dari Doktrin Tumpul Menjadi “Kode Budaya”

 

Salah satu masalah mendasar dalam pendidikan kewarganegaraan kita adalah Pancasila sering diajarkan secara normatif: teks yang harus dihafalkan, bukan nilai yang harus dipraktikkan. Pancasila dikurung dalam pelajaran PKn dengan penilaian kuantatif yang menjemukan. Metode ini membuat Pancasila terasa kaku, seolah dokumen lama yang tidak dilirik sama sekali oleh Gen Z. 

 

Gen Z hidup di dunia coding, algoritma, dan DNA digital. Karena itu, Pancasila perlu ditawarkan ulang sebagai cultural code—sebuah kode budaya Indonesia—yang menjelaskan mengapa kita menghargai perbedaan, menjunjung keadilan, dan membangun persatuan.

 

Pancasila bukan lagi slogan atau jargon politik, melainkan identitas hidup yang bisa dirasakan dalam keseharian. Misalnya, ketika mereka aktif menjadi relawan digital untuk menggalang donasi bencana, itu adalah wujud dari sila kedua dan kelima. Ketika mereka melawan ujaran kebencian di media sosial, itu adalah perwujudan sila ketiga.

 

Bagaimana menerjemahkan kode budaya dalam praktek nyata? 

 

Pertama, pop culture sebagai medium. Bayangkan Pancasila bukan saja di pelajaran buku, tetapi dalam bentuk visual storytelling di komik webtoon, konten TikTok, bahkan gaming. Misalnya, gim lokal yang menantang pemain membangun desa virtual dengan prinsip Pancasila. Atau short video challenge di mana tiap sila dihubungkan dengan aksi sehari-hari (ramah ke tetangga, donasi online, menjaga bumi).

 

Kedua, Gen Z butuh narasi otentik, bukan ceramah. Gen Z alergi terhadap indoktrinasi. Mereka lebih suka mendengar kisah nyata: misalnya micro-influencer yang bercerita bagaimana nilai Pancasila hadir di hidupnya—ketika menolong teman beda agama, menolak ujaran kebencian, atau membangun startup sosial. Cerita ini lebih mengena daripada pidato resmi.

 

Ketiga, perlu estetika baru Pancasila. Poster “jadul” dengan burung Garuda emas mungkin tidak menarik bagi Gen Z. Bagaimana jika Pancasila divisualkan dengan gaya graphic design ala streetwear, NFT art, atau meme culture? Bayangkan meme lucu yang menertawakan intoleransi sambil menyelipkan sila ke-3 tentang persatuan.

 

Keempat, dari hafalan ke POV, Reel, dan FYP. Pancasila jadi keren kalau dipraktikkan. Misalnya: program sosial berbasis Gen Z—komunitas eco-volunteer, startup for humanity, atau digital literacy movement—dibranding sebagai ekspresi Pancasila 5.0. Mereka akan lebih bangga jika merasa sedang menghidupi nilai, bukan sekadar menghafalnya.

 

Tentu saja, ikhtiar-ikhtiar di atas perlu terus dikembangkan dan dievaluasi lebih lanjut. Tetapi intinya, jangan menjadikan Pancasila yang luhur menjadi menjemukan di hadapan Gen Z. Pancasila 5.0 bukan sekadar mengenalkan, melainkan mempopulerkan dengan cara yang relevan. Itulah point utamanya. 

Generasi terdahulu berjuang merebut kemerdekaan dengan darah dan air mata. Generasi sekarang ditantang untuk mempertahankannya dengan kreatifitas dan aksi nyata. Pancasila 5.0 adalah jembatan yang menghubungkan sejarah dengan masa depan, nilai lokal dengan isu global, serta manusia dengan teknologi.

Pancasila 5.0 menegaskan bahwa dasar negara ini bukan sekadar warisan, tetapi juga masa depan.

Nurhana

Recent Posts

Dakwah Nge-Pop ala Influencer HTI; Ancaman Soft-Radicalism yang Menyasar Gen Z

Strategi rebranding Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya cukup berhasil. Meski entitas HTI secara fisik…

4 jam ago

Performative Male: Ruang Gelap Radikalisasi yang Menggurita di Era Gen Z

Validasi adalah sebuah elemen yang melekat pada Generasi Z. Keduanya berkelindan. Tak terpisahkan. Beberapa tahun…

4 jam ago

Membedah Anatomi Gerakan Gen Z; Membangun Imajinasi Keindonesiaan yang Otentik

Geliat gerakan yang dimotori gen Z di sejumlah negara ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata.…

1 hari ago

Wajah Baru Radikalisasi di Dunia Game

Gen Z lahir dengan dua kewarganegaraan. Indonesian citizenship dan internet citizenship (netizen). Bagi mereka, tidak…

1 hari ago

Gen-Z dan Islam Moderat; Bagaimana Ekologi Media Membentuk Identitas Beragama yang Inklusif?

Hasil survei dari Alvara Institute pada tahun 2022 lalu menyebutkan bahwa agama menjadi salah satu…

1 hari ago

DNA Aktivisme Gen Z: Mengelola Genetik Perubahan Anak Muda

Gelombang aktivisme anak muda, khususnya Generasi Z, semakin menjadi sorotan global. Dari Nepal, Bangladesh, Sri…

2 hari ago