Narasi

Reinterpretasi Konsep Ulama Su’ dalam Konteks Negara Bangsa

Situasi keberagamaan kita belakangan ini diwarnai oleh sejumlah isu. Mulai dari pemberian konsesi tambang ke ormas keagamaan yang menuai perdebatan publik. Hingga keluarnya Rizieq Shihab dari penjara serakah menjalani hukuman 4 tahun penjara lantaran kasus penyebaran berita bohong terkait hasil swab Covid 19.

Kedua isu itu lantas memicu munculnya narasi di tengah umat tentang kategorisasi ulama. Bahwa ulama-ulama NU yang dianggap dekat dengan kekuasaan merupakan ulama su’ alias ulama yang karakternya buruk, bahkan jahat.

Sedangkan ulama yang jauh dari kekuasaan dan kerap mengkritik pemerintah dikategorikan sebagai ulama Rabbani alias ulama yang patut diteladani sikapnya. Labelisasi ulama su’ pada sejumlah tokoh agama yang dianggap memiliki kedekatan dengan penguasa atau pemerintah itu sebenarnya cukup problematik.

Apalagi jika yang melontarkan label itu adalah individu atau kelompok yang selama ini memang dikenal benci atau anti pada pemerintahan yang sah serta berkecenderungan radikal. Dalam konteks negara bangsa, relasi ulama (tokoh agama), umara (pemimpin/pemerintah), dan ummat (warga) itu idealnya bersifat mutualistik.

Dalam artian saling membutuhkan sekaligus melengkapi. Secara spesifik, dalam konteks Indonesia yang dikenal sebagai negara relijius, ulama dan Umara adalah dua pilar penting tegaknya eksistensi bangsa dan negara. Maka, keduanya harus memiliki hubungan yang harmonis.

Dalam konteks negara bangsa Indonesia, relasi ulama dan umara diibaratkan sebagai tangan kanan dan tangan kiri yang saling bekerjasama tanpa ada kepentingan untuk saling menjatuhkan. Namun, di antara dua tangan itu punya fungsi tersendiri. Begitu juga antara ulama dan umara.

Umara, dalam konteks Indonesia direpresentasikan dengan keberadaan institusi eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Tugas umara adalah menyusun aturan dan kebijakan, serta menjalankan kebijakan tersebut demi kemakmuran umat.

Peran Ulama; Antara Penjaga Moral dan Pemberdayaan Sosial

Sedangkan fungsi umara, dalam konteks negara bangsa seperti Indonesia, tentu bukan sekadar sebagai penjaga moral agama. Ulama adalah mitra strategis umara dalam mensukseskan kebijakan atau program yang telah diputuskan bersama. Dalam istilah antropolog Clifford Geertz, peran ulama adalah sebagai cultural broker, alias pialang budaya yang menjembatani antara umara dan ummat.

Dalam pengertian yang demikian ini, konsep ulama su’ yang kerap diidentikkan sebagai ulama yang dekat dengan pemerintah kiranya harus ditafsirkan ulang. Lantaran, mustahil ulama bisa menjalankan perannya sebagai kekuatan kontrol sosial jika jauh dari umara. Sebaliknya, dalam konteks negara bangsa Indonesia, ulama justru harus punya akses pada umara agar bisa menjalankan perannya sebagai mitra kritis pemerintah.

Hal ini pernah disampaikan sebelumnya oleh Habib Umar bin Hafidz dalam forum Multaqa Ulama di Pesantren Tebu Ireng tahun lalu. Kala itu ia ditanya apakah ulama yang sering mendatangi umara bisa dikategorikan sebagai ulama su’.

Habib Umar pun menjawab, tidak semua ulama yang sering mendatangi atau dekat dengan umara tergolong ulama su’. Ia menjelaskan bahwa jika ulama mendatangi ulama dalam kapasitas untuk menasihati, memberikan masukan, atau bekerja sama untuk kemaslahatan umat, maka tidak bisa disebut sebagai ulama su’.

Di titik ini, kira bisa menyimpulkan bahwa ulama su’ dalam konteks negara bangsa seperti Indonesia adalah ulama yang justru kerap mendelegitimasi kerja pemerintahan dengan berita palsu, dan ujaran kebencian.

Ulama su’ dalam konteks Indonesia saat ini adalah mereka, para tokoh agama yang membajak mimbar keaagamaan untuk menebar provokasi kebencian, propaganda kekerasan, dan ideologi anti-kebangsaan. Merekalah yang justru pantas disebut sebagai ulama su’. Tersebab, mereka secara sengaja dan sadar mengadu domba antara umat dan umara yang tentu berpotensi menimbulkan kekacauan politik dan sosial.

Arkian, reinterpretasi konsep ulama su’ dalam konteks negara bangsa seperti Indonesia ini urgen dan relevan dilakukan. Indonesia memang bukan negara agama, namun juga bukan sebagai sekuler.

Peran ulama dalam konteks NKRI tidak hanya mengurusi persoalan agama secara sempit. Namun, juga memiliki tanggung jawab dalam hal pemberdayaan sosial. Ulama memiliki tanggung jawab untuk memastikan kebijakan umara berdampak secara positif dan konkret bagi kemaslahatan umat secara umum. Reinterpretasi ini penting untuk meredam narasi delegitimasi ulama moderat yang belakangan santer dilakukan oleh kelompok radikal.

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago