Dari tahun ke tahun, masalah yang dihadapi oleh negeri ini hampir sama, yakni menguatnya polarisasi di tengah masyarakat akibat dari merebaknya ujaran kebencian dan segala turunannya. Muara dari semuanya, adalah masih massifnya politik identitas dimainkan oleh pihak-pihak tertentu.
Pilpers sudah berlalu, tetapi pola pikir dikotomik, yang membagi manusia menjadi ke dalam dua kubu yang bersitegang, masih saja dipelihara. Pilkada sudah selesai, tetapi dendam sebab jagoanya kalah masih bisa kita lihat jejaknya di media sosial. Politik identitas belum seutuhnya lenyap. Ia sedang dimainkan oleh oknum-oknum tertentu.
Selama ini, ia dijadikan sebagai senjata. Politik identitas ialah politik yang memisahkan saya versus anda, kami versi kamu, kita versus mereka. Seluruhnya terhalang dalam batas-batas yang ditentukan.
Di penghujung tahun ini, narasi dan logika biner itu semakin menguat. Batas-batas diciptakan. identifikasi siapa yang diterima (kami) dan siapa yang ditolak (mereka), dimunculkan.
Agama, ras, etnis, serta kepentingan ekonomi dan ideologis sering dijadikan sebagai pembatas dan pembeda. Akibatnya, fanatisme, kekerasan, konfrontasi, dan konflik tidak bisa dihindari.
Logika biner, membagi bangsa ini menjadi dua kelompok yang berlawanan: kami versus kamu, kawan versus lawan, pro versus anti- adalah narasi provokatif di media sosial.
Perbuatan yang membedakan individu/kelompok dengan yang lain dilakukan secara serentak, yang pada akhirnya keragaman masyarakat menjadi yang seharusnya menjadi nikmat, justru malah menjadi azab
Atas nama ideologi kelompok kami, sah untuk mencemarkan nama baik kelompok lain. Atas nama membela agama kami, dianggap absah untuk mencaci dan menghina agama orang lain,
Untuk memperoleh suara, simpati dan pengikut dalam jumlah besar, adalah hal yang wajar untuk menyebarkan hoax dan memprovokasi lawan. mengintimidasi dan memutarbalikkan isu dan peristiwa tertentu, seringkali dilakukan.
Identifikasi Narasi Kebencian
Kepentingan kelompok sektarian menjadi tujuan. Narasi kebencian bermunculan. Orang-orang yang dianggap sebagai “penggangu” kelompoknya, dihina, dilaknat, bahkan diserang.
Berbagai studi menunjukkan bahwa setidaknya ada empat narasi kebencian sepanjang tahun ini yang digunakan dalam konteks provokasi dan kebencian.
Pertama, wacana militansi yang mengajak masyarakat untuk membenci orang lain yang berbeda agama, ras, ras, pendapat, dan preferensi politik.
Kedua, narasi ketidakadilan. Narasi ini sering digunakan oleh pihak oposisi. Strategi kami sebagai pihak yang dizhalimi versus kamu sebagai pihak yang menzhalimi, sangat efektif dalam mendapatkan simpati publik.
Ketiga, intoleransi. Ini digunakan untuk merendahakan pihak lain dengan mencari keburukan, dan kesalahannya. Kesalahan itu diberitahukan kepada publik. Dengan alasan bahwa pihak lain memiliki kesalahan, maka penghinaan dan permusuhan terhadapnya adalah sah.
Keempat, narasi konspirasi. Jika ada kebijakan yang merugikan kelompok mereka, segara dimunculkan teori konpirasi, bahwa itu semua terjadi sebab pemerintah dan pihak-pihak tertentu telah berkonspirasi untuk “menggebuk” mereka.
2021 dan Perdamaian
Keempat narasi itu akan selalu ada. Memasuki tahun baru ini, tentu kita semua seharusnya mempunyai semangat baru untuk menghentikan narasi itu dan membersihkan media sosial kita dari ulah tangan-tangan kotor yang tak bertanggung jawab.
Narasi ini harus dihentikan. Kami kembali ke identitas nasional. Kembali kepada Pancasila, kita semua adalah saudara dan anak bumi Nusantara. Kita tanggalkan pakaian yang memisahkan kita selama ini, tidak ada lagi istilah saya adalah musuh kalian, kami lawan kamu, kita menentang mereka, semuanya telah melebur ke dalam ikatan persaudaraan.
Menenun perdamaian harus dimulai dari diri sendiri. Setiap orang harus terbuka. Beri ruang untuk orang lain. Kita harus menyadari bahwa bangsa ini bisa mandiri dan eksis hingga saat ini berkat kerjasama antar manusia.
Keterbukaan membutuhkan penekanan. Kita tidak boleh terjebak dalam identitas sektarian kita. Keegoisan harus dihilangkan. Kita melihat ke masa depan bersama.
Dengan membuka diri, keberagaman bukan azab, melainkan berkah yang harus dijaga. Kemajemukan Indonesia merupakan anugerah Tuhan yang harus kita lindungi bersama. Amanat itu harus dipenuhi. Jangan biarkan beberapa elemen rusak demi politik pragmatis.
Hidup untuk saling membina dalam hidup menjadi spirit dalam mengelola keberagaman dan perbedaan ras, agama, suku, budaya dan bahasa harus dijunjung tinggi.
Keanekaragaman itu bagaikan pelangi, indah dan menawan karena perbedaannya. Nusantara indah dan menawan karena dihuni oleh dua ratus lima puluh juta orang dari berbagai latar belakang.
Biarkan kami mencintai kamu dalam damai. Di tengah maraknya penegasian satu sama lain, Tenun perdamaian bagaikan oase di gurun pasir Mari kita melepaskan semua bentuk kepentingan ideologis kelompok sektarian. Mari saling berpelukan. Tinggalkan provokasi dan lawan setiap upaya yang memprovokasi. Kita semua adalah anak bangsa. Pancasila adalah payung bersama kita. Mari kita sambut tahun 2021 dengan damai dan gembira.
This post was last modified on 30 Desember 2020 7:00 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…