Narasi

Resolusi 2023: Bersih-Bersih dari Hoaks dan Politik Kebencian

Kita telah memasuki tahun 2023. Kita berharap, kita akan terbebas dari hoaks, adu domba, politik identitas, ujaran kebencian, fitnah, politisasi agama, intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Lebih-lebih tahun ini telah memasuki tahun politik jelang pelaksanaan pemilu 2024, pasti potensi politisasi kebencian dan identitas akan semakin besar.

Momentum politik ini, sungguh sangat mungkin dimanfaatkan oleh kelompok tidak bertanggung jawab untuk memecah-belah masyarakat dengan hoaks dan politisasi kebencian. Di sisi lain, menjelang tahun politik, ada juga kelompok radikal yang pasti akan memanfaatkan momentum untuk semakin unjuk gigi di secara masif menebar ideologi kebencian dan intoleran. Kemungkinan-kemungkinan tersebut perlu diwaspadai agar negara kita dapat bebas dari politisasi kebencian dan masuknya ideologi intoleran.

Sejarah mencatat, pada pemilu sebelumnya, banyak terjadi politisasi agama dan identitas, yang notabene menjadi sumbu yang dapat menyulut radikalisme dan terorisme. Saling tebar hoaks, fitnah, adu domba, dan ujaran kebencian. Tak jarang pula, orang-orang melakukan aksi radikal karena percaya dengan narasi politik pecah-belah yang marak beredar. Menunjukkan tindakan intoleransi. Menarasikan agama untuk melakukan fitnah dan kampanye hitam (black campaign). Semua itu dalam rangka menjatuhkan lawan politik sehingga dapat memenangkan kontestasi pemilu.

Harus dikaui, sebenarnya, dari narasi-narasi politisasi kebencian dan identitas tersebutlah, sebenarnya yang memecah-belah NKRI dan menumbuhkan bibit-bibit ideologi kebencian, perpecahan, kekerasan, dan intoleran semakin subur. Yang mana semakin memudahkan kaum-kaum radikal menunggangi kepentingan regenerasi kepemimpinan politik sebagai ajang infiltrasi ideologi kekerasan dan radikal.

Transformasi Cara Pandang

Tahun baru, kiranya penting menjadi momentum titik balik perubahan paradigma berpikir menjadi lebih baik. Kita, bukan hanya sibuk melangitkan harapan-harapan baru di awal tahun 2023 ini. Kita juga memperbaiki cara pandang untuk mewujudkan setiap harapan dan mengurai persoalan-persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Terutama terkait ancaman krisis, kekerasan, hoaks, adu domba, politik kebencian, radikalisme dan terorisme.

Dalam konteks tersebut, bangsa ini perlu melakukan reformasi politik menuju praktik demokrasi elektoral yang lebih beretika dan bermartabat. Praktik demokrasi yang berkualitas. Dimana kontestasi politik ditempuh untuk memilih pemimpin yang dapat menyelesaikan persoalan kebangsaan, bukan justru untuk memecah-belah NKRI.  

Sudah selayaknya kita meninggalkan gaya berpolitik lama yang mengandalkan sentimen fanatisme identitas. Mendulang suara dari rakyat dengan melakukan provokasi identitas. Memanfaatkan fanatisme yang membabi buta untuk kepentingan politik praktis, tanpa mempertimbangkan bahaya memobilisasi massa dengan fanatisme identitas dapat merusak relasi harmonis masyarakat.

Sudah saatnya kita hijrah dari model politik kotor yang penuh dengan hoaks dan ujaran kebencian menuju praktik demokrasi elegan yang berbasis pada kontestasi gagasan. Dalam konteks bernegara, gagasan untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan dan mensejahterakan rakyat, jauh lebih penting dibanding pemenangan suara dengan cara-cara kotor yang dapat mengadu-domba masyarakat.

Dari situ, pihak-pihak yang terlibat dalam kontestasi politik harus semakin cerdas dalam mewujudkan demokrasi yang bebas dari hoaks dan politik kebencian. Jangan sampai keberadaan sebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian justru semakin meningkat jelang pemilu. Ini karena sebaran informasi tersebut dapat meningkatkan segregasi sosial yang seharusnya kita hindari. Merusak hal-hal yang sesungguhnya menjadi cita-cita kemerdekaan. Menjadikan Indonesia sebagai negara yang aman dan tentram bagi setiap warga negara.

Maka itu, transformasi cara pandang terhadap informasi yang didapat juga penting untuk dimiliki. Agar, kita tidak terjebak hoaks dan politik kebencian. Ingat, tidak semua informasi itu pasti benar. Di era dimana informasi sangat mudah untuk dimanipulasi, kita jangan abai terhadap verifikasi kebenaran informasi yang kita dapatkan. Kita perlu berpikir skeptis atas informasi yang kita dapat. Memeriksa kebenarannya. Dan, tidak mudah membagikan berita bohong atau yang dapat memecah-belah.

Cara pandang terhadap informasi yang demikian ini penting agar kita tidak menjadi korban disinformasi yang dapat menghancurkan hubungan baik antarwarga negara. Yang dapat memanipulasi orang untuk melegalkan kekerasan, bertindak intoleran, diskriminasi, radikal dan teror. Informasi bisa menjadi anugerah, dan bisa menjadi petaka bagi bangsa. Bijak dalam memandang dan mengelola informasi akan menjauhkan kita dari bencana kebangsaan. Wallahu a’lam.

This post was last modified on 5 Januari 2023 3:05 PM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago