Indonesia, sebagai sebuah entitas bangsa-negara yang dibangun di atas fondasi pluralitas sosio-kultural yang luar biasa, tengah menghadapi tantangan subtil namun signifikan terhadap kohesi sosialnya. Data empiris mutakhir dari Survei Pemuda dan Media (PMD) 2024 mengindikasikan sebuah tendensi yang meresahkan di kalangan generasi muda, yakni preferensi untuk membangun interaksi sosial secara eksklusif dalam lingkaran identitas primordial, khususnya keagamaan.
Fenomena yang dapat dikonseptualisasikan sebagai “intoleransi pasif” ini—bukan penolakan aktif terhadap perbedaan, melainkan segregasi halus dalam praktik sosial—memiliki implikasi serius. Ia tidak hanya berpotensi menggerus modal sosial bangsa, tetapi juga menciptakan kerentanan psiko-sosial pada generasi muda terhadap infiltrasi narasi-narasi ekstremisme yang mengeksploitasi keterasingan dan kerapuhan identitas. Kondisi ini menuntut sebuah evaluasi kritis dan reorientasi mendasar terhadap paradigma pendidikan karakter dan toleransi yang selama ini diimplementasikan.
Keterbatasan Paradigma Pendidikan Toleransi Konvensional
Intoleransi pasif, meskipun tampak tidak berbahaya di permukaan, merupakan gejala disrupsi sosial yang laten. Dengan membatasi interaksi pada kelompok homogen, individu, khususnya generasi muda yang berada dalam fase formatif identitas, kehilangan kesempatan untuk mengembangkan empati interkultural dan kompetensi sosial lintas batas.
Ruang-ruang gema (echo chambers) yang tercipta secara tidak sengaja ini menjadi medium subur bagi stereotip, prasangka, dan, pada gilirannya, narasi radikal yang menawarkan identitas semu yang eksklusif dan antagonistik. Fenomena ini diperparah oleh lanskap digital kontemporer, di mana algoritma seringkali memperkuat bias konfirmasi dan memfasilitasi penyebaran ideologi pemecah belah secara masif dan cepat.
Dalam konteks ini, paradigma pendidikan toleransi yang dominan, yang kerap berfokus pada transfer pengetahuan kognitif mengenai keragaman atau indoktrinasi nilai-nilai normatif secara top-down, menunjukkan keterbatasan fundamental. Pendekatan semacam ini seringkali gagal menembus domain afektif dan konatif peserta didik. Pengetahuan tentang pluralisme acapkali berhenti pada tataran konseptual dan tidak terinternalisasi menjadi sikap mental (mindset) serta perilaku (behavior) yang inklusif dalam kehidupan nyata. Terjadi diskrepansi (ketidaksesuaian) antara pemahaman intelektual tentang toleransi dengan kapasitas dan kemauan untuk terlibat secara otentik dengan yang dianggap berbeda.
Kearifan Lokal sebagai Sumber Pendidikan
Sebagai respons terhadap keterbatasan tersebut, perlu dilakukan eksplorasi terhadap sumber daya endogen bangsa, yakni kearifan lokal. Kearifan lokal, dipahami sebagai akumulasi pengetahuan, nilai, norma, etika, tradisi, dan praktik sosial yang berkembang secara historis dan teruji oleh waktu dalam suatu komunitas partikular, merupakan gudang kekayaan kultural yang memiliki potensi cara mendidik luar biasa. Ia bukanlah sekadar artefak masa lalu, melainkan sebuah sistem pengetahuan vernakular yang dinamis dan relevan untuk membekali generasi muda menghadapi tantangan kontemporer. Mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam kurikulum dan praktik pendidikan menawarkan sebuah pendekatan yang lebih kontekstual, otentik, dan berakar.
Nilai-nilai kearifan lokal menemukan manifestasinya dalam berbagai praktik sosial. Semangat gotong royong, misalnya, dapat diterjemahkan dalam kegiatan kolaboratif lintas kelompok di lingkungan sekolah atau masyarakat. Prinsip musyawarah dapat diadopsi sebagai mekanisme pengambilan keputusan yang partisipatif. Studi kasus seperti perayaan Waisak yang melibatkan partisipasi atau penghormatan dari komunitas non-Buddhis di beberapa daerah menunjukkan bagaimana nilai tepa selira (tenggang rasa) beroperasi sebagai perekat kohesi sosial.
Lebih jauh lagi, relevansi kearifan lokal meluas hingga ke ranah digital. Nilai-nilai seperti etika berkomunikasi, kehati-hatian dalam menyebarkan informasi (tabayyun), dan sikap kritis merupakan kompetensi esensial bagi literasi digital yang bertanggung jawab di era disinformasi saat ini.
Menghadapi tantangan intoleransi pasif dan ancaman ekstremisme di kalangan generasi muda, Indonesia tidak dapat lagi mengandalkan pendekatan pendidikan toleransi yang bersifat superfisial. Revitalisasi dan integrasi strategis kearifan lokal ke dalam jantung sistem pendidikan nasional merupakan sebuah keniscayaan strategis. Pendekatan ini menawarkan jalur metode pendidikan yang lebih otentik, kontekstual, dan berakar untuk menumbuhkan pemahaman mendalam, sikap afektif yang positif, dan perilaku sosial yang inklusif. Ini adalah investasi jangka panjang untuk merawat tenun kebangsaan dan memastikan ketahanan sosial-kultural Indonesia di masa depan. Diperlukan komitmen kolektif dari para pemangku kepentingan pendidikan untuk mewujudkan paradigma baru ini.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman etnis, agama, budaya, dan bahasa yang luar biasa. Di…
Ada kecenderungan yang memprihatinkan di kalangan kaum muda generasi Z. Yakni fenomena eksklusivisme dalam berteman…
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai penghormatan kepada Ki Hajar…
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional. Sebuah momen untuk mengingat bagaimana…
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei adalah momentum tepat untuk melihat kembali kontribusi organisasi…
Pasca Reformasi, kita dihadapkan pada gelombang kemunculan organisasi paramiliter. Ormas paramiliter merujuk pada organisasi kemasyarakatan…