Narasi

Revolusi Santri Melawan Pembajak Agama

Tanggal 22 Oktober 2019, merupakan hari santri nasional yang harus kita rayakan, sekaligus menjadi semangat refleksi ideologis dalam melawan para pembajak agama. Santri harus menjadi aktor revolusi dalam melawan gerakan radikal yang berusaha melegalkan kekerasan dengan mengatasnamakan agama.  Revolusi santri yang akan kita pahami saat ini merupakan cara merealisasikan potensi agama dalam kehidupan umat manusia dalam pandangan  J. Wach dalam menciptakan: keadilan, perdamaian, kebersamaan, persatuan, dan menyampaikan esensi agama yang sebenarnya secara fungsi sosial.

Ada tiga konsep landasan teori J. Wach dalam studi agama yang memunculkan kerangka berpikir komprehensif tentang peran penting agama dalam kehidupan umat manusia. Pertama, tentang substansi agama sebagai sistem sosial. Kedua, agama sebagai paradigma kemajuan peradaban. Ketiga, sebagai tatanan nilai. Tiga kerangka teoretis semacam ini layaknya lebih kepada “mereduksi” bagian-bagian agama yang terfokus pada titik “fungsionalisme”.

Kita ketahui bersama, bahwa pembajak agama layaknya sebagai persepsi kosong dalam menampilkan agama ke dalam permukaan. Karena reduksi agama itu lebih kepada fungsi kebaikan untuk manusia. Sedangkan pembajakan agama hanya akan mengambil cangkang agama yang akan diisi oleh ruh kekerasan dan tipu daya. Dengan membuat konten bahwa semangat kekerasan itu berasal dari agama tersebut.

Baca juga : Kiai Ma’ruf Amin, Islam Moderat dan Pemberantasan Radikalisme

Refleksi kaum santri terhadap fenomena keagamaan yang justru saat ini menjadi alat pemecah persatuan. Seyogianya, apa yang disebut sebagai “fungsionalisme” agama, pada hakikatnya merupakan kebijaksanaan yang akan dieksploitasi dalam agama tersebut. Guna memunculkan ke dalam permukaan bahwa agama akan menjadi tonggak dari sistem sosial yang akan melapisi dan melindungi serta menjadi jalan solusi setiap persoalan sosial.

Maka jika kita mengaplikasikan hal semacam itu. Revolusi selanjutnya, atau adalah, bagaimana kita memunculkan ritual keagamaan yang secara pendekatan sosiologi, kita harus menjadi angin segar terhadap situasi sosial yang buruk agar berubah menjadi baik. Sehingga, masyarakat tidak akan pernah lugu dan mudah memahami bahwa praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama adalah pembajakan yang harus kita hindari dan dibasmi.

Kreativitas keagamaan kaum santri dalam hal peribadatan seperti; tahlilan, yasinan bersama, tasyakuran, berdoa bersama adalah bentuk semangat keagamaan yang sejatinya harus menjadi kekuatan besar dalam mengumpulkan masyarakat. Bahwa sesungguhnya, esensi dalam agama tersebut justru harus menjadi alat pemersatu, sistem kekeluargaan, dan pengikat batin antara individu-individu. Sehingga, apabila ada gerakan kekerasan  yang akan menghancurkan itu semua dengan mengatasnamakan agama, bahwa sesungguhnya mereka adalah pencuri yang harus diwaspadai. Karena mereka akan berusaha mencuri kebersamaan kita agar menjadi terpecah belah.

Kerangka teori fungsionalisme J. Wach dalam hal agama sebagai peran penting dalam menciptakan peradaban dan sistem tata nilai sebenarnya para santri telah mengambil peranan dalam kajian-kajian keislaman dan penerapannya dalam kehidupan masyarakat. Agama bagi kaum santri telah diposisikan sebagai jalan yang harus mengantarkan umatnya kepada kebenaran yang hakiki. Sedangkan dalam perjalanan tersebut, akan ada gangguan dan rintangan yang harus kita lalui. Salah satu rintangan yang muncul ke dalam permukaan adalah pembajakan agama tersebut. Hal ini dapat kita hentikan dengan mengorelasikan bagaimana kaum santri setiap ekspresi peribadatan harus menjadi nilai kebersamaan sosial, serta persatuan dalam membangun peradaban yang lebih baik.

Maka, revolusi santri adalah bagaimana mengisi semangat kembali tentang kepribadiannya yang dicetak menjadi pemuka agama yang akan muncul ke luar permukaan menjadi sistem tatanan sosial. Membangun kebersamaan dengan mendedikasikan setiap lelaku keagamaan. Artinya, sesuatu yang sakral dalam praktik kaum santri harus mampu menggerakkan hal-hal yang profane. Pembajak agama hanyalah pemalsuan data yang original dalam agama itu sendiri. Kita harus menjadikan santri sebagai aktor pembasmi dari setiap eksploitasi, pembajakan, dan kepentingan tertentu dengan mengatasnamakan agama.

This post was last modified on 22 Oktober 2019 1:47 PM

Saiful Bahri

View Comments

Recent Posts

Masjid Rasa Kelenteng; Akulturasi Arsitektural Islam dan Tionghoa

Menarik untuk mengamati fenomena keberadaan masjid yang desain arsitekturnya mirip atau malah sama dengan kelenteng.…

2 bulan ago

Jatuh Bangun Konghucu Meraih Pengakuan

Hari Raya Imlek menjadi momentum untuk mendefinisikan kembali relasi harmonis antara umat Muslim dengan masyarakat…

2 bulan ago

Peran yang Tersisihkan : Kontribusi dan Peminggiran Etnis Tionghoa dalam Sejarah

Siapapun sepakat bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia tidak didominasi oleh satu kelompok berdasarkan…

2 bulan ago

Yang Diskriminatif adalah yang Jahiliyah

Islam melarang sikap diskriminasi, hal ini tercermin dalam firman Allah pada ayat ke-13 surat al-Hujurat:…

2 bulan ago

Memahami Makna QS. Al-Hujurat [49] 13, Menghilangkan Pola Pikir Sektarian dalam Kehidupan Berbangsa

Keberagaman merupakan salah satu realitas paling mendasar dalam kehidupan manusia. Allah SWT dengan tegas menyatakan…

2 bulan ago

Ketahanan Pangan dan Ketahanan Ideologi : Pilar Mereduksi Ekstremisme Kekerasan

Dalam visi Presiden Prabowo, ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas utama untuk mewujudkan kemandirian bangsa.…

2 bulan ago