Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist attack. Eks-Kepala BNPT Komjen Pol. Prof. Mohammed Rycko Amelza Dahniel mengatakan, pencapaian tersebut merupakan hasil penegakan hukum oleh Densus 88, serta BNPT tentunya. Di tingkat global, capaian dikukuhkan melalui skor Indonesia dalam Global Terrorism Index (GTI) yang menurun dari peringkat ke-24 pada 2023 menjadi peringkat ke-31 pada tahun 2024, dan dikategorikan ‘low impacted by terrorism’.
Pemerintah jelas menyambutnya dengan optimisme. Menkopolhukam waktu itu, Mahfud MD, bahkan menjadikan zero terrorist attack sebagai indikator stabilitas nasional. BNPT pun menegaskan komitmennya mempertahankan kondisi zero attack demi pembangunan ekonomi, rekonsiliasi sosial, dan konsolidasi demokrasi. Narasi tersebut terus diamplifikasi dalam berbagai forum resmi, media, hingga laporan lembaga negara, dijadikan simbol stabilitas keamanan negara dari ancaman radikal-terorisme.
Tetapi, di balik konstruksi naratif itu, muncul pertanyaan yang jarang tersentuh: apakah zero attack berarti nihil ancaman? Apakah keamanan bisa disimpulkan semata dari statistik GTI? Sebab, secara ideologis, terorisme merupakan entitas adaptif yang mustahil menghilang dan hanya berevolusi. Tak sedikit kelompok teror telah bergeser ke strategi senyap: infiltrasi ideologi, radikalisasi daring, dan perluasan jejaring filantropi bawah tanah. Artinya, zero attack menjadi fase sunyi dari metamorfosis ancaman terorisme itu sendiri.
Laporan Europol, Terrorism Situation and Trend Report (TE-SAT) pada 2024 mencatat 120 insiden serangan teror di Uni Eropa sepanjang tahun, dengan serangan berbasis agama sebagai yang paling mematikan. Aksi kelompok teror kini banyak terfokus pada ideologisasi generasi muda, penguasaan ekosistem digital, serta gerilya sel tidur. Di Indonesia, pergeseran semakin jelas. Akhir Mei kemarin, Densus 88 menangkap teroris terafiliasi ISIS di Gowa, Sulsel. Inisialnya MAS, remaja 18 tahun yang menyebarkan ajakan teror melalui medsos.
Tantangan kontra-terorisme hari ini tidak lagi terletak pada kemampuan menindak, tetapi pada ketajaman mencegah. Di situlah letak ilusi narasi zero attack; ia memberi rasa aman yang justru berisiko melemahkan kewaspadaan. Radikalisasi tidak hilang, ia beradaptasi dengan pendekatan soft dan narasi keagamaan yang memikat. Pendanaan masih mengalir, residivisme meningkat, dan target utama mereka kini bukan serangan langsung, melainkan pembentukan ekosistem ideologis yang siap meledak sewaktu-waktu.
Karena itu, Indonesia butuh pendekatan preventif: mencegah potensi sebelum jadi ancaman, membaca skenario sebelum jadi realitas. Dua pendekatan strategis ditawarkan dalam tulisan ini: pertama, sadd al-dzari’ah sebagai prinsip ushul fikih; dan kedua, foresight intelijen sebagai kemampuan proyeksi pola dan arah evolusi terorisme. Tulisan ini akan mengulas integrasi kedua paradigma agar kontra-terorisme tak terjebak pada euforia statistik, serta menjelma nalar antisipatif dan kewaspadaan jangka panjang.
Reaktualisasi Sadd al-Dzari’ah sebagai Prinsip Kontra-Terorisme
Dalam diskursus ushul fikih, sadd al-dzari’ah merupakan prinsip preventif; menutup sarana (al-dzari’ah) kemudaratan sebelum kerusakan terjadi. Perkara yang mubah namun berpotensi jadi pintu kejahatan, hukumnya jadi haram karena sadd al-dzari’ah. Secara epistemis, itu sejalan dengan logika early detection, risk mitigation, atau preventive action yang notabene pendekatan kontra-terorisme modern. Sayangnya, sadd al-dzari’ah selama ini dibahas hanya dalam kajian fikih, tanpa diaktualisasi ke dalam kebijakan publik dan keamanan negara.
Padahal, jika ditelisik, sadd al-dzari’ah memiliki tiga fondasi yang relevan dengan tantangan terorisme saat ini. Pertama, logika preventif. Kedua, kewaspadaan terhadap celah-celah hukum atau sosial yang dapat dimanipulasi aktor jahat. Ketiga, legitimasi moral dalam mencegah mudarat terorisme. Ketiganya bisa diimplementasikan terhadap aktivitas yang secara hukum belum tentu melanggar, namun berpotensi mengancam masa depan. Contoh, halakah tertutup takfirisme, filantropi ke rekening abu-abu, dan sejenisnya.
Jika dalam kontra-terorisme banyak pencegahan dikritik karena dianggap ‘prematur’ atau ‘mengkriminalisasi niat, maka sadd al-dzari’ah bisa menjadi jembatan etis: memberikan legitimasi syar’i untuk mencegah aktivitas abu-abu yang akan membuka kran radikal-terorisme. Pendekatan preemptive seperti memantau ceramah daring, membubarkan pengajian radikal, atau membatasi diseminasi buku-buku ekstremis, juga sejalan dengan sadd al-dzari’ah selama dilandasi istidlal yang kuat dan bukan sekadar represif.
Prinsipnya, kontra-terorisme tak melulu harus bertumpu pada kekuatan koersif. Ia juga bisa ditopang pendekatan normatif berbasis maqashid al-syari’ah, yaitu menjaga jiwa, akal, agama, dan keamanan umat. Tentu, reaktualisasi sadd al-dzari’ah di Indonesia mesti mempertimbangkan struktur sosial-keagamaan yang kompleks. Banyak simpul radikalisasi tumbuh bukan dari organisasi formal, tetapi dari simpul kecil yang terkoneksi secara longgar melalui medsos, kelompok dakwah eksklusif, hingga lembaga filantropi.
Di situlah paradigma sadd al-dzari’ah memungkinkan negara dan masyarakat sipil mengenali pola penyimpangan dini sebelum jadi ancaman riil. Misalnya, pendalaman terhadap perubahan kurikulum kajian agama di tingkat grassroot, pola ujaran kebencian di grup WhatsApp eksklusif, atau analisis jaringan pendanaan ke luar negeri yang dibalut narasi amal. Semua itu tidak bisa ditindak melalui hukum positif karena tidak ada delik pidana, dan harus dicegah melalui paradigma kewaspadaan moral—sadd al-dzari’ah.
Dengan demikian, sadd al-dzari’ah tidak cukup dipahami hanya sebagai wacana fikih klasik, kecuali fikih akan menjadi diskursus yang kadaluwarsa. Sadd al-dzari’ah harus direaktualisasi sebagai paradigma berpikir dan kerangka kerja preventif dalam kontra-terorisme. Ia perlu dihadirkan untuk menutup peluang radikal-terorisme dari akarnya. Sebab, kontra-terorisme berbasis hukum positif belaka kerap terlambat; baru bekerja setelah aksi teror terjadi. Celah tersebut mesti ditutup melalui sadd al-dzari’ah.
Di tengah ilusi stabilitas yang ditawarkan narasi zero attack, paradigma sadd al-dzari’ah menjadi pengingat bahwa pencegahan radikal-terorisme murni wujud kewaspadaaan nasional, bukan paranoia. Penting diketahui, bahwa infiltrasi dan gerilya terorisme sama mudaratnya dengan aksi teror itu sendiri. Karenanya, reaktualisasi sadd al-dzari’ah merupakan keniscayaan yang Islam tawarkan. Ushul fikih menyebutnya sebagai dar’u al-mafasid wa jalb al-mashalih, yakni menolak segala mafsadat dan mengupayakan kemaslahatan.
Zero Attack Terrorism dari Kacamata Foresight Intelijen
Adalah menarik bahwa narasi zero terrorist attack telah menimbulkan euforia positif di kalangan pemerintah dan masyarakat. Kendati demikian, dari perspektif intelijen, nihilnya serangan teror tak otomatis mencerminkan menurunnya risiko. Foresight intelijen, yang berorientasi pada proyeksi ancaman jangka panjang dan identifikasi pola tersembunyi mengajarkan, tiadanya serangan boleh jadi justru sinyal bahaya ihwal fase evolusi dan konsolidasi kelompok radikal-teror secara sistematis dan gerilya.
Foresight intelijen adalah paradigma strategis yang sangat relevan saat ini. Ia mengintegrasikan analisis big data, pemetaan jejaring sosial, dan kajian tren sosial-politik untuk memprediksi potensi ancaman sebelum menimbulkan sesuatu yang destruktif. Dalam terorisme modern, paradigma foresight penting karena perubahan taktik teroris yang cenderung menghindari aksi-aksi populer dan lebih mengutamakan strategi infiltrasi ideologi, propaganda digital, dan kaderisasi untuk eksistensi jangka panjang mereka.
Indonesia perlu melihat zero attack sebagai zona nyaman yang berbahaya. Penangkapan Densus 88 di Gowa misalnya, menegaskan bahwa meskipun serangan fisik nihil, rekrutmen dan radikalisasi terus berlangsung intensif. Kelompok radikal-teror semakin mengandalkan platform daring untuk beraksi, dan memanfaatkan jejaring filantropi bawah tanah untuk pendanaan. Narasi zero attack mematikan kepekaan aparat dan masyarakat, memperbesar risiko serangan laten dan terorganisir suatu waktu.
Di situlah, foresight intelijen menuntut pengambilan keputusan berbasis early warning system (EWS), di mana pola komunikasi digital, perubahan perilaku sosial, dan jaringan keuangan dipersepsikan sebagai ancaman. Foresight mencoba mengantisipasi peluang tumbuhnya radikalisasi secara diam-diam. Karena itu, pengembangan kapabilitas foresight perlu mencakup sinergi antarlembaga intelijen, aparat penegak hukum, aparat siber, hingga kelompok masyarakat sipil yang bisa memberi wawasan sosial-budaya.
Paradigma foresight juga mengajak pemerintah dan masyarakat melihat radikal-terorisme sebagai proses dinamis yang berkelindan dengan variabel sosial-ekonomi dan politik. Sebagai contoh, eskalasi kesenjangan sosial dan politik identitas merupakan faktor pemicu radikalisasi. Foresight intelijen membuat pemerintah bisa mengidentifikasi hotspot sosial yang rentan, sehingga strategi kontra-terorisme terfokus pada aspek keamanan, integrasi sosial, dan penanganan akar masalah radikalisasi secara simultan.
Tentu, implementasi foresight intelijen sebagai paradigma baru kontra-terorisme di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, rendahnya integrasi data dan koordinasi antar-stakeholder yang menyebabkan fragmentasi informasi. Kedua, keterbatasan kapasitas SDM yang paham analisis data dan pengembangan sistem prediktif. Ketiga, dilema antara perlindungan privasi dan kebutuhan pengawasan ketat untuk mendeteksi gerilya daring radikal-teroris. Karena itu, reformasi kelembagaan perlu jadi prioritas strategis terlebih dahulu.
Integrasi prinsip paradigmatik sadd al-dzari’ah dan foresight intelijen akan melahirkan kerangka kontra-terorisme yang responsif, proaktif, dan prediktif dalam mencegah segala ancaman sebelum terjadi. Sinergisitas sadd al-dzari’ah dan foresight intelijen juga menawarkan paradigma kontra-terorisme yang holistis dan berkelanjutan. Mau negara ini berada di fase zero attack atau tidak, keduanya akan terus bekerja memantau dan memetakan. Sudah semestinya para stakeholder menerapkan itu sebagai paradigma kebijakan mereka.
Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…
Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…
Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…
Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…
Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…
Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…