Narasi

Sangkan-Paran, Ingsun, dan Kedaulatan

Tentang arti dari sebuah kedaulatan, barangkali Sri Sultan Hamengku Buwana I adalah salah satu sosok yang paling kentara dalam memperjuangkan dan kemudian meraihnya. Apabila sosok-sosok lain hanya cukup memperjuangkan dan kemudian meraih kedaulatan entah pada bidang politik, ekonomi, budaya, dsb., raja pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat itu nyaris memperjuangkan dan kemudian meraih kedaulatan di segenap lini kehidupan, termasuk agama dan spiritualitas.

Kita semua tentunya cukup paham tentang bagaimana sikap Pangeran Mangkubumi, sebelum menjadi sultan Jogja, terhadap segala bentuk penjajahan. Dari banyak catatan sejarah, anak Amangkurat IV itu tak sekedar ingin menjadi penguasa Jawa. Terdapat latar-belakang yang lebih kompleks dari sekedar keinginan untuk menjadi penguasa Jawa: martabat sebagai bangsa Jawa.

Namun, tak banyak yang paham bahwa tak sekedar kedaulatan politik yang sebenarnya diperjuangkan dan kemudian diraih oleh HB I. Dari berbagai warisan yang ditinggalkannya, kita pun paham bahwa raja yang banyak dilukiskan berambut gondrong itu ternyata juga membangun kedaulatan agama dan spiritualitas, yang dalam bahasa Mark Woodward, disebut sebagai “Islam Jawa,” salah satu varian Islam yang tumbuh di Nusantara (Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, 2004).

Kedaulatan agama dan spiritualitas itu tercermin dalam apa yang dikenal di Jogja sebagai “sumbu filosofi,” sebentuk tata ruang yang merupakan materialisasi dari konsep “sangkan-paraning dumadi.”

Memang, konsep sangkan-paranining dumadi bukan tanpa pijakan dalam agama Islam sendiri. Dalam tasawuf atau sufisme konsep itu setara dengan prinsip “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” dengan segala isi yang melengkapinya.

Namun, di tangan seorang Pangeran Mangkubumi, konsep sangkan-paran itu justru menjadi daya hidup dan letak martabat dari seorang manusia atau Pribadi. Maka, tak mengherankan kenapa sang pangeran sampai mesti menghabiskan masa mudanya dalam perang terhadap segala bentuk perendahan dan penjajahan.

Martabat diri, Pribadi, atau “Ingsun” yang terendap dalam konsep sangkan-paran itulah yang sebenarnya lebih melatari upaya-upaya penegakkan kedaulatan dalam sejarah peradaban Jawa, mulai dari perlawanan Siti Jenar-Ki Ageng Pengging hingga raja-raja Mataram. Karena itulah kenapa secara moral di Jogja itu peran dari seorang ksatria-pinandita lebih banyak dihargai daripada peran dari seorang pandita semata, yang oleh Ronggawarsita diungkapkan dengan kata-kata bahwa “dzating manungsa” lebih tua daripada “sipating Allah.”

Dengan demikian, berbicara tentang kedaulatan, yang sejatinya sudah melekat sejak manusia dilahirkan, pada dasarnya adalah berbicara tentang hakikat dari seorang manusia yang senantiasa terbingkai dan terpendam oleh berbagai konteks yang menyertainya: politik, ekonomi, kebudayaan, agama, dsb.

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Anak di Peta Digital: Merebut Kembali Ruang Bermain dari Ancaman Maya

Dalam rentang dua dekade, peta dunia anak-anak telah bergeser secara fundamental. Jika dahulu tawa dan…

11 jam ago

Bangsa Indonesia Tidak Boleh Merasa “Menang” dari Aksi Teror

Sejak awal dipublikasi pada 2023 hingga hari ini, narasi zero terrorist attack memang tidak bisa…

12 jam ago

Teror tanpa Bom : Ancaman Sunyi Melalui Soft Propaganda

Perubahan signifikan tengah terjadi dalam lanskap gerakan terorisme di Indonesia. Jika pada dua dekade pertama…

12 jam ago

Bagaimana Roblox sebagai Socio-Digital Bisa Menjadi Begitu Mencekam?

Pada Januari 2025, seorang pria bernama James Wesley Burger menggunakan Robloxuntuk secara terbuka menyiarkan ancaman…

1 hari ago

Kewaspadaan Kolektif: Menjaga Fondasi NKRI dari Terorisme Digital

Laporan Global Terrorism Index (GTI) 2024 yang menempatkan Indonesia pada status zero attack selama dua…

1 hari ago

Dari Warhammer ke Roblox; Visualisasi Ekstremisme di Semesta Gim Daring

Isu terkait penggunaan gim daring (online game) sebagai sarana terorisme sebenernya bukan hal baru. Maka,…

1 hari ago