Dhalang puniku Ingsun
Tanpa cempala yaga lan ringgit
Tanpa kothak keprak sindhen puniku
Tanpa kelir debog dudu
Punapa dene belencong
Sapa sira sapa Ingsun
—Sapa Sira, Sapa Ingsun, Heru Harjo Hutomo
“Jawa,” atau “menjadi Jawa,” pada dasarnya adalah tak sekedar memakai blangkon, bertingkah-laku yang penuh dengan subasita (sopan-santun), tahu diri akan jejer, dsb., meskipun ini semua memang tak dapat dilepaskan dari apa yang dirujuk dari kata-kata ataupun istilah “Jawa.”
Dalam tahap pembelajaran, orang memang butuh apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera untuk kemudian ditimbang oleh rasa dan disepakati oleh nalar. Namun, celakanya, proses pembelajaran seperti ini terkadang kandheg atau berhenti pada satu tahap belaka yang kemudian dari perolehannya itu digunakan untuk menilai segala hal, sebagaimana “Islam” ataupun “menjadi Islam” di era kolonial.
Awal abad ke-19, dalam sejarah peradaban Islam, merupakan sepotong abad yang tampak mulia dan berkemajuan namun bengis dan terbukti mewariskan berbagai masalah kontemporer: radikalisme-terorisme, krisis identitas dan karakter kebangsaan, HAM, krisis ekologis, dst.
Abad itu adalah abad dimana, di samping kolonialisme Barat pada bangsa-bangsa non-Barat, ide-besar semacam khilafah dipoles sedemikian rupa menjadi “pan-Islamisme,” “universalitas Islam,” “persatuan Islam,” “pembaharuan,” “modernitas,” “berkemajuan,” “protestanisasi etika” (kapitalisme), dan seruan “kembali pada Qur’an-Sunnah” yang pada praktiknya mengacu pada pemaksaan sebuah “habitus” (dunia mental yang memengaruhi dunia fisikal ) yang sama sekali asing—serasa meluhurkan orang yang bukanlah leluhurnya sendiri atau menjadi “anak-cucu tiri.”
Saya kira, “Jawa” atau “menjadi Jawa,” adalah ketika orang beranjak dari yang partikular ke yang universal dan kemudian ke yang tunggal atau yang dikenal sebagai “pribadi” yang memangku baik yang partikular maupun yang universal. Taruhlah raga atau kanuragan, yang kemudian beranjak pada yang batin atau kebatinan, dan kemudian berakhir pada kasampurnan.
Jadi, universalitas ala Jawa bukanlah sebagaimana universalitas yang pernah diusung oleh modernisme-Barat atau bahkan Islam-Pembaharuan—yang sama-sama pernah membasmi partikularitas—yang sudah habis diluluhlantakkan oleh postmodernitas. Universalitas semacam itu hanyalah satu tahap saja sebelum proses identifikasi diri kembali pada yang “partikular-namun-plus” (Pribadi).
Jadi, pada tahap kasampurnan itu, “Jawa” atau “menjadi Jawa” adalah menjadi pribadi yang mampu untuk “manjing ajur-ajer” atau memiliki kemampuan untuk melebur tanpa kehilangan dirinya sendiri yang adalah Pribadi, ataupun meleburkan diri yang lain yang pada dasarnya jugalah Pribadi.
Cukup berbeda dengan ide “ukhuwah global” ataupun “persatuan muslim” yang hari ini merebak kembali untuk menyikapi konflik di Sudan. Ide-ide semacam itu adalah gorengan lama atas ide “Islam” atau “menjadi Islam” di era kolonial yang sudah terbukti merupakan sebentuk pembasmian pada yang partikular atas nama yang universal.
Sebab, universalitas di situ pada dasarnya adalah sebentuk partikularitas yang dipaksakan pada partikularitas yang lain. Inilah sebenarnya hakikat dari “menjadi modern” atau “berkemajuan” sekaligus, pada tahap tertentu, “menjadi Islam.”
Sudah kita sepakati bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi pemersatu bangsa Indonesia. Oleh karenanya kita harus…
Konsep i’dād, atau persiapan kekuatan, dalam diskursus keagamaan sering kali dilepaskan dari konteks historisnya. Gambaran…
Dalam beberapa minggu terakhir, Sudan kembali dilanda perang saudara yang melibatkan militer dan kelompok paramiliter…
Perang fisik yang terjadi di banyak negara saat ini, menginspirasi munculnya kontestasi ideologi di dunia…
Darah kembali tumpah di Sudan, mengalir membasahi tanah El-Fasher yang sarat sejarah. Nyawa manusia bergelimpangan…
Dalam beberapa tahun terakhir, narasi tentang “persatuan global umat Islam” kembali menggema di ruang publik,…