Kebangsaan

Kejawen, Kasarira, dan Pudarnya Otentisitas Keberagamaan

Menggah dunungipun iman wonten eneng

Dunungipun tauhid wonten ening

Ma’rifat wonten eling

Serat Pengracutan, Sultan Agung Hanyakrakusuma

 

Adakah, di hari ini, keberagamaan yang benar-benar beragama yang sesuai dengan agamanya, atau beragama secara otentik?

Kierkegaard, seorang filosof eksistensial pertama di Barat, pernah menyangsikan otentisitas keberagamaan pada zamannya. Banyak orang beragama seperti sekedar memperlakukan agamanya sebagai sebuah trend ataupun gaya hidup, yang ketika melakukan atau tak melakukannya seolah-olah memiliki konsekuensi sosial tertentu.

Namun, tentu saja tilikan Kierkegaard itu berseberangan dengan trend filsafat dan kebudayaan yang menempatkan otentisitas adalah sekedar ilusi. Sebab, ternyata ada banyak faktor yang menyebabkan seorang anak manusia tak benar-benar tampak otentik: konstruksi bahasa, konstruksi sosial, konstruksi mental, dsb.

Celakanya, trend filsafat dan kebudayaan yang terakhir itulah yang sampai hari ini meraja. Kita banyak melihat bagaimana di zaman ini agama beserta dengan segala simbolnya dapat dengan mudahnya dicacimaki, direndahkan, dan ditertawakan, hanya karena idealitas dalam beragama tak pernah sebangun dengan realitasnya: kyai-kyai koruptor, nyai-nyai hedon, ustadz-ustadz seksis, pesantren-pesantren yang seolah-olah mempraktikkan buku “Discipline and Punish”-nya Michel Foucault, agamawan-agamawan manipulator yang menggunakan agamanya untuk mendukung “ketakumuman”—untuk tak menyebutnya “dosa”—yang akan atau tengah dilakukan, dan habitat keagamaan  yang mencoba mengimitasi sebentuk habitat yang jauh dari jangkauan, habitat kebangsawanan yang memang secara historis, kebudayaan mayor, dan formal memiliki kekuasaan.

Ketika kasusnya adalah demikian, maka gugatan dari seorang Kierkegaard itu masihlah tetap relevan, terlepas apakah kemudian otentitas keagamaan itu dapat juga menyurung pada sebentuk radikalisme.

Nyaris senada dengan Kierkegaard, kebudayaan Jawa pernah menyuguhkan konsep keberagamaan yang tak sekedar otentik ataupun artifisial sebagaimana yang banyak terjadi di hari ini. Konsep keberagamaan itu disebut dengan istilah “kasarira” yang meletakkan diri (keutuhan antara lahir dan batin) sebagai agama itu sendiri.

Taruhlah dalam Serat Pengracutan Sultan Agung, yang meletakkan iman dalam diam (eneng), tauhid dalam keheningan (ening), dan ma’rifat dalam sadar (eling), yang saya hunjamkan pada tubuh yang diam, hati yang bening, dan akal-budi yang berkesadaran.

Maka, ketika kebudayaan Jawa meletakkan agama sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dari diri (sarira atau keutuhan lahir dan batin), tentu orang sudah tak lagi berurusan dengan masalah otentisitas ataupun artifisialitas di sini.

Kasarira itulah yang dalam bahasa agama (Arab) dikenal sebagai hakiki atau bahkan kaffah (yang celakanya kerap diartikan juga sebagai sebersit aspirasi atapun sebentuk kondisi politis). Tiliklah segala tetek-bengek yang diasosiasikan berkaitan dengan Islam, bukankah semuanya itu bermuara pada sarira yang ketika melakukan segala tetek-bengek itu adalah dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan bukan lagi atas dasar hal-hal ekternal lainnya?

Dan ketika agama itu sudah kasarira, ketika pun terdapat otentisitas di dalamnya, tak akan menyurung pada sebentuk radikalisme. Sebab jelas, radikalisme bukanlah buah dari tubuh yang diam, hati yang bening, dan akal-budi yang berkesadaran.

This post was last modified on 19 Oktober 2025 9:34 AM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

2 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

2 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

2 hari ago

Belajar dari ISIS-chan dan Peluang Kontra Radikalisasi neo-ISIS melalui Meme

Pada Januari 2015, sebuah respons menarik muncul di dunia maya sebagai tanggapan atas penyanderaan dan…

3 hari ago

Esensi Islam Kaffah: Menghadirkan Islam sebagai Rahmat

Istilah Islam kaffah kerap melintas dalam wacana publik, namun sering direduksi menjadi sekadar proyek simbolik:…

3 hari ago

Delegitimasi Tradisi Pesantren; Membongkar Taktik Manipulatif Kaum Salafi Wahabi Mengadudomba Umat Islam

Jagad media sosial, terutama X heboh oleh unggahan tagar "Boikot Trans7". Tanda pagar itu muncul…

4 hari ago