Narasi

Semangat Persatuan Bangsa, Menolak Rasisme

Undang-undang “Negara-Bangsa” Israel diniali oleh para analis sebagai undang-undang berbau rasis. Penempatan identitas Yahudi di atas prinsip-prinsip demokrasi bangsa berpotensi mengucilkan lebih lanjut minoritas Arab sebagai pemilik sah tanah Palestina. Padahal, hampir 70 tahun orang Arab telah mengalami diskriminasi. Belum lagi, undang-undang yang didukung oleh 62 anggota parlemen dan ditolak oleh 55 anggota ini juga menghapus Bahasa Arab dan mengganti dengan Bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi satu-satunya.

Di dalam Keadilan dan Perdamaian, “rasisme”, menurut Thompson (2009), adalah suatu keyakinan akan superioritas rasial. Sekali keyakinan itu diajarkan dan ditanamkan dalam kesadaran dan struktur budaya seseorang, sangat sulit untuk mengubahnya. Karena superioritas rasial adalah suatu kepercayaan dan buka sesuatu yang faktual, maka superioritas rasial cenderung kebal terhadap fakta-fakta yang bertentangan dan selektif dalam merefleksikan pengalaman.

Dengan kata lain, tindak rasisme merupakan sebuah penyakit dalam bangunan bangsa yang dihuni oleh beragam golongan. Maka menjadi sangat menarik manakala kita melihat bangsa Indonesia yang memiliki masyarakat dengan berbagai latar belakang (perbedaan suku, ras, agama, dan antargolongan), namun bisa menjaga keberasamaan dan kekompakan. Bahkan, dengan berbekal persatuan bangsa, Indonesia mendapat anugerah kemerdekaan dari Allah SWT.

Semangat persatuan yang dibangun oleh masyarakat Indonesia ini bukan saja dilakukan ketika “genting” melawan penjajah. Lebih dari itu, semangat persatuan terus dikobarkan, bahkan menjadi salah satu semboyan bangsa. “Bhineka tunggal ika” merupakan adagium yang melekat pada diri setiap warga negara Indonesia.

Agama Islam sendiri juga melarang akan adanya pengkotak-kotakan status manusia. Di dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan, jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.” (QS. Al-Hujurat: 11).

Senada dengan ayat tersebut, pada surat yang sama, Allah SWT juga berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat: 13).

Bermula dari sinilah, selain mengecam akan adanya undang-undang yang berbau rasis, kita juga mesti memupuk semangat persatuan yang ada. Adanya kepentingan pada setiap golongan itu pasti ada. Namun demikian, kepentingan dalam setiap golongan tidak harus menggoyahkan semangat persatuan yang ada. Bahkan, dengan adanya persatuan dengan golongan lain, justru akan memperkuat serta mempercepat keberhasilan kepentingan yang dimiliki setiap golongan.

Sebaliknya, jika perbedaan fisik masyarakat menjadi alat pemecah-belah, maka bukan hanya kepentingan bersama yang akan terbengkelai, namun juga kepentingan rumah tangga dalam setiap kelompok juga tidak akan terpenuhi. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan karena pada dasarnya manusia memiliki ketergantungan kepada yang lain. Perbedaan yang ada bukan bermaksud untuk bertikai melainkan untuk saling melengkapi. Perbedaan yang ada akan menutup kekurangan yang lain. Dan, semua itu akan bisa terwujud manakala satu kelompok dengan kelompok lain terus menjaga persatuan dan saling menghormati perbedaan yang ada.

Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

24 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

24 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

24 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

24 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago