Narasi

Spirit SU 1 Maret; Meneguhkan Pancasila dan Memerangi Agresi Radikalisme

Peristiwa Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 mempunyai nilai yang sangat berarti, setidaknya dapat dijadikan spirit memerangi agresi radikalisme di tanah air. SU 1 Maret tersebut telah memberikan pemahaman kepada bangsa Indonesia bahwa negara ini didirikan dan diperjuangkan melalui proses berdarah-darah yang tidak mudah. Para pahlawan, memperjuangkan peluh, harta dan benda, bahkan nyawa demi mempertahankan keutuhan NKRI.

Esensi penting dari SU 1 Maret yang patut kita refleksikan dalam kehidupan berkebangsaan di antaranya ialah semangat gotong royong. Jika dulu SU I Maret, para pemimpin dan pasukan bersatu melawan penjajah. Maka sekarang sudah saatnya gotong royong tersebut kita aktualisasikan untuk melawan segala bentuk radikalisme dan diferensiasi ideologi transnasional.

Untuk mengaktualisasikan spirit gotong royong tersebut, satu-satunya jalan adalah bagaimana kita mengamalkan secara kaffah nilai-nilai Pancasila. Kita harus yakin melalui Pancasila akan membuat bangsa Indonesia ini tidak mudah tergulung oleh gelombang radikalisasi ataupun ideologi transnasional. Dengan pengamalan Pancasila secara kaffah dalam kehidupan berkebangsaan tentu akan menghadirkan iklim kehidupan yang penuh dengan toleransi dan mengeliminir fanatisme sempit.

Karenanya, perlu dipahami dan diamalkan apa yang pernah dikatakan oleh Sukarno, bahwa Pancasila bukan hanya sebagai “meja statis” yang menyatukan seluruh elemen bangsa, tetapi juga “leitstars dinamis” bintang penuntun yang memberikan orientasi masa depan cerah bangsa Indonesia. Keberagaman bangsa ini sejatinya adalah modal sosial dan benteng yang kokoh guna membendung arus radikalisme. Dengan bersatu padu tentunya akan sangat mudah melumpuhkan berbagai gerakan radikalisme, termasuk yang berlabel agama (Hariyono, 2019).

Pancasila sebagai perekat simpul kebangsaan sekaligus spiritualitas bangsa perlu diarusutamakan secara cerdas dan visioner (Hariyono, 2019). Usaha merajut dan merawat persatuan bangsa harus dilakukan terus menerus. Sebagaimana diungkapkan Driyarkara dalam Simposium “Kebangkitan angkatan 66” tahun 1966 di Jakarta, “Kita jangan lupa bahwa Pancasila adalah soal perjuangan”

Kemudian, dinyatakan pula bahwa “Pancasila tidak kita warisi dari nenek moyang kita menurut Hukum Mendel. Pancasila adalah soal keyakinan dan pendirian yang asasi. Pancasila tidak akan bisa tertanam dalam jiwa kita jika kita sendiri masing-masing tidak berjuang. Baik untuk masyarakat dan negara maupun untuk setiap individu, usaha penanaman Pancasila harus berjalan terus-menerus, tak ada hentinya. Tak seorang pun akan menjadi Pancasilais kalau dia tidak membuat dirinya Pancasilais. Negara kita tidak akan menjadi negara Pancasila jika kita tidak membuatnya terus menerus” (Sudiarja, dkk., 2006).

Oleh karenanya, sudah saatnya melalui spirit SU 1 Maret ini, kita kembali pada basis legitimasi sekaligus misi luhur kehidupan berkebangsaan. Menggali dan mengaktualisasikan Pancasila dengan melestarikan serta mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap ruang-ruang kehidupan. Nilai-nilai luhur Pancasila harus betul-betul selalu menyala di dalam jiwa bangsa ini.

Pancasila merupakan inti kebudayaan bangsa Indonesia, atau meminjam istilah Ricouer “ethico-mytical nucleous” yang biasa menjadi “central point of references”. Dengan demikian Pancasila dapat menjadi sumber inspirasi dan pedoman moral dalam kehidupan berkebangsaan. Merajut ukhuwah kebangsaan, merawat persatuan bangsa, dan menjunjung tinggi Pancasila serta mengamalkan nilai-nilai luhurnya menjadi keniscayaan dalam membangun iklim kebangsaan yang damai. Kita harus bersatu untuk membangun kebangsaan yang sehat dan menuju bangsa yang maju, aman, dan sejahtera tanpa adanya radikalisme.

Nilai-nilai pancasila juga harus kita hadirkan dalam dunia maya. Apalagi, di masa pandemi ini kita banyak bersinggungan dan komunikasi melalui ruang maya. Yang patut kita waspadai jangan sampai kita terhasut oleh doktrin ekstremisme yang merebak di ruang-ruang virtual. Sudah saatnya spirit SU 1 Maret ini menjadi pelecut kita untuk terus bergerak melawan agresi radikalisme, ekstremisme, dan ideologi transnasional.

This post was last modified on 1 Maret 2021 3:51 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

2 hari ago

Beragama dalam Ketakutan: Antara Narasi Kristenisasi dan Persekusi

Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…

2 hari ago

Bukti Nabi Sangat Menjaga Nyawa Manusia!

Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…

2 hari ago

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

3 hari ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

3 hari ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

3 hari ago