Indonesia sebagai negara majemuk dengan beragam suku, ras, agama dan antar golongan (SARA) telah menjadi contoh baik dalam pengelolaan masyarakat multikultural. Keragaman bangsa ini menjadi modal yang sangat berharga dalam merajut bangsa yang besar. Namun, keragaman adalah tantangan karena menyimpan kerentanan berupa bom waktu yang setiap saat bisa meluluhlantahkan persatuan.
Indonesia telah mengalami pengalaman tragis dari konflik bernuansa SARA di masa lalu. Tragedi 1998 sebagai gerbang reformasi di Indonesia menyisakan kenangan pahit dari konflik, kekerasan dan bahkan kebrutalan. Isu sentimen etnis Thionghoa dan pribumi digoreng manis menjadi ledakan kekerasan dan penjarahan yang sangat merugikan bangsa. Tidak jauh dari momen tersebut, 1999 agama dieksploitasi di Ambon yang meruncingkan umat Islam dan Kristen dalam konflik yang mengenaskan. Pembakaran, kerusuhan, dan kekerasan telah banyak merenggut korban.
Tidak selang lama, identitas suku dan etnis dimainkan sebagai biang konflik. Suku Dayak dan Madura berhasil diadu domba dalam racikan konflik etnisitas yang sangat memilukan sepanjang sejarah bangsa ini. Tahun 2001, pulau Kalimantan mencekam dengan tragedi konflik yang sebenarnya dipicu konflik individual yang dikonversi menjadi konflik komunal. Konflik SARA yang tidak kalah pentingnya adalah konflik kelompok mainstream dan sempalan dalam suatu agama. Konflik umat Islam dengan Sy’iah dan Ahmadiyah telah menjadi bagian kelam dari sejarah kerukunan umat beragama. Terakhir, konflik antar golongan yang melibatkan pemerintah dengan kepentingan kelompok politik tertentu seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Operasi Papua Merdeka.
Konflik itu menggiring masyarakat pada satu kegagahan simbol dan identitas tertentu dengan melupkan identitas bangsa. Karena itulah konflik dan kekerasan yang melibatkan isu SARA berpotensi memecah belah persatuan bangsa dan menghancurkan kedaulatan negara. Mungkin masih ingat dengan negara Yugoslavia yang dikenal dengan ragam etnik, agama dan budaya. Negara ini kini tinggal kenangan karena konflik etnis, perang saudara dan benturan antar golongan yang tidak bisa dibendung dan dikelola dengan baik. Lihat contoh terdekat ketika Irak dan Suriah yang mengalami kekacauan hingga saat ini karena kemelut politik domestik yang memanfaatkan perang sekterian.
Jika kita membayangkan konflik SARA di masa lalu banyak terjadi karena konflik yang diawali dengan berita, gosip, provokasi dan sentimen yang dikuatkan dari mulut ke mulut, lalu bagaimana dengan kondisi kemudahan informasi saat ini. Dunia maya telah menjadi ruang baru tidak hanya sebagai ruang mendapatkan informasi positif tetapi juga berkeliaran konten negatif tanpa kontrol. Semua orang bisa berbicara dengan bebas bahkan tanpa etika dan moral yang bertanggungjawab.
Isu SARA mudah dilontarkan tidak hanya orang awam bahkan seorang publik figur mudah menyebarkan konten yang menggiring sentimen kelompok di dunia maya. Masyarakat yang sangat multikultural seperti bangsa ini butuh penguatan ikatan yang memperkokoh persatuan, bukan lontaran emosional yang dapat memecah belah masyarakat.
Kenapa konflik SARA menjadi mudah diledakkan karena sedimen konflik telah lama ada melalui sentimen dan stereotif yang telah lama tertanam menjadi sebuah kebenaran dalam interaksi sosial. Sentimen dan stereotip ini mudah timbul kepermukaan jika lontaran isu SARA berkeliaran liar di ruang maya tanpa filter dan kontrol.
Karena itulah, butuh gerakan nasional yang komprehensif dalam membentengi masyarakat dari ragam isu SARA di dunia maya. Pertama, proses dialog harus menjadi garda depan dalam etika pergaulan di dunia maya dan dunia nyata. Dialog dan silaturahmi antar suku, etnis, dan agama merupakan kunci kerukunan bangsa.
Kedua, penegasan persaudaraan antar bangsa harus dikokohkan kembali. Bangsa ini memang terdiri dari ragam suku, etnis, bahasa, agama dan keyakinan, tetapi ikatan primordial tersebut tidak bisa mengalahkan ikatan persaudaraan sebagai satu bangsa dan negara.
Ketiga, gerakan nasional cerdas di dunia maya. Jangan mudah termakan informasi yang bertebaran di dunia maya. Sikap kritis, verifikasi, dan pembandingan sumber dan konten menjadi penting untuk tidak mudah tergerus konten sentimen SARA di dunia maya.
Ayo cerdas di Dunia Maya
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…