Budaya

Syawalan Sebagai Damai: Pesan Untuk Agen

Hajatan besar pasca lebaran Idul Fitri adalah ritual syawalan. Satu istilah yang sangat populer di masyarakat Indonesia. Syawalan, halal bi halal, silaturahim, pertemuan keluarga, bani atau trah, semuanya sangat familiar di telinga kita. Istilah-istilah tersebut merupakan satu ekspresi istilah yang berisikan saling bermaaf-maafan, saling jumpa dengan keluarga besar atau rekan kerja.

Setelah berpuasa menahan hawa nafsu dan menahan makan minum selama 1 bulan penuh, setelah menempa sensivitas diri dengan menunjukkan empati kepada kelompok mustadh’afin yang kelaparan,  setelah menunjukkan kepedulian kepada sesama muslim dengan bentuk menunaikan zakat fitrah, maka momen bulan syawal adalah momen untuk bermaaf-maafan, momen untuk bercanda ria dengan keluarga, momen untuk kembali berjumpa dengan keluarga yang telah jauh, jarang bertemu, dan tentu momen untuk melepas rindu. Sungguh satu ritual tahunan nan maha indah!

Tidak hanya masyarakat yang melaksanakan hal ini, kantor pemerintahan melaksanakan ritual syawalan dan halal bi halal, perusahaan juga tak kalah, bahkan presiden Jokowi menggelar open house untuk menandai momen ini.

Saya melihat syawalan atau halal bi halal ini memiliki beberapa signifikansi, pertama, sebagai ajang untuk salng bermaaf-maafan. Saya sering melihat dan mendengar cerita dua orang yang bertengkar dan tidak saling tegur sapa, lalu untuk mulai menyapa menunggu momen lebaran/syawal  untuk bermaaf-maafan.

Kedua, sebagai ajang untuk melepas rindu dan tanya kabar mengenai keberadaan sanak kerabat. Orang Indonesia rela bermacet-macet ria di jalanan untuk ini. Yang tidak kalah unik adalah orang Indonesia berani bayar mahal untuk ini, rela menabung sedari jauh-jauh hari untuk ini!

Ketiga, sebagai sarana mengakrabkan kembali antara yang kaya dengan yang menengah, serta yang miskin; antara yang muda dengan yang tua, antara atasan dan bawahan. Momen syawalan merupakan momen untuk mencairkan suasana yang agak kaku, senggang, menghilangkan keseganan karena orang itu atasan atau bawahannya.

Dalam tradisi syawalan, ritual yang lazim biasanya sekelompok orang baik keluarga besar, penduduk satu RT atau kampung, dan kawan/rekan kerja berkumpul bersama di suatu tempat. Tradisi umumnya memang agak formal, yakni dengan mengundang seorang penceramah untuk mengisi kegiatan syawalan ini. Petuah-petuah ustadz, kyai  atau yang saya sebut sebagai agen ini umumnya berisikan tentang makna syawalan dan pentingnya silaturahim.

Sampai pada titik ini kemudian saya melihat pentingnya agen sebagai juru damai. Semua orang mengetahui bahwa momen syawalan adalah momen silaturahim dan bermaaf-maafan. Namun yang juga patut dan perlu ditekankan, di samping dua hal di atas adalah bahwa momen syawalan sebagai momen untuk mengetahui keberadaan sanak keluarga kita secara lebih dekat.

Syawalan adalah salah satu mekanisme kontrol aktivitas keluarga dan perkembangannya. Jika ada salah satu kerabat yang tidak hadir di acara ini, maka, agen perlu mengingatkan sanak famili/kerabat yang hadir untuk menjenguknya, mungkin dia tidak hadir, misalnya, karena ada yang masih mengganjal dengan keluarga lain.

Agen perlu juga untuk selalu menyampaikan bahwa syawalan adalah momen kembali ingat untuk menjaga kerukunan, keakraban, dan keutuhan keluarga besar. Jika dalam konteks syawalan di level keluarga besar tingkat kampung atau RT, adalah pentingnya menjaga kerukunan antar tetangga, kesolidan dalam melaksanakan kegiatan, kerja bakti, ronda, ataupun bentuk gotong royong yang lain.

Membangun sikap saling hormat menghormati dan menjaga kerukunan merupakan satu pesan yang wajib diulang-ulang oleh setiap agen, baik ustadz atau kyai, sehingga pesan itu seperti iklan yang berulang-ulang di televisi yang nantinya orang akan sulit untuk melupakannya. Dari sini, para agen akan menjadi juru damai yang efektif dalam memoderasi dan merawat tradisi dan kultur guyub, rukun dan membangun sikap tenggang rasa.

Saifuddin Zuhri Qudsy

Staf Pengajar Prodi Ilmu Hadis, Fak. Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Share
Published by
Saifuddin Zuhri Qudsy

Recent Posts

Dari Suriah ke Sudan; Bagaimana Ekstremis Mengeksploitasi Konflik Sosial-Politik?

Ibarat kendaraan bermotor, gerakan ekstremisme juga butuh bahan bakar. Jika mobil atau motor bahan bakarnya…

13 jam ago

“Glokalisasi Pancasila” & Ramuan Ciamik Harmoni Nusantara

Diskursus kebangsaan kita sering kali terjebak dalam dua tarikan ekstrem. Di satu sisi, terdapat kerinduan,…

13 jam ago

Eksploitasi Ideologi Mengatasnamakan Hijrah dan Jihad Semu

Propaganda terbaru ISIS melalui majalah al-Naba’ (2025) yang menyerukan ajakan berjihad ke Sudan merupakan bukti…

13 jam ago

Kompleksitas Isu Sudan; Bahaya Jihad FOMO Berkedok Ukhuwah Global

Isu Suriah sudah lewat. Gaza sudah berangsur normal. Isu lain seperti Uyghur, Rohingya, dan sebagainya…

2 hari ago

Ilusi Persatuan Global; Meneguhkan Nasionalisme di Tengah Dunia Multipolar

Kelompok ekstremis terutama ISIS tampaknya tidak pernah kehabisan materi propaganda kekerasan. Setelah revolusi Suriah berakhir…

2 hari ago

Menakar Ukhuwah Global dan Kompromi Pancasila Sebagai Benteng Persatuan Dunia

Dalam beberapa dekade terakhir, istilah ukhuwah global sering digaungkan sebagai cita-cita luhur umat manusia—sebuah gagasan…

2 hari ago