Wacana formalisasi syariat Islam selalu menjadi isu hangat di berbagai daerah di Indonesia. Sejak era reformasi, ketika ruang kebebasan politik terbuka lebar, muncul berbagai perda (peraturan daerah) bernuansa syariah—mulai dari aturan berpakaian hingga sanksi sosial bagi pelanggar norma keagamaan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah formalisasi syariat merupakan manifestasi dari keislaman yang sejati, atau justru bentuk tafsir baru yang berinteraksi dengan tradisi dan kepentingan lokal?
Dalam pengertian klasik, syariat bukan semata hukum positif, melainkan jalan hidup yang menuntun manusia menuju kebaikan (the path to righteousness). Ia mencakup nilai moral, sosial, dan spiritual yang membimbing manusia dalam menjalani kehidupan. Namun, dalam konteks modern, syariat sering direduksi menjadi hukum formal yang harus dilegalkan oleh negara atau pemerintah daerah.
Formalisasi semacam ini kerap kali berangkat dari semangat moralitas, namun dalam praktiknya bisa berujung pada politisasi agama. Di banyak tempat, formalisasi syariat dijadikan alat untuk meneguhkan identitas keislaman komunitas lokal—bukan semata demi penegakan nilai ilahiah, melainkan juga untuk memperkuat legitimasi politik kelompok tertentu.
Sebagaimana dikemukakan oleh antropolog Robert Hefner, Islam di Indonesia bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga a moral civilization yang berinteraksi dengan kebudayaan dan struktur sosial lokal. Maka ketika syariat diinstitusionalisasi, ia tak pernah hadir dalam ruang hampa: ia selalu berdialog dengan adat, struktur kekuasaan, dan realitas sosial setempat.
Contoh menarik dapat dilihat dari penerapan perda syariah di beberapa daerah di Aceh, Sulawesi Selatan, dan sebagian wilayah Jawa Barat. Di Aceh, misalnya, penerapan hukum cambuk dianggap sebagai simbol otonomi khusus dan kemurnian Islam. Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan hukum tersebut seringkali disesuaikan dengan sensitivitas budaya lokal dan tekanan publik.
Di Sulawesi Selatan, perda busana Muslim dan larangan minuman keras justru berakar dari semangat lokal untuk menegakkan nilai-nilai siri’ na pacce—rasa malu dan solidaritas sosial—yang sejak lama menjadi etika masyarakat Bugis-Makassar. Sementara di beberapa wilayah Jawa Barat, kampanye moral berbasis syariat sering dikaitkan dengan upaya menjaga ketertiban sosial ala tradisi Sunda yang menjunjung harmoni dan rasa hormat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa formalisasi syariat di Indonesia tidak selalu lahir dari pemahaman tekstual agama semata, tetapi juga merupakan hasil tafsir sosial dan budaya yang khas. Dengan kata lain, syariat ditafsirkan dan dipraktikkan dalam bingkai lokalitas.
Namun, tafsir lokal terhadap syariat ini tidak lepas dari problem. Ketika formalisasi dilakukan tanpa memperhatikan prinsip keadilan universal yang menjadi ruh Islam, ia berisiko menimbulkan diskriminasi dan intoleransi. Perempuan, minoritas agama, atau kelompok rentan sering menjadi korban tafsir sempit terhadap syariat yang lebih menekankan aspek simbolik ketimbang substansial.
Dalam konteks ini, penting mengingat pandangan cendekiawan seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menekankan bahwa nilai-nilai Islam sejati tidak bisa dipaksakan lewat hukum negara, tetapi dihidupkan melalui kesadaran moral masyarakat. Syariat, kata Cak Nur, bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan menuju al-adl(keadilan) dan al-ihsan (kebajikan).
Dengan demikian, formalisasi syariat seharusnya tidak dimaknai sebagai penegakan simbol atau hukuman, melainkan sebagai upaya menumbuhkan nilai moral keislaman dalam tatanan sosial yang berkeadilan dan menghormati pluralitas.
Kedewasaan umat beragama dalam bernegara diuji di titik ini. Ketika syariat ditafsirkan secara sempit dan dipolitisasi, agama kehilangan makna spiritualnya yang luhur. Namun ketika ia dihayati sebagai etika publik yang menumbuhkan empati, tanggung jawab, dan solidaritas sosial, maka syariat justru memperkaya peradaban bangsa.
Formalisasi syariat yang bijak bukan berarti menegakkan teks tanpa konteks, melainkan memadukan antara norma agama dan kebijaksanaan lokal. Dalam hal ini, Islam Indonesia menawarkan model menarik: sebuah sintesis antara universalitas nilai-nilai Islam dan kearifan lokal yang berakar pada budaya.
Maka, tafsir formalisasi syariat dalam tradisi lokal bukanlah upaya memisahkan agama dari budaya, melainkan menjembatani keduanya agar tetap hidup berdampingan dalam harmoni. Di titik inilah, Islam Indonesia memperlihatkan wajah terbaiknya: religius sekaligus humanis, normatif sekaligus kontekstual.
This post was last modified on 6 Oktober 2025 3:10 PM
Dalam rentang dua dekade, peta dunia anak-anak telah bergeser secara fundamental. Jika dahulu tawa dan…
Sejak awal dipublikasi pada 2023 hingga hari ini, narasi zero terrorist attack memang tidak bisa…
Perubahan signifikan tengah terjadi dalam lanskap gerakan terorisme di Indonesia. Jika pada dua dekade pertama…
Pada Januari 2025, seorang pria bernama James Wesley Burger menggunakan Robloxuntuk secara terbuka menyiarkan ancaman…
Laporan Global Terrorism Index (GTI) 2024 yang menempatkan Indonesia pada status zero attack selama dua…
Isu terkait penggunaan gim daring (online game) sebagai sarana terorisme sebenernya bukan hal baru. Maka,…